Daerah

Kemenangan Sahabat Syukri, Kekalahan Kampus Islam?

Ahad, 28 Maret 2021 | 04:00 WIB

Kemenangan Sahabat Syukri, Kekalahan Kampus Islam?

Jika mau diambil pesan, kemenangan Abdullah Syukri ini menyisakan PR, bagaimana mengembangkan organisasi mahasiswa ini di kampus umum.

Apakah kemenangan Sahabat Muhammad Abdullah Syukri dalam Kongres XX Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berarti kekalahan kampus Islam? Tentu tidak. Penjelasannya kompleks. Kalau mau jujur, kemarin itu bukan kongres aktivis mahasiswa, melainkan kongres para senior dengan berbagai kepentingannya. Saya tidak ingin membicarakan itu. Saya ingin bercerita hal lain, soal PMII di kampus umum.

 

Suatu malam di acara doa bersama untuk alm. Sahabat Muhyiddin Arubusman di Masjid PBNU, Sahabat Effendy Choirie (Gus Choi) bercerita begini, dirinya tidak direkomendasikan untuk bercita-cita jadi ketua umum PB PMII. Mengapa? Sebagian tokoh PMII berharap organisasi mahasiswa NU ini dipimpin oleh mahasiswa/lulusan kampus umum. Ketika itu Gus Choi menyebut nama Sahabat Muhaimin Iskandar yang lulusan UGM, meskipun tidak umum-umum amat karena jurusannya juga politik, sama seperti ketua umum yang baru saja terpilih. Jurusan umum itu tepatnya, jurusan-jurusan bergenre sains-lah.

 

Nah, kembali ke Bang Muhyidin. Para senior-banget berharap PMII dipimpin mahasiswa atau lulusan kampus umum, tepatnya dari kampus-kampus kenamaan di Indonesia. Biar keren.

 

Kita bisa berdebat panjang soal kampus keren ini, yang biasanya merujuk ke kampus umum dan negeri. Lulusan kampus keren yang biasa saja juga banyak. Pada saat yang sama, kampus-kampus kampus Islam juga banyak yang bertransformasi menjadi universitas, membuka jurusan umum dan trennya sama dengan perbandingan sekolah dan madrasah: sistemnya sama, manajemennya sama, bahkan guru/dosennya pun bisa jadi sama.

 

 

Jika mau diambil pesan, kemenangan Syukri ini menyisakan PR, bagaimana mengembangkan organisasi mahasiswa ini di kampus umum. Dalam acara silaturrahim dengan para calon ketum PMII yang diinisiasi oleh komandan JAM PMII ajengan Adhe Bagus Said beberapa waktu lalu, saya menyampaikan, tidak kuatnya PMII di kampus umum ini adalah persoalan serius, antara lain, menunjukkan bahwa kualitas keilmuan/bidang keahlian generasi PMII sampai beberapa generasi mendatang masih monoton.

 

Ber-PMII di kampus Islam tentu berbeda dengan di kampus umum. Mahasiswa Muslim di kampus umum biasanya tidak suka berpikir ribet, filosofis-liberal, berpikir yang berat-berat soal agama. Jadi kegiatan yang dilakukan sederhana saja. Lagi, mahasiswa di kampus umum suka penampilan aktivis Muslim yang alim shalih/shalihah. Ini terkesan lucu dan menggeneralisasi, tapi mungkin ada benarnya.

 

Sementara ini, suara PMII di kampus umum masih lirih. Bahkan pada titik tertentu PMII cenderung dianggap tidak menarik. Meskipun banyak pengurus besar/wilayah PMII berasal dari kampus umum, konsentrasi PMII secara kelembagaan banyak berputar di kampus Islam. Ada paradoks begini: Beberapa orang di antara kita tidak bangga dengan lembaga pendidikan Islam—maaf, ini seperti beberapa keluarga pesantren atau pentolan NU dan cenderung menyekolahkan atau menguliahkan anak mereka di sekolah/kampus umum, tapi sehari-hari mereka bergelut (Jawa: mulek) di lembaga pendidikan Islam itu. "Ini masalahnya!" meminjam kalimat pendiri PMII Sahabat KH Nuril Huda.

 

Akhirul kalam, terus terang saya tidak bangga jika ketua umum PMII lulusan Brawijaya yang katanya TOEFL-nya gede dan dapat beasiswa luar negeri. Mengapa? Jurusannya yang dipilih juga jurusan politik, sama seperti beberapa pendahulunya, bukan ahli virologi, ahli nuklir, dan keahlian umum lainnya. Justru konsentrasi politik inilah salah satu penyakit PMII. Maaf, saya tidak mengecilkan peran politisi karena "Suka tidak suka, negara ini maunya seperti apa ya tergantung partai politik," kata Gus Dur. Tapi saya sedih jika acara tahunan temu alumni PMII sampai acara muktamar pemikiran dosen PMII pun list undangan utamanya adalah para pejabat politik. Ini menunjukkan orientasi para kader dan alumni masih monoton.

 

Maka variasi bidang keahlian, mengisi pos-pos penting yang beragam (bukan komisaris atau jatah politik) ini bisa dimulai dengan mengibarkan sekibar-kibarnya PMII di kampus yang disebut umum dan unggulan itu. Inilah saatnya. Apa bisa? Bisa!

 

A. Khoirul Anam, Dosen Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia)