Daerah

Merasa Nikmat Beribadah di Hadapan Orang Lain? Hati-hati Riya

Ahad, 2 Februari 2020 | 03:30 WIB

Merasa Nikmat Beribadah di Hadapan Orang Lain? Hati-hati Riya

Wakil Rais Syuriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Pringsewu, Lampung KH Mubalighin Adnan pada kegiatan Ngaji Ahad Pagi (Jihad Pagi) di aula Kantor NU Pringsewu. (Foto:NU Online/Faizin)

Pringsewu, NU Online
Jika merasakan nikmat beribadah ketika berada di hadapan orang lain dan berat melakukannya karena tidak ada orang lain, maka sudah sepatutnya kita bermuhasabah (introspeksi) diri. Dalam Kitab Minahussaniyah disebutkan bahwa kondisi ini disebabkan oleh sifat riya (pamer).
 
"Riya itu sifat yang berlawanan dengan ikhlas. Riya adalah penyakit yang menjadi racun dan membunuh keikhlasan dan pahala dari ibadah kita," kata Wakil Rais Syuriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Pringsewu, Lampung KH Mubalighin Adnan pada kegiatan Ngaji Ahad Pagi (Jihad Pagi) di aula Kantor NU Pringsewu, Ahad (2/2).
 
Nabi Muhammad SAW pun sangat mewaspadai sifat riya ini sampai-sampai menyebutnya sebagai syirik kecil. Dinamakan syirik karena memang niat orang yang riya dalam beribadah bukan karena Allah semata. Orang yang riya sudah menduakan Allah dengan niat-niat lainnya.
 
"Riya itu samar. Yang tahu ada riya atau tidak dalam setiap aktivitas ibadah kita itu hanya kita sendiri dan Allah SWT," kata Pengasuh Pesantren Mathlaul Huda Ambarawa yang karib disapa Gus Balighin ini.
 
Merasa nikmat beribadah di hadapan orang lain dan memiliki niat tidak karena Allah SWT dalam beribadah ini menjadi ciri-ciri riya. Sifat ini lambat laun akan menggelapkan hati manusia dan semakin jauh dari Allah SWT.
 
"Mari murnikan tujuan amalmu hanya kepada Allah. Jangan sepelekan riya ini dengan membaurkannya bersama hasrat-hasrat nafsu kita. Bila tidak, maka amal ibadahkita akan rusak," ajaknya berdasar kitab karya Sayyid Abdul Wahab Asy-Syarani ini.
 
Gus Balighin pun menjelaskan bahwa pendorong amal perbuatan manusia biasanya terdiri dari dua hal yakni kepentingan dunia dan kepentingan akhirat. Jika tidak diniati dengan baik, kedua kepentingan ini bisa menjadi jalan menuju riya.
 
Sehingga ia pun mengajak setiap individu untuk menjadikan riya sebagai hal yang ia istilahkan sebuah rem untuk memberhentikan diri dan bermuhasabah tentang kualitas ibadah. Ketika ternyata ibadah yang kita lakukan sudah dicampuri riya, maka harus dihentikan dengan menata niat murni kembali.
 
"Mari tata niat kita murni hanya karena Allah. Karena Allah pun 'cemburu' jika manusia menduakanNya dalam setiap ibadah yang dilakukan. Semoga kita senantiasa dijauhkan dari sifat riya," pungkasnya.
 
Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Syamsul Arifin