Daerah

Imbas Tragedi di Gontor, Saatnya Pesantren Berbenah

Kam, 15 September 2022 | 08:30 WIB

Imbas Tragedi di Gontor, Saatnya Pesantren Berbenah

Pengasuh Pesantren Darul Ulum, Peterongan, Jombang, KH Zaimuddin Wijaya As’ad atau Gus Zu'em. (Foto: NUO/Syaifullah)

Jombang, NU Online
Meninggalnya seorang santri di Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur terus menyita perhatian publik. Beberapa kalangan mendorong agar budaya perundungan dan kekerasan fisik hendaknya dapat dihindari.


Kepada media ini, KH Zaimuddin Wijaya As’ad mengemukakan bahwa tidak ada yang berharap kejadian di Pesantren Gontor bisa terjadi. Apalagi sampai mengakibatkan hilangnya nyawa.


“Saya rasa di pesantren mana pun tidak ada yang menginginkan kejadian tersebut terjadi,” katanya kepada NU Online, Rabu (14/09/2022).


Disampaikan Pengasuh di Pesantren Darul Ulum, Peterongan, Jombang, Jawa Timur tersebut bahwa ikhtiar untuk mengurangi kekerasan fisik di pesantren tentu telah banyak dilakukan. 


“Namun dalam kenyataannya memang terjadi hal yang tidak diinginkan,” kata kiai yang akrab disapa Gus Zu’em tersebut.


Dalam interaksi dengan santri, memang segala kemungkinan dapat terjadi. Perselisihan dan perbedaan pendapat, ujungnya juga dapat mengarah kepada kekerasan fisik tersebut.


“Saya rasa, hal ini bisa saja terjadi di mana saja. Mungkin diawali dengan kerasan verbal seperti bulliying dan sejenisnya yang ditindaklanjuti dengan kekerasan fisik bahkan berdampak kepada kematian,” terangnya.


Wakil Rektor Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum (Unipdu) Jombang ini menjelaskan bahwa peristiwa di Gontor sebagai kecelakaan. Karena bisa saja kejadian serupa ada di berbagai lembaga pendidikan, termasuk pesantren.


“Ini murni musibah karena saya yakin pelakunya tidak ada niat sampai ke arah sana,” ungkapnya.


Dalam pandangannya, pesantren sudah saatnya berbenah karena karakter santri zaman sekarang telah berubah. Termasuk para santri yang mendaftar secara online yang tidak tahu kiaianya, tidak paham latar belakang pesantren dan sejenisnya.


“Akibat dari ini, emosi santri mudah tersulut,” katanya. 


Lebih lanjut dikemukakan alumnus Universitas Gadjah Mada ini bahwa kalau dulu untuk meredam kekerasan fisik dengan bobot angka 50, maka sekarang harus ditingkatkan. Dari mulai angka 75 hingga 80. 


“Karena kondisi santri saat ini sudah sangat berbeda dengan zaman dulu, khususnya sebelum media sosial berkembang seperti sekarang,” kilahnya.


Orang tua juga tidak lepas dari bagaimana turut mendukung apa yang telah dilakukan para kiai, ustadz dan pengurus pesantren. 


“Orang tua santri saat ini juga berbeda dengan masa lalu, karena campur tangan mereka semakin terbuka. Dengan demikian, perlu ada penataan ulang pola hubungan wali santri dengan pesantren,” ungkapnya.


Gus Zu’em juga mendukung terhadap pendekatan hukum yang dilakukan kepada mereka yang diindikasikan melanggar ketentuan. 


“Sejauh hal tersebut memang melanggar hukum, memang harus diproses lebih lanjut,” katanya. 


Karena dalam pandangannya, tidak ada lembaga termasuk pesantren yang bebas dari aturan hukum.


“Kendati demikian, kalau ternyata yang mengemuka adalah hanya pertengkaran kecil antara santri di asrama, maka bisa diselesaikan secara kekeluargaan,” pungkas Gus Zu’em.

 

Kontributor: Risma Savhira

Editor: Syaifullah Ibnu Nawawi