Malang, NU Online
Kiai Masyhudi berceramah dalam berbagai bahasa. Mulai Indonesia, Jepang, Jawa, Madura, dan Sunda. Dalam ceramahnya ia menceritakan bagaimana perjalanannya bersama tokoh-tokoh seperti Bung Tomo serta para ulama dalam menghadapi penjajahan Jepang dan Agresi Meliter Belanda pertama dan kedua.
<>
Suaranya masih mengesankan ketegasan dan lantang. Ingatannya yang tajam ditunjukkan dengan kemampuannya mengenang tempat dan tokoh-tokoh seperjuangannya.
Ia mengatakan, para ulama telah memberikan sumbangannya yang besar dalam bentuk fisik maupun jiwa, dan pemikirannya.
Kemudian ia mengkritik para pemuda dan masyarakat sekarang yang pada saat merayakan Dirgahayu Indonesia tiap tahunnya hanya dengan foya-foya dan bermusik ria. Seakan-akan tidak merenungkan dan mengenang jasa para pahlawan dengan penuh kesungguhan.
“Pahlawan-pahlawan yang sudah meninggal, jika melihat cara kita merayakan kemerdekaan, mungkin akan berkata begini, ‘Hei…, aku, sahabat dan keluargaku yang meninggal demi kemerdekaan, sampai mati belum merasakannya. Mengapa kalian hanya berfoya-foya, padahal kalian tugasnya hanya mensyukuri dengan mengisi dengan kebaikan’?’” ucapnya.
Ia menceritakan juga bagaimana ia sendiri melihat para ulama dibawah pimpinan KH Hasyim Asy’ari berperang melawan Belanda.
Kiai-kiai berperang tanpa mereka mengerti bagaimana strategi perang. Mereka hanya bermodalkan keinginan dan cita-cita luhur. Hanya bersenjatakan bambu runcing yang bisa ditembakkan dengan jarak paling jauh 2 meter saja. Sedangkan senjata mereka bisa menjangkau dalam jarak terdekat 30 km.
“Oleh karenanya kemerdekaan kita ditulis dalam pembukaan UUD dengan, “Atas berkat rahmat Allah’ bukan ‘atas perjuangan kita’,” ungkapnya.
“Pada saat perang melawan Belanda, saya memperhatikan Kiai Hasyim Asy’ari bertempur meskipun beliau tidak dalam kesatuan saya. Sebuah mortir jatuh hampir mengenai dirinya. Beliau hanya bilang, ‘O, Iya kaki saya gatal…’,” kenangnya.
Para kiai, habaib, dan jamaah yang sedari tadi memperhatikannya, tidak dapat menyembunyikan kagum dan haru mereka. Mereka ikut terbawa suasana, dan terdengar suara-suara yang menyebut, ‘Ya Allah, ya Allah, ya Allah...’.
Pada bagian lain ia juga mengkritik gerakan-gerakan yang keberadaannya merongrong Indonesia dengan sindiran.
“Dengan mengetahui dan memahami sejarah, maka kita akan menjadi orang yang sopan, tidak macam-macam sama orang tua. Karena mereka akan menyadari tidak akan ada menjadi seperti saat ini tanpa perjuangan para pendahulu,” ucapnya dengan tegas.
Dalam acara yang juga turut mengundang para pejabat dan para prajurit serta purnawirawan TNI ini, ada bagian yang lebih mengesankan pada diri Kiai Masyhudi dari pada apa yang diceritakan. Ia menyanyikan lagu Indonesia Raya, lagu kebangsaan Indonesia dengan Bahasa Arab.
Katanya, lagu itu biasa dinyanyikan oleh para kiai bersama santrinya. Kemudian lagu itu diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Kartini, lalu dipopulerkan oleh WR. Supratman.
Terlalu cepat ia menyanyikan lagu kebangsaan dalam Bahasa Arab itu, sehingga tidak sempatlah saya mencatatnya. Sangat sayang sekali.
Saya yang hadir disana menjadi terkesima. Sebegitu dalamnya ia mengetahui sejarah perjuangan Indonesia. Sebegitu tajam ingatannya dalam kenangan berjuang demi kemerdekaan. Sungguh sangat mengesankan sekali.
Saya berjanji pada diri sendiri, semoga bisa bertemu kembali setelah acara ini. Dan semoga para pemuda bisa mengambil pelajaran darinya, dan meninggalkan pahlawan-pahlawan baru Indonesia, sebelum ia dipanggil Tuhan menuju keridoan-Nya.
Redaktur : Abdullah Alawi
Kontributor: Ahmad Nur Kholis
Terpopuler
1
Niat Puasa Arafah untuk Kamis, 5 Juni 2025, Raih Keutamaan Dihapus Dosa
2
Laksanakan Puasa Tarwiyah Lusa, Berikut Dalil, Niat, dan Faedahnya
3
Menggabungkan Qadha Ramadhan dengan Puasa Tarwiyah dan Arafah, Bolehkah?
4
Khutbah Idul Adha: Mencari Keteladanan Nabi Ibrahim dan Ismail dalam Diri Manusia
5
Terkait Polemik Nasab, PBNU Minta Nahdliyin Bersikap Bijak dan Kedepankan Adab
6
Ketentuan, Doa, dan Amalan Sunnah Saat Wukuf di Arafah
Terkini
Lihat Semua