Daerah

Heru Purnomo, Sukses Bertani tanpa Lahan

Kam, 29 Agustus 2019 | 16:00 WIB

Heru Purnomo, Sukses Bertani tanpa Lahan

Heru Purnomo Setia Budi, petani asal Desa Pace, Kecamatan Silo, Kabupaten Jember, Jawa Timur sukses menjadi petani jagung meski tidak punya lahan sendiri. (Aryudi AR/NU Online)

Jember, NU Online 
Ingin sukses sebagai petani, tidak harus memiliki lahan. Sebab lahan bisa didapat dengan cara pinjam atau sewa. Inilah yang dilakukan oleh Heru Purnomo Setia Budi. Tokoh muda asal Desa Pace, Kecamatan Silo, Kabupaten Jember, Jawa Timur ini adalah asli petani. Meski pun petani, jangan dibayangkan dia punya sawah berhektare-hektare. Sebab dia petani biasa dengan sawah sekadarnya. Tapi boleh dikata dia pemuda yang sukses di desanya.

“Saya bukan tuan tanah. Saya bertani justru dapat dari menyewa untuk ditanami jagung dan sebagainya,” kata Heru kepada NU Online di kediamannya, Senin (26/8).

Menurut Heru, memiliki sawah memang penting. Namun itu bukan satu-satunya modal bagi petani untuk berusaha. Justru yang teramat penting adalah semangat untuk maju sebagai petani. Dengan semangat yang membara, segala cara bisa dilakukan. Jika lahannya didapat dari menyewa, maka tentu saja petani harus bekerja lebih keras lagi. Sebab kegiatan bertaninya dibatasi oleh waktu.

“Jadi lahan sewaan beda sekali dengan sawah milik sendiri. Kalau sawah milik sendiri, katakanlah misalnya tanamannya rusak, kita hanya rugi kerja dan modal bibit dan sebagainya. Tapi jika lahannya sewa, kita rugi modal dan rugi uang sewa sawah juga,” urainya.

Walaupun demikian, sebagaimana usaha yang lainnya, bertani juga tidak selamanya untung. Heru sendiri mengaku pernah beberapa kali rugi karena gagal panen. Namun dari kegagalan itu ia justru bisa belajar agar tidak mengalami kegagalan di masa berikutnya. Petani sejati tidak pernah menyerah terhadap kegagalan yang dialaminya.
 
“Jangan mudah menyerah. Kegagalan harus menjadi pupuk yang bisa menyuburkan semangat,” ucanya.

Wakil Ketua Ikatan Alumni Universitas Islam Jember (UIJ) itu pantas berkata demikian. Sebab ia telah membuktikan bahwa kegagalan yang dideritanya dalam bertani justru membuatnya semakin tertantang untuk bertani dengan lebih baik. Dan kenyataannya, dari kegiatannya bertani jagung itu, hidupnya berkecukupan. Ia yang awalnya hanya memiliki lahan kurang dari setengah hektar, kini ia menguasai lahan berhektare-hektare dengan sistem sewa jangka panjang. Lahan-lahan itu ditanami jagung.

“Kebetulan di desa saya, jagung cocok karena tanahnya agak kering. Tanaman lain seperti padi juga bisa sebenarnya,” urainya.

Sekretaris Himpunan Kerukunan  Tani Indonesia (HKTI) Cabang Jember itu mengaku bersyukur pemerintah melalui Kementerian Pertanian (Kementan) RI terus menggelontorkan bantuan input, misalnya yang mereka terima benih jagung hibrida. Dikatakan Heru,  bantuan benih jagung (dan juga padi) tersebut sangat membantu meningkatkan produksi jagung nasional. Selain gratis, kualitas benih jagung tersebut cukup bagus.

Heru berharap agar semangat anak-anak muda untuk bertani tak pernah surut. Sebab bertani juga pekerjaan yang menjanjikan sekaligus membantu pemerintah menjaga stabilitas produksi pangan. Indonesia adalah negara agraris, maka sektor perhatian seharusnya menjadi prioritas pemerintah agar anak-anak di desa betah bertani, tidak lari ke kota untuk mencari penghidupan.

Jagung sendiri, sejak awal  merupakan makanan pokok orang desa. Namun saat ini peminat nasi jagung sudah berkurang jauh dibandingkan dengan dulu karena masyarakat lebih memilih nasi putih untuk dikonsumsi.

“Di dapur masyarakat biasanya masih tersimpan jagung kering untuk sewaktu-waktu dimasak sebagai campuran nasi putih. Selebihnya hasil panennya dijual,” ucap Heru.

Namun persoalannya bukan karena masyarakat mulai mengurangi konsumsi nasi jagung. Tapi harga jagung sangat fluktuatif, bahkan terkadang merugikan petani. Tak jarang masyarakat yang sudah begitu menggebu menanam jagung tapi akhirnya harus gigit jari lantaran harga jual jagung di bawah standar. 

“Akhirnya petani babak belur,” tuturnya.

Saat ini petani jagung tengah ‘berbunga-bunga.’ Pasalnya harga jual jagung di tingkat petani cukup menggembirakan, yaitu berkisar Rp 4.000/kilogram jagung pipil kering. Harga tersebut, menurut Heru, sangat wajar dan terjangkau baik untuk pengepul maupun petani sendiri. Sama-sama untung. 

Karena itu, lelaki kelahiran Jember 1 April 1974 ini menyambut baik langkah Kementan yang dengan tegas menolak rencana impor  jagung. Sebab impor jagung dikhawatirkan akan merusak stabilitas harga jagung di tingkat petani. Menurutnya, justru yang harus dilakukan adalah menggenjot produksi  jagung dalam negeri se-optimal mungkin dengan berbagai stimulan dan program yang terarah, agar pada saat yang sama juga tergiur untuk bertani jagung.

“Stimulan harus diberikan, apapun bentuknya agar masyarakat tidak malas untuk bertani (jagung),” ucapnya.

Sebagai negara agraris, tentu miris jika Indonesia masih kekurangan pangan, termasuk jagung. Semangat masyarakat untuk bertani harus terus digelorakan. Pemerintah tak boleh lalai untuk menggelontorkan paket stimulan sebagai salah satu pemicu gelora petani. Tanpa itu, bisa jadi ke depan Indonesia sebagai negara agraris hanya tinggal nama.
 
Pewarta: Aryudi AR
Editor: Muchlishon