Gusdurian Makassar Bincang Minoritas Pasca-Gus Dur
NU Online · Selasa, 11 Februari 2014 | 23:31 WIB
Makassar, NU Online
Komunitas pecinta dan penerus perjuangan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) atau yang menamakan diri “Gusdurian” Makassar, Sulawesi Selatan, mengadakan forum “Membincang Masa Depan Kelompok Minoritas Pasca-Gus Dur” bersama lintas kelompok, Sabtu (8/2).
<>
Acara yang digelar di KopiNu Coffe, Jalan Landak No 39 Makassar ini menjadi rangkaian peringatan haul Gus Dur yang ke-4 dan Harlah NU yang ke-88. Forum tersebut dihadiri puluhan tokoh dan aktivis dari berbagai kalangan.
Mereka, antara lain, berasal dari komunitas Ahmadiyah, PMII Makassar, Pemuda Thionghoa, Koordinator Gusdurian Maluku, Komunitas Sehati, Rauzan Fikr Institut, Ijabi Sulsel, PMKRI dan aktivis muda NU Sulsel. Selain itu hadir juga DR. Kadir Achmad, mantan ketua tanfidziyah PCNU Kota Makassar dua periode; dan Idham Arsyad, Sekjen Komisi Pembaharuan Agraria (KPA) Indonesia.
Aktivis Lembaga Advokasi Pendidikan Anak Rakyat (Lapar) Makassar Saprillah yang memoderatori forum ini menyatakan bahwa poin dari diskusi ini ingin melihat banyaknya pekerjaan rumah yang harus dilakukan setelah kepergian Gus Dur, khususnya kaitannya dengan kaum minoritas bangsa ini.
Perbincangan yang berlangsung santai ini juga menampung sejumlah testimoni dari berbagai kelompok minoritas yang hadir tentang pengalaman keberagamaan mereka di tengah masyarakat. Secara garis besar, mereka resah dengan kehadiran kaum ekstremis yang diakui kerap menyudutkan mereka.
“Bagi saya hukum di bangsa ini sudah bagus, cuma orangnya yang bermasalah. Pada saat inilah kami merindukan kehadiran sosok Gus Dur yang baru dan komitmen membela hak-hak kaum minoritas,” tutur Jamaluddin dari komunitas Ahmadaiyah.
Syamsurijal Adhan, Aktivis NU Kota Makassar mengataka bahwa ada dua persoalan yang terjadi di bangsa ini dan kaitannya dengan kelompok minoritas. Yaitu pertama, masalah regulasi dimana negara dalam mengatur agama masih memakai cara pandang kolonial, yang kemudian melahirkan undang-undang penodaan agama.
Menurut dia, meski Gus Dur sudah berupaya mencabut TAP MPR 25 yang juga merupakan bagian bentuk diskriminasi agama, namun nalar sebagian masyarakat belum bisa menerima kenyataan tersebut, sehingga fenomena inipun berimbas ke komunitas adat yang kerap kali distigma sebagai komunitas ateis.
Kedua, hadirnya gerakan fundamentalis baru yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan bangsa. Kelompok inilah yang biasanya memancing gejolok sosial yang bermula dari tingkat bawah termasuk pada pembagunan rumah ibadah dan pembetukan perda-perda agama. (Suaib/Mahbib)
Terpopuler
1
Kemenag Tetapkan Gelar Akademik Baru untuk Lulusan Ma’had Aly
2
LKKNU Jakarta Perkuat Kesehatan Mental Keluarga
3
Anggapan Safar sebagai Bulan Sial Berseberangan dengan Pandangan Ulama
4
3 Alasan Bulan Kedua Hijriah Dinamakan Safar
5
Kopri PB PMII Luncurkan Beasiswa Pendidikan Khusus Profesi Advokat untuk 2.000 Kader Perempuan
6
Abi Mudi Samalanga Dianugerahi Penghargaan Kategori Ulama Berpengaruh di Aceh
Terkini
Lihat Semua