Daerah

Menelusuri Al-Qur'an Kuno Tulisan Tangan Raja Buleleng VI

Sab, 17 Juni 2017 | 16:00 WIB

Buleleng, NU Online
Jejak perkembangan Islam di Pulau Bali setidaknya bisa kita saksikan dengan keberadaan masjid-masjid yang telah ratusan tahun berdiri. Salah satunya Masjid Agung Jami Singaraja, yang sejarah berdirinya tidak bisa dilepaskan dari campur tangan Raja Buleleng, penguasa saat itu.

Selain sebidang tanah yang dihadiahkan kepada umat Islam, Anak Agung Ngurah Ketut Jelantik Polong, Raja Buleleng VI ini juga memberikan bantuan material untuk pembangunan masjid. Kini yang tersisa adalah pintu gerbang masjid dan mimbar yang memiliki ukiran khas bali utara.

Menariknya lagi, Masjid yang berada di pusat kota Singaraja ini menyimpan Mushaf Al-Qur’an yang dipercaya sebagai tulisan tangan dari Gusti Ngurah Ketut Jelantik Celagi, salah seorang kerabat kerajaan Buleleng yang masuk Islam.

Ketua Ta'mir Masjid Agung Jami Singaraja, H Abdurrahman Alawi menceritakan bahwa mushaf yang tersimpan rapi ini merupakan tulisan tangan yang diperkirakan ditulis pada tahun 1820-an. 

"Ini juga diperkuat dari beberapa pihak yang sudah meneliti mushaf kuno ini, dan mereka membenarkan setelah mengecek bahan kertas yang diduga didatangkan langsung dari eropa," jelasnya.

Tulisan dalam mushaf tersebut sangat rapi, dan nyaris sempurna dalam penulisannya. Ditambah dengan hiasan hiasan dibeberapa halaman utamanya yang khas budaya bali.

Penulis mushaf langka ini dipercaya oleh masyarakat setempat secara turun temurun adalah Gusti Ngurah Ketut Jelantik Celagi, yang juga keturunan Pendiri Kerajaan Buleleng, Anak Agung Panji Sakti.

Dari carita masyarakat buleleng, masuknya keturunan raja tersebut menjadi Islam bermula dari perang saudara kerajaan buleleng yang tak kunjung usai pada awal 1800an. Untuk menenangkan diri, entah kenapa ia memilih menyepi ke Masjid. 

Oleh Imam Masjid Agung saat itu, Haji Muhammad Yusuf Soleh, Jelantik Celagi diterima dengan tangan terbuka dan perlahan diperkenalkan dengan agama Islam. Menurut kebiasaan, setiap murid yang belajar di Masjid Agung kala itu, harus menuliskan Alquran sebagai syarat kelulusan. Dan Mushaf yang ditulis oleh seorang muallaf itulah yang hingga kini tersimpan sebagai benda bersejarah.

"Sempat waktu itu ada petugas museum nasional dari Jakarta meminta mushaf ini untuk disimpan di museum, namun kami sebagai jamaah masjid agung tidak berkenan, biarkan kami yang merawat dan menjaganya," tegasnya.

Bagi pengunjung yang ingin mengetahui langsung, cukup datang pada saat sholat berjamaah lima waktu, terutama Dzuhur atau Ashar. Biasanya juru kunci akan memberikan izin untuk melihatnya jika ada permintaan dari jamaah usai sholat berjamaah berlangsung. (Abraham Iboy/Fathoni)