Daerah

Jasa Besar Banser dalam Kisah yang Tercecer di Masjid Agung Semarang

Sab, 15 Agustus 2020 | 12:00 WIB

Jasa Besar Banser dalam Kisah yang Tercecer di Masjid Agung Semarang

Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT) berdiri di atas lahan banda Masjid Besar Semarang (Foto: Istimewa)

Semarang, NU Online

Mantan Kepala Satuan Koordinasi Cabang (Kasatkorcab) Barisan Ansor Serbaguna (Banser) dan pernah menjabat sebagai Ketua Pimpinan Cabang (PC) Gerakan Pemuda (GP) Ansor Kota Semarang, Jawa Tengah H Abu Khoeri telah menghadap Sang Pencipta, Allah SWT.

 

Mengiringi kepergiannya, almarhum Abu Khoeri meninggalkan sekelumit kisah berharga bagi Takmir Masjid Agung Semarang (MAS). Ia bersama organisasi kebanggaannya, Ansor dinilai memiliki jasa besar dalam proses kembalinya banda (harta) wakaf MAS yang sekarang didirikan Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT).

 

Hal ini diungkapkan sekretaris MAS, H Muhaimin Turmudzi saat mantan Kasarkorcab Banser Semarang tersebut kembali ke haribaan Sang Pencipta. "Ada kisah yang tercecer saat aksi penyerbuan di rumah Tjipto Siswoyo," kata Gus Haimin kepada NU Online, Jumat (14/8).

 

Dijelaskan, raibnya tanah wakaf tersebut karena adanya masalah dalam proses tukar guling yang dilakukan Badan Kesejahteraan Masjid (BKM) bentukan Bidang Urusan Agama Depag Jawa Tengah yang pada akhirnya sudah berpindah tangan ke PT Tensindo, milik Tjipto Siswoyo.

 

Berbagai upaya hukum yang telah ditempuh untuk mengembalikan tanah itu menemui jalan buntu. Dari tingkat Pengadilan Negeri hingga kasasi di Mahkamah Agung, BKM Masjid Kauman selalu kalah. Karena itu diputuskan untuk menyerbu (demonstrasi) ke rumah Tjipto. 

 

"Jadi istilahnya waktu itu kita sebut pengadilan rakyat," ujarnya.

 

Putra pendiri Pesantren Raudlatul Qur'an Kauman Semarang, Almaghfurlah KH Turmudzi Taslim Alhafidz ini melanjutkan, ada 3 unsur warga Kauman yang diwakili remaja Kauman, (saat itu belum ada organisasi remaja masjid), Nahdlatul Ulama (NU) yang diwakili Ansor-Banser, dan unsur Mahasiswa dari IAIN Walisongo (sekarang UIN).

 

"Abu Khoeri sebagai koordinator aksi, Agus Susilo dari IAIN sebagai koordinator lapangan, dan saya sebagai wakil koordinator lapangan. Mas Abu dengan Bansernya ini paling dominan dalam lobi-lobi," terangnya.

 

Almarhum H Abu Khoeri

 

Disampaikan, dominasi Ansor-Banser juga nampak dalam beberapa rapat yang membahas aksi tersebut. Salah satu hasilnya, rumah yang diserbu adalah rumah yang dianggap bertuah dalam budaya Tionghoa Indonesia, yakni rumah peninggalan leluhur yang biasanya hanya digunakan untuk sembahyang.

 

"Tiba pada hari yang ditentukan, massa sudah mulai berkumpul di halaman masjid. Yang membingungkan waktu itu Agus Susilo yang ditunjuk sebagai koordinator lapangan belum datang, sedangkan yang muncul justru dukungan massa dari Partai Rakyat Demokratik (PRD)," ujarnya. 

 

"Padahal rencananya dia datang dengan rombongan 1 bus," sambungnya.

 

Dengan meloncat-loncat, massa dari PRD terus meneriakkan yel-yel yang membakar semangat. "Jamaah bersatu tak bisa dikalahkan", " Gantung, gantung, gantung Tjipto. Gantung Tjipto sekarang juga" dan sebagainya," ungkapnya.

 

Teriakan massa dari PRD membuat massa yang semula tercecer langsung berkumpul dan bersemangat. Dalam kondisi panik itulah Abu Khoeri berinisiatif menunjuk dirinya menggantikan Agus melanjutkan aksi. 

 

"Mas Abu Khoeri memanggil saya dan bilang begini, "Muhaimin, karena Agus belum datang, saya sebagai koordinator aksi, perintahkan saja. Kamu mengambil alih menjadi koordinator lapangan. Lanjutkan aksi," kata Gus Min menirukan ucapan Abu Khoeri saat itu.

 

"Tentu saja saat itu saya bingung, selain karena massa yang jumlahnya begitu banyak, juga belum ada cara koordinasi seperti sekarang ini," imbuhnya.

 

Menurutnya, keributan terjadi lantaran Tjipto tak mau menemui para demonstran. Sehingga massa yang sudah terlanjur geram merusak yang ada di rumah tersebut. Usai kejadian tersebut, para demonstran langsung menyatakan akan kembali berdemo pada pekan selanjutnya. 

 

"Kita sampaikan seminggu lagi kita akan serbu PT Tensindo milik Tjipto Siswojo. Waktu itu kalau tidak salah tanggal 7 Ramadhan. Jadi tanggal 14 Ramadhan kita serbu lagi," bebernya.

 

Mengantisipasi gelombang massa pada Jumat selanjutnya, maka pada Kamis malam diadakan pertemuan bersama antara pihak Tjipto Siswojo yang didampingi perkumpulan tokoh Tionghoa Jawa Tengah dengan pihak MAS.


Dalam pertemuan itu para tokoh Tionghoa yang khawatir akan terjadi kerusuhan memaksa Tjipto agar bersedia mengembalikan tanah wakaf yang menjadi banda MAS. Meski PT Tensindo merupakan perusahaan yang besar waktu itu, Tjipto pada akhirnya menyerah. 

 

"Kebetulan waktu itu saya ikut hadir," bebernya.


Dijelaskannya, pihak MAS meminta agar penyerahan dilaksanakan di MAS dan langsung disetujui Tjipto. Akan tetapi Bibit Waluyo yang saat itu menjabat sebagai Pangdam IV menolak dengan alasan keamanan Tjipto, sehingga pada Jumat pagi Bibit menentukan serah terima simbolis di Sekwilda. 

 

"Padahal kita sudah persiapkan semua acara di Masjid Kauman (MAS)," terangnya.


Usai serah terima, Gus Haimin lantas meminta seremonial serupa diadakan di MAS untuk meyakinkan jamaah yang hendak berdemo. "Saya dan Mas Khammad datang di acara Sekwilda dan meminta agar acara dilanjutkan di Masjid Kauman dengan alasan untuk meredam jamaah yang berniat mengadakan demo lanjutan," bebernya.


Usaha tersebut kembali ditolak Bibit Waluyo sehingga ia meminta secara tegas. "Sekali lagi Pak Bibit menolak dengan alasan keamanan. Kami pun setengah memaksa, kemudian Pak Bibit meminta ada yang berani tanggung jawab terhadap keselamatan Tjipto. Kami langsung menyatakan siap dan Banser Semarang juga siap mengamankan sehingga berlangsunglah serah terima di Masjid Kauman," urainya.


Pada akhirnya Tjipto didampingi Bibit Waluyo diarak dari Hotel Metro menuju masjid dengan pengawalan tentara dan Banser. Serah terima pun didahului sambutan dari Bibit Waluyo dilanjutkan dengan penyerahan simbolik sertifikat dari Tjipto kpd Almaghfurlah KH Turmudzi Taslim Alhafidz mewakili jamaah. 


"Acara ditutup dengan doa dari Almaghfurlahuma KH. Achmad Abdullah dan KH. Achmad Naqib Nur, Alhafidz. Yang menarik, pada saat itu secara spontan KH Achmad  Abdullah menyerahkan sorbannya kepada Tjipto," jelasnya.

 

Hal senada dikatakan Pimpinan PP Raudlatul Qur'an Kauman, KH Khammad Makshum Turmudzi Alhafidz. Berbagai usaha yang dilakukan terbukti gagal total. Sehingga menggelar aksi di rumah Tjipto Siswojo dianggap jalan terakhir. 

 

"Mungkin, aksi itu juga bagian dari arus reformasi," kata Gus Chammad.

 

Karena itu lanjutnya, warga Kauman telah bertekad siap aksi sendiri jika tanpa dukungan. Tjipto Siswojo selaku pihak yang dituntut juga tak bergeming seolah warga tak bernyali. 

 

"Sudah diberi tahu akan kita serbu tapi tidak direspons. Dikiranya kita main-main, akhirnya terjadilah peristiwa itu," pungkasnya.

 

Kontributor: Ahmad Rifqi Hidayat
Editor: Abdul Muiz