Lumajang, NU Online
Output puasa Ramadhan hampir selalu menjadi tema utama dalam pembahasan publik setelah berlebaran. Ukuran suksesnya melaksanakan puasa, tidak lagi terletak pada berhasil tidaknya menahan lapar dan dahaga yang disempurnakan dengan shalat taraweh dan membayar zakat, karena itu semua adalah proses. Sebagai ajang pelatihan, atau katakanlah sekolah, bulan Ramadhan selalu dikaitkan dengan ‘hasil’ yang dicapai masing-masing indvidu setelah selesai mengikuti pelatihan tersebut.
Ada sekian kriteia yang terungkap untuk mengukur capaian dari sekolah bernama bulan Ramadhan itu yang ditutup dengan shalat Idul Fitri. Namun bagi Ketua PCNU Lumajang, KH Muhammad Mas’ud, sesungguhnya cukup simpel untuk mengukur berhasil tidaknya manusia menjalani Ramadhan.
“Ketika kualitas ketaqwaan kita bertambah baik (setelah lebaran), maka di situlah sebenarnya Idul Fitri,”ujarnya saat menjadi khotib shalat Idul Fitri di Masjid H Muhammad Chengho, Kunir, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, Rabu (5/6).
Menurutnya, firman Allah swt tentang wajibnya perintah puasa Ramadhan sangat jelas targetnya, yakni la’allakum tattaqun, agar menjadi orang yang bertaqwa. Dalam istilah yang lebih pas, dari posisi mukmin seorang hamba Allah naik pangkat menjadi muttaqin setelah Idul Fitri. Karena itu, katanya, perlu ada evaluasi diri, betulkah setelah puasa selama satu bulan penuh, taqwanya bertambah baik, ataukah tidak ada dampak sama sekali, atau mungkin malah mengalami kemerosotan yang tajam?
“Marilah kita evaluasi diri kita masing-masing. Sejauh mana keberhasilan ibadah puasa kita dengan diukur dari ketaqwaan kita,” urainya.
Untuk itu, katanya, tingkah laku, perbuatan dan amal baik yang sudah menjadi kebiasaan selama selama Ramadhan diharapkan mampu membentuk karakter dan tabi`at manusia untuk berbuat hal yang sama setelah Ramadhan berlalu.
Apabila selama Ramadhan seseorang selalu menyempatkan diri untuk membaca Al-Quran, mendatangi masjid untuk shalat berjama`ah, bangun di sepertiga malam untuk sahur dan tahajjud, berempati terhadap fakir miskin, meneteskan air mata saat bermunajat dan bersimpuh di hadapan Allah SWT, serta berbagai kebaikan lainnya, maka hal-hal seperti itu perlu dilanjutkan setelah lebaran. Jangan hanya menjadi amalan dan kebiasaan temporal, namun harus dijadikan sebagai perhiasan jiwa yang tetap bertahan dan terlaksana setelah Ramadhan berlalu.
“Janganlah pernah menjadikan Ramadhan sebagai topeng dalam kehidupan, tapi jadikanlah sebagai wajah asli kita dalam menjalani sebelas bulan kehidupan berikutnya,” ungkapnya. (Aryudi AR).
Terpopuler
1
Jamaah Haji yang Sakit Boleh Ajukan Pulang Lebih Awal ke Tanah Air
2
Khutbah Jumat: Menyatukan Hati, Membangun Kerukunan Keluarga Menuju Hidup Bahagia
3
PBNU Buka Suara Atas Tudingan Terima Aliran Dana dari Perusahaan Tambang di Raja Ampat
4
Fadli Zon Didesak Minta Maaf Karena Sebut Peristiwa Pemerkosaan Massal Mei 1998 Hanya Rumor
5
Israel Serang Militer dan Nuklir Iran, Ketum PBNU: Ada Kegagalan Sistem Tata Internasional
6
Presiden Pezeshkian: Iran akan Membuat Israel Menyesali Kebodohannya
Terkini
Lihat Semua