Daerah KONGRES PMII

Momentum Lahirkan Format Hubungan Ideal PMII-NU

Sel, 3 Juni 2014 | 04:01 WIB

Surabaya, NU Online
Kongres PMII XVIII yang tengah berlangsung di Jambi dinilai sebagai momentum yang tepat bagi seluruh kader PMII untuk membicarakan secara utuh ihwal posisi ideal hubungan PMII dan NU.<>

“Saya berharap besar, dari kongres kali ini akan lahir keputusan bersejarah yang final dan mengikat terkait pola hubungan PMII dan NU. Sehingga tidak lagi muncul perdebatan serupa di kemudian hari,” ujar alumni PMII Surabaya, Syukron Dosi, Senin (2/5).

Ia menegaskan, ajakan PBNU agar PMII kembali ke pangkuan NU dengan kembali menjadi Badan Otonom NU, perlu disikapi secara arif. Menurutnya, PMII adalah bagian dari ‘Pandawa NU’ bersama Ansor, Muslimat, Fatayat, dan IPNU/IPPNU.

PMII yang lahir 17 April 1960 di Surabaya adalah bagian dari NU. PMII lahir dari rahim NU. Ibarat keluarga, hubungan NU-PMII seperti hubungan orangtua dan anak.

“Saya sepakat soal kemandirian organisasi. Memilih pergaulan organisasi adalah area independen bagi PMII. Tapi soal keterikatan organisatoris dengan NU, ini perlu dimusyawarahkan kembali,” tandasnya.

Independensi PMII yang lahir lewat deklarasi Murnajati pada tahun 1972 di Malang adalah pilihan sejarah di saat NU masih menjadi partai politik. Sejak 16 tahun pasca reformasi, PMII sama sekali tidak pernah menghadirkan pernyataan sikap yang bersejarah.

“Saya kira sangat kontekstual untuk kembali membicarakan secara jernih soal pola hubungan ideal antara PMII dan NU. Tentu perlu pembacaan bersama di kongres,” tegasnya.

Di momentum Kongres PMII di Jambi kali ini, Syukron menawarkan dua opsi yang perlu direfleksikan bersama oleh kader PMII. Pertama, PMII tetap independen, tetapi PMII tidak boleh menutup mata karena PMII butuh sparing partner dalam mencetak kader NU di kampus.

Terbukti, selama ini PMII masih mengalami kesulitan merebut kompetisi di kampus umum. Karena itu, PMII harus ikut terlibat aktif membantu NU dalam pembentukan ‘anak baru’ yakni Banom untuk Mahasiswa NU, baik IMANU, KMNU, Permanu, maupun pilihan nama lainnya.

“PMII harus turut andil dalam perumusan itu, karena itu adalah panggilan sejarah,” tandasnya.

Kedua, PMII back to Khittah. Sesuai konteks saat ini serta atas dasar tuntutan dan tuntunan zaman PMII memilih kembali ke pangkuan NU. Tentu dengan berbagai catatan, PMII tetap diberi kewenangan strategis terkait sikap serta pola kaderisasi, dan lain-lain.

Dua opsi tersebut harus diurai kembali secara jernih dan utuh, sehingga melalui forum tertinggi ini lahir sebuah manifesto yang cukup bersejarah soal hubungan PMII-NU.

“Ini momentum yang tepat untuk melahirkan sebuah manifesto. Tinta sejarah hari ini ada di tangan kader PMII soal posisi PMII yang tepat,” pungkasnya. (Abdul Hady JM/Anam)