Daerah Pilkada DKI Jakarta

Militer Tak Perlu Jadi Gubernur

NU Online  ·  Selasa, 8 Agustus 2006 | 11:22 WIB

Jakarta, NU Online
Menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Gubernur DKI Jakarta yang akan digelar pada 2007 mendatang, keberadaan militer kembali disoal. Militer dinilai tidak perlu ikut-ikutan dalam proses pesta demokrasi yang akan digelar di ibukota negara tersebut.

Demikian wacana yang mengemuka pada dialog publik bertema “Gubernur DKI Jakarta Haruskah Militer? Relevansi Sipil-Militer dalam Pilkada DKI Jakarta“ di Gedung PBNU Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Selasa (8/8)

<>

Diskusi yang diselenggarakan Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PB PMII) menghadirkan sejumlah narasumber, antara lain Staf Ahli Komisi I Bidang Pertahanan dan Keamanan DPR-RI A Malik Haramain, Pengamat Politik dari CSIS Kusnanto Anggoro dan anggota KPUD DKI Jakarta Juri Ardiantoro.

Kusnanto Anggoro menyangkal pandangan di masyarakat yang cukup kuat bahwa pemimpin dari kalangan sipil dinilai kurang mampu. Menurutnya, faktor yang membentuk penilaian tersebut adalah karena selama ini seorang gubernur kurang mampu mengendalikan para pejabat militer di daerahnya.

Sebagai pemimpin tertinggi pemerintahan di tingkatan propinsi, kata Kusnanto, Gubernur merupakan orang yang paling bertanggung jawab atas segala sesuatu yang terjadi di daerahnya. Oleh karenanya, seorang gubernur memiliki otoritas yang cukup besar.

“Maka, kesimpulannya menurut saya, selama Kapolda (Kepala Kepolisian Daerah) atau Pangdam (Panglima Daerah Militer) bisa mengikuti keputusan politik dari gubernur, nggak perlu dari militer gubernurnya,“ tegas Kusnanto.

Alasan lain yang digunakan Kusnanto adalah karena kecenderungannya militer akan menggunakan cara koersif dalam menjalankan aktivitas politiknya. Hal itu, menurutnya, jelas merupakan ancaman bagi jalannya demokrasi di Indonesia.

“Memang, baik sipil maupun militer sama-sama memiliki kecenderungan untuk menggunakan alat-alat koersif. Tapi kecenderungan lebih besar ada pada tentara, karena mereka dilatih untuk itu,“ terang Kusnanto.

Sedikit berbeda dengan Kusnanto, A Malik Haramain mengatakan keterlibatan militer dalam politik praktis—dalam hal ini Pilkada—merupakan langkah yang tidak strategis. “Boleh saja militer, baik pensiunan atau masih aktif mencalonkan jadi gubernur, tapi menurut saya tidak strategis bagi TNI ke depan,“ katanya.

Dijelaskan Malik, begitu panggilan akrab mantan Ketua Umum PB PMII ini, tuntutan bahwa militer harus menegaskan posisinya sebagai fungsi pertahanan dan keamanan negara harus diperhatikan oleh TNI maupun Polri. Jika tidak, maka proses demokrasi dan demokratsisasi di Indonesia akan berjalan lambat.

Oleh karena itu, lanjut Malik, penting diupayakan kembali dikotomi antara sipil dan militer dalam rangka memperjelas posisi dan tugas keduanya. Jika tidak demikian, maka hal itu akan semakin menguatkan militer sekaligus melemahkan peran sipil dalam kehidupan berdemokrasi.

Berbeda dengan keduanya, Juri Ardiantoro lebih bersikap netral. Namun demikian, ia menilai, perdebatan seputar sipil dan militer hanyalah sebatas wacana saja. Dalam kenyataan, katanya, kekuatan sipil dalam hal ini adalah partai politik tidak memersalahkan hal tersebut.

“Kenyataannya, partai politik tidak mempermasalahkan apakah calonnya dari militer atau sipil sendiri. Yang penting bagaimana calonnya tersebut bisa memberikan keuntungan bagi parpol yang bersangkutan,“ ujar Juri.

Wacana sipil-militer tersebut mengemuka setelah sebelumnya beredar sejumlah nama mantan petinggi militer yang disebut-sebut akan meramaikan Pilkada DKI Jakarta, antara lain Bibit Waluyo dan Agus Wijoyo. Dari kalangan petinggi kepolisian sempat beredar nama Wakil Kepala Polri Komjen (pol) Adang Daradjatun. (rif)