Daerah

Mengenali Watak Orang yang Belajar Agama Lewat Medsos

Sen, 4 Maret 2019 | 16:55 WIB

Pringsewu, NU Online
Di era digital saat ini, masyarakat diberikan kemudahan dalam mengakses berbagai informasi. Hanya dengan sentuhan jari melalui smartphone, informasi yang dikehendaki dapat diakses dengan cepat. Kondisi ini pun mengakibatkan pergeseran prilaku masyarakat dalam menyikapi informasi.

Banyaknya informasi yang bertebaran di dunia maya terlebih di media sosial mengakibatkan sebagian masyarakat semakin tidak selektif dalam menerima informasi. Tak terkecuali dalam menerima dan memahami informasi terkait permasalahan agama.

"Kalau dulu orang yang berpengetahuan itu orang yang banyak memiliki informasi, saat ini orang yang berpengetahuan itu orang yang selektif dalam memilih informasi," kata ketua Lembaga Bahtsul Masa'il Nahdlatul Ulama (LBMNU) Provinsi Lampung KH Munawir, Senin (4/3) ketika berdiskusi tentang fenomena masyarakat yang belajar agama melalui internet dan media sosial.

Orang yang belajar ilmu agama melalui internet dan media sosial menurutnya memiliki kecenderungan mudah terprovokasi oleh informasi karena sering "kagetan" (terkejut) dan terbawa dengan hal-hal baru.

"Yang ada dan dibangun dalam dirinya adalah rasa suka dan tidak suka. Bukan karena keilmuan. Jadi tidak heran ketika beradu argumen dengan mereka, dalil apapun yang diberikan mereka akan ngeyel (tidak terima). Mereka berprinsip, saya benar, kamu salah," ungkap pria yang juga menjadi Ketua Komisi Fatwa MUI Lampung ini.

Dalam berinteraksi di media sosial, mereka juga acapkali tidak mengedepankan etika dan sopan santun dalam ucapan atau komentar. Ditambah lagi dengan tidak berinteraksi secara langsung, mereka dengan leluasa dan gampangnya membantah dengan kasar kepada para alim, kiai dan orang yang lebih tua dari mereka.

"Dengan memakai jurus copy paste link berita, artikel, video atau gambar yang tidak jelas kesahihannya, mereka membantah, menyalahkan bahkan sampai mengafir-ngafirkan orang tua seolah-olah paham masalah yang dibahas," lanjutnya.

Mereka juga lanjut Kiai Munawir, gampang terpengaruh informasi hanya lewat judul berita atau artikel yang beredar. Sikap kritis dan tabayun hilang karena sentimen kecintaan maupun kebencian terhadap seseorang atau sesuatu yang didiskusikan.

"Lihat saja pernyataan-pernyataan di kolom komentar jika ada informasi hangat di media sosial. Banyak yang belum membaca informasinya secara utuh, namun sudah berkomentar panjang. Bahkan terkadang tidak nyambung sama sekali dengan yang didiskusikan," ungkapnya.

Banyak dari mereka juga, lanjut Kiai Munawir, menafsirkan ayat, dalil, istilah dan berbagai hal yang sedang hangat dibicarakan di media sosial menggunakan penafsiran mereka sendiri. Setelah itu mereka menyalahkan penafsiran yang dibuat oleh mereka sendiri. Mereka tidak menanyakannya kepada orang yang berkompeten.

"Ini kan aneh. Belum tahu substansinya sudah berkomentar dan menyalahkan. Belum paham tapi sudah merasa paling tahu. Kebenaran dari orang yang tidak disenangi selalu disalahkan. Kesalahan orang yang disenangi selalu dibenarkan," tambahnya.

Perilaku belajar agama seperti ini lanjutnya, sangat tidak sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah SAW. Mengutip pernyataan KH Mustofa Bisri (Gus Mus), ia menegaskan bahwa "Agama itu jalan hidup, bukan gaya hidup".

"Sudah mulai banyak masyarakat yang menjadikan agama sekedar sebagai gaya yang dilihat dari penampilan fisik saja. Banyak yang merasa paling beragama tetapi sesungguhnya tidak mengenal agamanya dengan benar. Menjadikan kegiatan ibadahnya untuk di pertontonkan dan mendapat pujian," katanya.

Kiai Munawir pun mengajak kepada masyarakat khususnya umat Islam untuk berhati-hati dalam bermedia sosial khususnya terkait agama. Apalagi dikaitkan dengan politik. Ia mengajak agar umat Islam belajar agama tidak melalui media sosial namun langsung kepada kiai dan ulama yang jelas silsilah keilmuannya.

"Kalau belajar lewat dunia maya tidak akan ada yang mengingatkan jika kita ada kesalahan. Tapi kalau belajar lewat dunia nyata, kita akan langsung diingatkan oleh guru kita sekaligus mendapatkan yang tidak dimiliki oleh guru virtual yakni keberkahan," pungkasnya. (Muhammad Faizin)