Kampung Gelgel, Miniatur Kebersamaan Muslim dan Non Muslim Bali
NU Online · Kamis, 16 Mei 2019 | 15:30 WIB
Klungkung, NU Online
Desa Kampung Gelgel, namanya. Desa yang terletak di Kecamatan/Kabupaten Klungkung, Bali, ini merupakan kampung Muslim. Semua aparat desanya adalah Muslim. Di situ juga berdiri sebuah masjid, Nurul Huda, namanya. Bahkan di desa itu juga berdiri MIN (Madrasah Ibtidaiyah Negeri).
Desa Kampung Gelgel terbentang di atas tanah seluas 8,5 hektar. Jumlah penduduknya mencapai 1.127 dengan 334 Kepala keluaga (KK).
Menurut website resmi Desa Kampung Gelgel, desa tersebut berdiri sejak abad ke-XIV Masehi, dan merupakan kampung Muslim tertua di Bali. Konon, cikal bakal masrayakat Muslim di Kampung Gelgel adalah pengawal raja.
Saat itu, Raja Gelgel I (1380 – 1460), Dalem Ketut Ngelesir mengadakan kunjungan ke Kraton Majapahit untuk menghadiri konferensi kerajaan-kerajaan seluruh Nusantara. Ketika itu kerajaan Bali masih di bawah kekuasaan Majapahit. Saat pulang dari kunjungan tersebut, Dalem Ketut Ngelesir dikawal oleh 40 prajurit pilihan yang dipersembahkan oleh Kerajaan Majapahit, demi keselamatan sang raja.
Nah setelah sampai di Kampung Gelgel, ke 40 prajurit itu, sebagian kembali ke Jawa dan sebagian lagi menetap di Kampung Gelgel. Mereka lalu berasimilasi dan menikah dengan warga setempat hingga bernak-pinak.
“Dan sampai sekarang tetap jadi kampung Muslim dengan segala ciri khasnya,” tukas Korwil IV PW Pergunu Bali, Lewa Karma saat menggelar Safari Ramadhan di Masjid Nurul Huda, Desa Kampung Gelgel, Rabu (15/5), sebagaimana rilis yang diterima NU Online.
Menurutnya, secara tradisi dan amaliah, warga Muslim Desa Kampung Gelgel adalah NU. Namun mereka tidak mau menonjolkan bendera ormas. Karena itu mereka membentuk organisasi sendiri, namanya Forum Ukhuwah Muslim Klungkung (FUMK).
Dikatakannya, hubungan masyarakat Desa Kampung Gelgel dengan desa tetangga yang notabene dihuni penganut Hindu, cukup baik. Bulan Ramadhan menjadi saksi kebersamaan mereka melalui tradisi mekibung (megibung), yakni makan bersama dalam satu nampan (talam). Umumnya satu nampan untuk 3 sampai 4 orang sebagai manifestasi kesederhanaan sekaligus kebersamaan. Sajian menu makan buka puasa itu disiapkan secara suka rela oleh masyarakat untuk jamaah dan tamu undangan. Biasanya tradisi mekibung digelar tiap hari ke-10 bulan Ramadhan.
Bahkan tahun 2017, tradisi mekibung dihadiri oleh Bupati Klungkung, Nyoman Suwirta, tokoh lintas agama, keluarga Puri atau Kerajaan Klungkung hingga kepala desa sektiar.
“Jadi ini (mekibung) merupakan ciri khas yang menandai kebersamaan antara kami dan penganut agama lain,” urainya. (Red: Aryudi AR)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Refleksi Akhir Safar, Songsong Datangnya Maulid
2
Gaji dan Tunjangan yang Terlalu Besar Jadi Sorotan, Ketua DPR: Tolong Awasi Kinerja Kami
3
KPK Tetapkan Wamenaker Immanuel Ebenezer dan 10 Orang Lain sebagai Tersangka Dugaan Pemerasan Sertifikat K3
4
Prabowo Minta Proses Hukum Berjalan Sepenuhnya untuk Wamenaker yang Kena OTT KPK
5
Balita di Sukabumi Meninggal Dipenuhi Cacing, DPR Tekankan Pentingnya Peran Posyandu dan RT/RW
6
Pemerintah Berencana Tambah Utang Rp781,9 Triliun, tapi Abaikan Efisiensi Anggaran
Terkini
Lihat Semua