Daerah

Menjadi Muslim adalah Nikmat Terindah dalam Hidup

Sel, 23 Juli 2019 | 02:30 WIB

Jombang, NU Online
Tidak banyak yang mendapat petunjuk dan tergerak hati sehingga menjadi beriman dan Muslim. Karenanya, nikmat yang sudah ada hendaknya bisa disyukuri lantaran merupakan kurnia yang demikian mahal.
 
Keterangan ini disampaikan KH Abdul Kholiq Hasan, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Amanah, Bahrul Ulum, Tambakberas, Jombang Jawa Timur, Selasa (23/7). 
 
Menurut Kiai Kholiq, ditakdirkan menjadi orang beriman adalah anugerah terbesar dan istimewa dari Allah SWT. “Apa yang terjadi pada setiap Muslim itu baik. Dan itu tidak pernah terjadi kecuali bagi seorang mukmin. Sehingga semua yang menimpa dan terjadi kepadanya adalah kebaikan,” ungkap Rektor Institut Agama Islam Bani Fatah atau Iaibafa, Jombang tersebut.
 
Dalam pandangannya, saat seorang Muslim ditimpa kesenangan, maka yang bersangkutan akan bersyukur. “Dan kesenangan tersebut yang terbaik bagi dirinya. Demikian pula apabila dia tertimpa musibah dan kesususahan, maka sabar. Dan musibah dan bencana yang menimpa kepadanya adalah lebih baik,” urainya.
 
Ada dua pilihan yang bisa ditentukan bagi kaum Muslimin. Bersyukur dengan nikmat yang diterima, atau bersabar atas musibah yang menimpa. “Kebanyakan kita akan berharap menjadi umat Nabi Muhammad SAW yang diberikan kenikmatan dan bersyukur. Bukan bersadar saat ditimpa musibah,” kata alumnus pasca sarjana Universitas Islam Malang (Unisma) tersebut. Padahal, musibah sebenarnya sebagai hari rayanya kaum Muslimin yang menghendaki wushul kepada Allah SWT, lanjutnya.
 
Terkait syukur, Kiai Abdul Kholiq menjelaskan ada sejumlah rukun yang harus dimiliki.
Pertama adalah hati. Dalam artian, di hati senantiasa terpatri bahwa tidak ada satu nikmat pun selain menyadari bahwa itu dari Allah SWT. “Bukan dari usaha diri sendiri,” tegasnya.  
 
Yang kedua, rukun syukur adalah sering mengucapkan alhamdulillah. Dan ketiga, menggunakan syukur sesuai dengan transaksinya.
 
“Mulut kita, misalnya adalah pinjaman dari Allah SWT dan diberikan dalam keadaan baik, harum dan bersih,” katanya. 
 
Oleh sebab itu, sebagai peminjam hendaknya menggunakan mulut untuk kebaikan, bukan sebaliknya. “Maka seharusnya bagi peminjam yang baik, maka harus mengembalikan posisi mulut ini sama seperti ketika meminjam. Sehingga saat mati kelak mengembalikan sama seperti saat transaksi awal,” urainya.
 
Dalam keterangan syarah kitab Hikam disebutkan bahwa kalau nikmat yang diterima begitu besar dan banyak, namun rasa syukur manusia tidak seimbang dan berbanding lurus dengan nikmat yang diterima. “Kalau kemudian kita merasa menikmati aneka kurnia, namun durhaka dan tidak pernah mendapatkan musibah atau peringatan, maka hendaknya hati-hati karena itu bukan lagi sebagai nikmat, melainkan istidraj,” ungkapnya.
 
Menurutnya, musibah dalam hidup adalah sebuah hal pasti. “Kalau kita selalu diberi nikmat, maka akan lupa seperti Fir’aun. Oleh sebab itu, seorang Mukmin harus menjadikan musibah sebagai sarana untuk sabar dan berhusnuddzan kepada Allah SWT,” tandasnya.
 
Pada kesempatan yang lain, Nabi Muhammad SAW mengemukakan bahwa hidupnya baik untuk umat, dan meninggalnya juga terbaik untuk kaum Muslimin.
 
Mengapa Nabi Muhammad SAW bersabda demikian? “Karena kalau Nabi Muhammad hidup, umat dapat dan bertanya kepadanya dan mengutarakan kebutuhan lain,” kata Kiai Kholiq. 
 
Dan kalaupun Nabi Muhammad wafat, maka itu lebih baik bagi umat. “Karena setiap Kamis, saat amal yang umat lakukan dihantarkan kepada Allah SWT, maka amal itu saya stop itu saya lihat. Ketika amal umat jelek, maka Nabi Muhammad SAW akan menangis sembari memohon kepada Allah untuk diampuni,” ungkapnya.
 
Inilah kehebatan Nabi Muhammad ketika telah wafat. “Ini artinya, hidup dan wafatnya Nabi Muhammad akan selalu bermanfaat bagi kita sebagai umatnya,” pungkas dia. (Ibnu Nawawi)