Daerah PROFIL

KH Shofwan Fauzi, Syuriah Solo Tiga Periode

Ahad, 8 September 2013 | 04:02 WIB

Solo, NU Online
Berbeda dengan kebanyakan lulusan pesantren yang ditugaskan dari pesantrennya, awal kedatangannya ke Solo pada tahun 1982 sebetulnya hanya ingin merantau bersama istrinya dari kampung asalnya, Sampang. Namun, takdir sebagai seorang santri membawanya kembali ke dunia dakwah.
<>
KH Shofwan Fauzi, bapak kelahiran 6 September 1957 ini sebelum merantau ke Kota Bengawan, mengaku pernah nyantri di beberapa pesantren. Di antaranya pada tahun 1969 ia nyantri di Pesantren Darul Ulum Sampang Madura yang diasuh Kiai Abdul Wahid. Kemudian pada tahun 1973, ia pindah ke Pesantren Miftahul Ulum Lumajang.

“Uniknya, kedua putra guru di tempat saya mondok, KH Syarifudin dan KH Zuhri, sekarang sama-sama menjadi Rais Syuriah NU (Nahdlatul Ulama) di daerah masing-masing. Keduanya masih sering ketemu di acara NU,” ungkapnya saat ditemui NU Online di kediamannya di daerah Semanggi Pasar Kliwon Solo, beberapa waktu lalu (30/8).

Ya, sejak bergabung dengan NU Solo pada tahun 1987, Suami Siti Rumsiati ini pada akhirnya menjadi Rais Syuriah NU Solo selama tiga periode, yakni mulai tahun 2003 hingga sekarang.

Mencari Kantor NU

Proses keterlibatan Kiai Shofwan di NU, dimulai saat ia mulai aktif di MWC (Majelis Wakil Cabang) NU Pasar Kliwon. Tahun 1987 ia menjadi ketua tanfidziyah MWC. “Sebelumnya pada tahun 1986, saya mencari kantor NU dan orang-orangnya,” kenangnya.

Saat itu, NU belum tertata rapi, terutama secara struktural. Dirinya bersama KH Hasan Kamal, yang menjabat sebagai sekretaris, kemudian mulai bergerak mencari jamaah dan yang mau mengikuti NU secara door to door. Dia juga membentuk majelis ta’lim Al Ma’arif, yang kemudian juga mendapat respon positif dari warga di Pasar Kliwon.

Aktivitas selain di NU, dia juga ikut mengurusi pesantren yang diasuh KH Abdul Rahim, Rais Syuriah Solo waktu itu. Tahun 1992, ia mulai menapak menjadi pengurus cabang. Tahun ini pula yang paling ia kenang, ketika Konferwil PWNU Jateng diselenggarakan di Solo. “Yang menjadi tuan rumah Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan. Pembukaan yang diselenggarakan di Lapangan Sriwedari dihadiri ketua PBNU, KH Abdurrahman Wahid,” jelas Kiai Shofwan.

Pada momentum itu, juga diadakan acara bazar pasar rakyat selama 3 hari 3 malam di Lapangan Kotabarat. Acara yang juga dimeriahkan dalang legendaris Solo, Ki Anom Suroto, ditutup dengan ceramah yang disampaikan KH Hamid Baidlowi (Lasem).

Peristiwa lain yang berkesan di hatinya semasa berjuang bersama NU, yakni ketika muktamar NU yang diselenggarakan di Cipasung tahun 1994.

NU Solo ke Depan

Dari berbagai masa kepengurusan yang ia jalani, Kiai Shofwan merasa bahwa NU Solo yang sekarang ini sudah berbeda jauh dengan yang dulu, meskipun masalah lama tak jua selesai. “Di Solo yang menjadi masalah yakni kaderisasi, ini mungkin berbeda dengan daerah lain. Kita di sini kekurangan personil,” kata ayah 7 anak ini menuturkan.

Sisi positifnya, NU sekarang dekat dengan pemerintah. Sejak kepemimpinan Solo dipegang Walikota Jokowi, Kota Solo menjadi lebih hijau. Efeknya juga masih terasa sampai sekarang, antara NU dan Pemkot menjalin hubungan yang harmonis, baik dari segi kultural maupun kelembagaan. Keduanya saling bersinergi untuk membentengi Kota Solo dari gerakan radikalisme yang semakin meresahkan masyarakat.

Salah satu yang menjadi tantangan lain bagi warga NU Solo, yakni keengganan untuk mengaku sebagai warga Nahdliyyin. “Banyak ulama Solo, bahkan habaib secara kultural sebetulnya sama dengan kita (NU). Namun secara struktural mereka enggan masuk ke NU,” ungkap Kiai yang rumahnya berdekatan dengan rumah Habib Syech.

Secara lebih rinci, ia menjelaskan program NU Solo ke depannya. “NU Solo, secara kultural sudah bagus, namun secara kelembagaan masih belum optimal,” paparnya.

Namun, sebagai syuriah dirinya mengatakan hanya bisa memberi arah kebijakan. Persoalan administrasi keanggotaan yang belum terdata dengan baik, arah kaderisasi, dan sebagainya menurutnya hal tersebut merupakan ranah tanfidziyah. Namun, ia juga mengakui kalau hal tersebut juga menjadi persoalan bersama, mengingat syuriah-lah yang sejatinya menjadi penentu kebijakan NU.

“Ibarat mobil, STNK dan BPKB ini dipegang syuriah, sedangkan tanfidziyah ini supirnya,” katanya sembari tersenyum.

Perbincangan kami siang itu, sayangnya mesti terhenti karena Pak Kiai mesti mempersiapkan diri untuk Shalat Jum’at. Perbincangan singkat dengan Rais Syuriah NU Solo tiga periode itu diakhiri dengan suguhan teh hangat dari tuan rumah.

“Monggo mas, diminum tehnya,” (Ajie Najmuddin/Mahbib)