Daerah

Mengenal Puasa Manusia Pontificial dan Promethean

Ahad, 9 April 2023 | 15:00 WIB

Mengenal Puasa Manusia Pontificial dan Promethean

Berpuasa merupakan ibadah yang menguatkan spiritual karena spirit adalah nafas atau jiwa. (Foto: NU Online)

Sumenep, NU Online
Puasa manusia di abad kontemporer antara manusia pontificial dan promethean. Karena di dalam Al-Qur'an manusia terbagi menjadi dua, yakni manusia yang berada dalam garis ahsani taqwim atau manusia yang diciptakan dengan bentuk yang sempurna dan manusia yang asfala safilin atau manusia yang derajatnya rendah.


Pernyataan ini disampaikan oleh Mahmudi, Wakil Dekan Ushuluddin Institut Ilmu Keislaman Annuqayah saat mengisi acara di Pro 2 Radio Republik Indonesia (RRI) Sumenep. Diketahui acara ini diinisiasi oleh Pengurus Cabang (PC) Lembaga Pendidikan Tinggi Nahdlatul Ulama (LPTNU) setempat.


"Yang dimaksud pontificial disebut insan kamil. Puasa dijadikan jembatan antara surga dan bumi. Sedangkan promethean adalah kebalikannya, karena dalam tasawuf manusia ada yang baik dan buruk," ucapnya, Sabtu (8/4/2023).


Dalam pandangannya, berpuasa merupakan ibadah yang menguatkan spiritualnya daripada fisik karena spirit adalah nafas atau jiwa. Ketika manusia berpuasa sesuai esensinya, ia berada pada garis ahsani taqwim. Artinya, dijadikan jembatan untuk bertaqarub pada-Nya. 


Ia menyitir konsep Al-Ghazali bahwa berpuasa ada levelnya, yaitu puasanya orang awam, puasanya orang khusus, dan puasanya orang khawasul khawas (khusus buat orang khusus).


Dijelaskan, orang yang berpuasa di level awam, hanya menahan lapar dan dahaga. Orang yang berpuasa di level khusus, ia manahan pendengaran, penglihatan, lisan, dan segala anggota tubuhnya dari perbuatan dosa. Misalnya tidak ghibah, mencaci-maki, dan sebagainya.


"Di level yang ketiga atau yang tertinggi (khawasul khawas), ia tidak hanya manahan diri dari maksiat/al-munkarat, ia juga menahan hatinya dari keraguan terhadap hal-hal keakhiratan. Misalnya menahan pikirannya dari persoalan duniawiyah dan selalu menjaga diri dari berpikir kepada selain Allah. Bisa jadi jika melihat seseorang lupa pada Allah, ia menganggap puasanya batal," terangnya.


Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk ini menegaskan bahwa puasa mengajari manusia menguatkan spiritual. Hal ini senada dengan ilmu kedokteran yang menyatakan bahwa berpuasa dapat menyehatkan badan.


Mahmudi mengutarakan, fisik pasti musnah. Sedangkan spiritual pasti abadi. Maksudnya, ibadah puasa yang dijalankan umat Muslim di penjuru dunia, pahala akan melipatgandakan oleh Allah. 


"Sebagaimana hasil riset medis, manusia yang berpuasa, hawa nafsunya akan berkurang dengan sendirinya. Dijelaskan pula dalam konsep tasawuf, ada orang puasa tapi sebetulnya tidak berpuasa. Ada orang yang tidak berpuasa tapi pada hakikatnya berpuasa," ujar pria yang berkhidmah di Pengurus Ranting Nahdlatul Ulama (PRNU) Daleman, Ganding, Sumenep.


Dilanjutkan, mestinya seseorang berpuasa secara substantif. "Tidak hanya dzahir, pasalnya banyak orang hanya mendapatkan lapar dan dahaga. Mengapa demikian? Karena esensinya tidak didapatkan," ujarnya. 


"Mungkin belum menyadari sepenuhnya terhadap esensi puasa. Padahal, hakikat puasa taqarub pada Allah dan menuju keselamatan dunia akhirat. Kalau tidak berdampak pada kepribadiannya, itu namanya puasa dzahir," ungkapnya.


Awalnya, kata Mahmudi, seseorang diajari berpuasa dzahir, tapi lama kelamaan akan terbiasa menghadapi pada hal-hal batiniyah. Kondisi manusia di masa di masa kini, manusia sudah menguasai alam, pintar secara teknologi.


"Sejak masuk abad modern, manusia akan terjerumus atau masuk kategori promethean. Agar tidak terjerumus, manusia harus sadar dan berdialektika dengan alam," uajrnya menyitir gagasan Scientia Sacra Seyyed Hossein Nasr.


Ia menyatakan, manusia dan alam adalah subjek. Sesama subjek tidak boleh ada eksploitasi, karena sejatinya alam subjek. Orang modern merasa berkuasa. Toh lama-kelamaan alam dirusak oleh ulah manusia sendiri.


"Kami terinspirasi dari bukunya Kiai M Faizi dengan judul 'Merusak Bumi dari Meja Makan. Manusia mulai tidak menghargai alam. Namun kita tetap optimis mengikuti anjuran nabi dan mengingat kembali esensi manusia yang tidak mengejar fisik serta dunia saja," harapnya.


Guna membangun optimis pontificial, sambungnya, manusia yang berpuasa harus mengingat kembali tujuan hidup manusia. Di mana manusia mulai menahan ambisi, dan sejenisnya.


"Mari kita mulai dari diri sendiri. Belajar mengenal kembali perjalanan manusia untuk dunia dan akhirat," tandasnya.


Kontributor: Firdausi
Editor: Kendi Setiawan