Daerah

Indonesia dan Tiongkok Perlu Interaksi Lebih Dekat untuk Hindari Salah Paham

Ahad, 19 Januari 2020 | 03:15 WIB

Indonesia dan Tiongkok Perlu Interaksi Lebih Dekat untuk Hindari Salah Paham

(Foto: NU Online/Husni Sahal)

Jakarta, NU Online
Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdhatul Ulama (LBM PWNU) Provinsi DKI Jakarta mengadakan diskusi publik bertema Membincang Relasi Indonesia–China di Aula The Wahid Institute, Matraman, Jakarta, Kamis (16/1) pagi. Hadir pada kesempatan ini narasumber Budy Sugandi (kandidat Doktor Southwest University, China), Azmi Abu Bakar (pakar literasi China), dan Ardhitya Eduard Yeremia Lalisang  (dosen hubungan internasional Universitas Indonesia).

Ketua LBM PWNU DKI Jakarta KH Mukti Ali Qusyairi mengatakan, kegiatan ini dilatarbelakangi keprihatinan Pengurus LBM akibat memanasnya kembali isu anti-China di Indonesia melalui isu Uyghur, Natuna, dan utang Indonesia terhadap China. LBM mengkaji relasi Indonesia-China bersama pakar agar tidak terjebak pada hoaks dan melihatnya secara komprehensif. Diskusi ini diperlukan untuk menyikapi persoalan ini tanpa sporadis dan reaksional, tetapi terlebih dahulu melalui kajian serius dan matang.

Berdasarkan statistik 2010, jumlah muslim di Tiongkok mencapai sekitar 25 juta jiwa. Saat ini muslim di sana berjumlah 30 juta jiwa. Berdasarkan statistik 2015 jumlah masjid 35 ribu. Masjid pertama di China yang masih terawat yaitu Masjid Huaisheng berdiri pada 635 M, terdapat komplek makam Saad bin Abi Waqqash, seorang ulama penyebar Islam pertama di Tiongkok, kata Budy Sugandi.

Menurut Budy Sugandi, Pemerintah Tiongkok merealisasikan Pasal 36 Konstitusi Republik Rakyat China (RRC) di mana warga negara Republik Rakyat Tiongkok menikmati kebebasan beragama. Tidak ada organ Negara, organisasi publik atau individu yang dapat memaksa warga untuk percaya, atau tidak percaya, apapun agama, atau mungkin mereka mendiskriminasi warga yang percaya, atau tidak percaya, agama apa pun. Dengan berpijak pada konstitusi ini, umat Muslim dilindungi secara undang-undang dan memiliki kebebasan dalam mengekspresikan keberagamaannya.

Per tahun 15 ribu jiwa umat Muslim Tiongkok memberangkatkan diri untuk menunaikan haji. Di bidang politik, meski Partai Komunis berkuasa namun tercatat dari 2987 anggota Kongres Rakyat China atau National People's Congres (NPC), sebanyak 97 di antaranya adalah beragama Islam.

Ardhitya menjelaskan bahwa Tiongkok mitra dagang terbesar Indonesia, investor asing terbesar kedua. Posisi utang luar negeri Indonesia terhadap Cina sebesar 18 milyar USD (4,5 %).

“Kebijakan luar negeri Indonesia terhadap China dekat, namun tetap berjarak dengan melihat tiga hal, yaitu politik domestik (ancaman Tionghoa sebagai pilar utama legitimasi politik Orde Baru dan fungsional sebagai instrumen mobilisasi politik demi insentif elektoral di era pasca-Reformasi, dan di sisi lain Cina menawarkan kerja sama ekonomi), psikologis (dampak pembekuan hubungan diplomati selama 23 tahun sehingga ketiadaan pertukaran informasi dan interaksi langsung), dan politik birokrasi,” kata Ardhitya.
 

Pewarta: Alhafiz Kurniawan
Editor: Abdullah Alawi