Daerah

Inilah Amaliah Shalat di Hari Rabu Wekasan

Sel, 6 November 2018 | 05:00 WIB

Inilah Amaliah Shalat di Hari Rabu Wekasan

KH Muhammad Djamaluddin Ahmad (Foto: Ist.)

Jombang, NU Online
Pengasuh Pondok Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas, Jombang, Jawa Timur KH Muhammad Djamaluddin Ahmad memberikan amalan Rabu Wekasan yakni berupa shalat. Hal ini disampaikannya saat pengajian rutinan Al-Hikam di hadapan ribuan jamaah di Pesantren Bumi Damai Al Muhibbin Bahrul Ulum.

"Besok adalah malam Rabu Wekasan yaitu malam Rabu terakhir (wekasan) di bulan Shafar. Sebagian orang ahli ma'rifat termasuk orang yang ahli mukasyafah mengatakan setiap tahun Allah menurunkan bala' (bencana) yang berjumlah 320.000. Kesemuanya diturunkan pada hari Rabu yang terakhir di bulan Shafar. Maka dianjurkan hari itu shalat 4 raka'at dengan 2 salaman," katanya, Senin (5/11).

Kiai Jamal menjelaskan, shalat yang dilakukan tersebut diniati dengan shalat mutlak. Pada setiap rakaat dalam shalat tersebut membaca Al-Fatihah sekali, surat Al-Kautsar sebanyak 17 kali, surat Al-Ikhlas lima kali, Al-Falaq sekali dan An-Nas sekali.

"Kemudian setelah salam membaca doa dan shalatnya tidak berjamaah. Tapi dilakukan bersama-sama di lokasi yang sama pula," tambahnya.

Tradisi Rabu Wekasan sudah berlangsung secara turun-temurun di kalangan masyarakat Jawa, Sunda, Madura, dan lain-lain. Bentuk ritual Rabu Wekasan umumnya dilakukan dengan shalat , berdoa dengan doa-doa khusus, selamatan, sedekah, silaturrahin, dan berbuat baik kepada sesama.

Asal-usul tradisi ini bermula dari anjuran Syeikh Ahmad bin Umar Ad-Dairobi (W.1151 H) dalam kitab Fathul Malik Al-Majid Al-Mu-Allaf Li Naf'il 'Abid Wa Qam'i Kulli Jabbar 'Anid (biasa disebut Mujarrobat Ad-Dairobi). Anjuran serupa juga terdapat pada kitab Al-Jawahir Al-Khams karya Syeikh Muhammad bin Khathiruddin Al-'Atthar (W. 970 H), Hasyiyah As-Sittin, dan sebagainya.

Keputusan musyawarah NU Jawa Tengah tahun 1978 di Magelang juga menegaskan bahwa shalat khusus Rabo Wekasan hukumnya haram, kecuali jika diniati shalat sunnah muthlaqah atau niat shalat hajat. Kemudian Muktamar NU ke-25 di Surabaya (20-25 Desember 1971 M) juga melarang shalat yang tidak ada dasar hukumnya, kecuali diniati shalat mutlak.

"Shalatnya bisa di pagi (dluha) atau habis shalat maghrib," pungkas Mustasyar Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur ini. (Syarif Abdurrahman/Muhammad Faizin)