Daerah HARI SANTRI 2017

Lingsir Wengi, Cara Santri Pelihara Budaya Nusantara

Sab, 28 Oktober 2017 | 17:00 WIB

Lingsir Wengi, Cara Santri Pelihara Budaya Nusantara

Lingsir Wengi Nracak Jejak Wali d Pesantren Al Amin, Malang, Jumat (27/10)

Malang, NU Online
Ada banyak cara dilakukan untuk memperingati Hari Santri. Cara yang sedikit berbeda, salah satunya adalah event Lingsir Wengi yang diadakan di Pesantren Al Amin, Sukosari, Kabupaten Malang, Jumat (27/10) malam. Para santri, ustadz, dan kiai tumpah ruah pada kegiatan yang diselenggarakan BEM IAI Al Qolam dan Komunitas Sabda Perubahan.

Menjadi unik adalah karena acara tersebut, walaupun diselenggarakan di pesantren, berupa semacam pagelaran budaya. Mengambil momentum Hari Santri, kegiatan tersebut mengambil tema Nracak Jejak Wali (Menapaki Jejak Walisanga).

Athok Lukman, dosen IAI Alqolam yang juga penggagas acara, mengatakan nama Lingsir Wengi diambil dari kidung Sunan Kalijaga. Dalam kidungnya, Sunan Kalijaga selalu memadukan nilai-nilai kehidupan dan nilai sufistik keislaman.

"Kita (kami, Red) ingin mempertahankan budaya Nusantara, karena budaya Nusantara adalah mutiara yang membuat kita sulit melupakan. Terlalu tinggi nilai kandungannya untuk tidak dirawat dan di pelihara," kata Gus Athok, sapaan akrabnya.

Lingsir wengi yang baru pertama kali diadakan, direncanakan digelar setiap bulan. Tujuannya untuk nguri-nguri (memelihara) budaya Nusantara ditengah arus modernisasi yang kian menjadi-jadi.

“Karenanya, di acara ini aneka macam seni ditampilkan. Mulai orasi budaya, musikalisasi puisi, tari tradisional, teater,” tambah Gus Athok.

Hadir dalam acara Lingsir Wengi edisi pertama KH Abdullah Syam (Pendiri Pesantren Rakyat); M. Yasin Arif (Pendiri Sabda Perubahan); dan Ahmad Dhofir Zuhri (Rektor STF Al-Farabi). Sementara para penampil adalah perwakilan komunitas dan organisasi seperti JNM (Jaringan Nahdliyin Muda), Lakpesdam NU Kabupaten Malang, PMII Cabang Kab.Malang, GMNI, UKM Teater, Platinum, Mapala, As-Surur. 

Athiya, salah satu tim Lingsir Wengi mengatakan, adanya acara seperti ini diharapkan mampu membendung budaya luar yang kurang bagus.

"Acara ini murni diselenggarakan untuk menghidupkan kembali budaya luhur warisan para wali di tengah arus westernisasi,” kata Athiyah.

Sementara KH Abdullah Sam dalam orasi budayanya, banyak menyinggung pentingnya menjaga NKRI.

"Selama anak-anak muda menjaga kebudayaan maka NKRI tidak akan terjajah oleh asing," katanya penuh semangat.

Salah satu penampilan yang membetot perhatian adalah pembacaan puisi karya Yasin Arif. Puisi yang dibacakan penuh dengan penghayatan ini berjudul Zaman Terkutuk. Berikut petikannya:

Aku terseret-seret zaman milenial
Telpon pintarku tiada henti merantai tangan
Hangat kebersamaan mendadak sunyi
Ramai-ramai kita menunduk pada layar
Gelombang kata-kata tanpa makna
membludak dari mulut cuma-cuma
Pendapat berhamburan tanpa nalar
Budaya tak menghidupkan jiwa
Anak muda mengkritik tanpa membaca
Guru berteori tanpa menginjak bumi
Tren menjadi konsumsi sehari-hari
Arus menggerus akar tradisi
Hidup tak berguna tak apa asal kaya
Kekayaan maha segala-galanya
Kekayaan menjadi puncak cita-cita
Kekayaan harkat dan martabat manusia.

(Red: Kendi Setiawan)