Daerah

Pengguna Media Sosial Diajak Teliti Seperti Imam Bukhari

Ahad, 2 September 2018 | 19:00 WIB

Bandung, NU Online 
Budayawan Hawe Setiawan mengajak pengguna media sosial agar tidak gampang menyebar informasi yang didapat dari siapa pun tanpa meneliti terlebih dahulu kebenarannya. Kalaupun benar, mesti ditimbang terlebih dahulu penting dan tidaknya untuk disebarkan. 

"Think before posting," katanya, "Unggahan harus benar secara nalar, benar secara leksikal. Terus apa gunanya kalau disebarkan?" lanjut kolumnis yang gemar bersepeda ini.  

Pengurus Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) Jawa Barat ini mencontohkan ketelitian Imam Bukhari dalam meriwayatkan sebuah hadits. Ia selalu mencari tahu sumber hadits yang diterima secara berantai. 

Artinya, ketika ia mendapatkan hadits dari A, sementara A mendapatkannya dari B, Imam Bukhari akan mengklarifikasinya ke B. Ketika B menyatakan mendapat hadits dari C. Imam Bukhari juga akan mengklarifikasinya. Begitu seterusnya.  

Tak hanya itu, saking telitinya, Imam Bukhari juga memasukkan watak si periwayat dalam kriteria  kesahihan haditsnya. 

“Ketika ia mendapatkan seorang periwayat hadits yang menyiksa anjing, ia akan meragukan kesahihannya,” kata kolumnis kelahiran Subang ini pada diskusi Konsolidasi Media untuk Penguatan Toleransi dan Keberagaman di Java Resto Hotel Bandung, Sabtu, 1 September 2018 yang digelar Search-Indonesia dan Jaringan Kerja Antar Umat Beragama (JAKATARUB). 

Namun, pria yang terampil membuat sketsa ini, juga tak setuju kalau media sosial dikontrol negara. Ia lebih menyukai dengan mendekatan pendidikan.

"Saya lebih percaya lewat pendidikan daripada kontrol, tapi memang membutuhkan waktu lama," katanya. 

Perlu diketahui, Imam Bukhari adalah seorang ahli hadits yang lahir di Bukhara pada tahun 194 H. Dari sekian banyak karyanya, yang paling terkenal di antaranya adalah Shahih Bukhari. Kitab tersebut disusun selama lebih kurang 16 tahun.

Ucapan Imam Bukhari yang terkenal adalah, “Saya tidak memasukkan ke dalam kitab sahihku kecuali hadits yang sahih”. (Abdullah Alawi)