Daerah

Penjelasan Penting Terkait Akidah Seputar Isra' dan Mi'raj

Rab, 3 April 2019 | 06:00 WIB

Penjelasan Penting Terkait Akidah Seputar Isra' dan Mi'raj

Ustadz Nur Rohmad (kiri).

Mojokerto, NU Online
Para ulama Ahlussunnah wal Jamaah sepakat menyatakan bahwa Allah tidak diliputi tempat, ada tanpa menempati tempat, ada tanpa membutuhkan tempat. Dalam arti lain yaitu, ada tanpa tempat.

Pengurus Syabab Ahlissunnah wal Jama'ah (Syahamah) Ustadz Nur Rohmad mengatakan nahdliyin tidak boleh meyakini bahwa saat Mi'raj, Allah di arah atas, lalu Rasulullah diperintahkan naik ke atas untuk sowan dan bertemu dengan Allah. Maksud dan tujuan Isra' dan Mi'raj tidaklah seperti itu.

"Maksud dan tujuan Isra' dan Mi'raj adalah memuliakan Rasulullah dengan memperlihatkan pada beliau sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, serta menerima perintah shalat di tempat yang sangat suci, yang tidak pernah dilakukan dosa dan maksiat di dalamnya," jelasnya di Mojokerto, Jawa Timur, Selasa (2/3).

Alumni Pondok Pesantren Mambaul Ma'arif Denanyar ini menyebutkan salah satu sifat Allah yang juga wajib diyakini adalah qiyamuhu bi nafsihi, artinya tidak membutuhkan kepada segala sesuatu selain-Nya. Dengan demikian, wajib diyakini bahwa Allah tidak membutuhkan tempat, arah, tempat tinggal, arsy, kursi, langit dan lain-lain.

"Tidak boleh dikatakan bahwa Rasulullah berjumpa dengan Allah pada saat mi'raj. Juga tidak boleh diyakini bahwa Allah mendekat secara fisik kepada Rasulullah sampai jarak antara keduanya hanya sebatas dua hasta, atau bahkan lebih dekat. Karena Allah bukan berupa benda, dan Mahasuci dari sifat-sifat benda," ujar Ustadz Rohmad.

Dikatakannya, para ulama berbeda pendapat terkait apakah Rasulullah melihat Allah ketika Mi'raj atau tidak. Sayyidah Aisyah berpendapat bahwa Rasulullah tidak melihat Tuhannya ketika Mi'raj. Sedangkan Ibnu Abbas berpendapat bahwa Rasulullah melihat Tuhannya.

Pendapat yang kuat adalah bahwa Rasulullah melihat Tuhannya pada saat Mi'raj dengan hatinya, bukan dengan pengelihatannya. Dan penting untuk ditegaskan bahwa Nabi melihat Allah dengan hatinya, tanpa tempat, tanpa arah, tanpa bentuk, tanpa ukuran, tanpa bersifat dengan sifat-sifat makhluk, dan tanpa bisa dibayangkan serta tanpa bisa dibagaimanakan.

"Ketika Mi'raj, Rasulullah mendengar kalam Allah yang azali dalam artian tidak bermula, abadi yakni tidak berakhir, yang bukan berupa suara, bahasa dan huruf. Rasulullah memahami dari kalam Allah tersebut kewajiban shalat lima waktu. Beliau juga memahami bahwa akan diampuni dosa-dosa besar bagi orang-orang yang dikehendaki oleh Allah, jika mereka mati dalam keadaan membawa keimanan," bebernya.

Terkait ucapan Nabi Musa kepada Nabi Muhammad yang berbunyi  "kembalilah ke tempat di mana engkau menerima wahyu dari Tuhanmu dan mintalah pada-Nya keringanan". Artinya bukanlah kembali ke tempat Tuhanmu. Karena Allah bebas dari tempat, Allah ada tanpa tempat.

"Bagi setiap orang yang meyakini bahwa Allah adalah sesuatu yang memiliki ukuran dan berada di suatu tempat, atau Allah dengan Dzat-Nya mendekati Rasulullah, atau meyakini Allah duduk di atas arsy, hendaknya melepaskan keyakinan-keyakinan tersebut, dan kembali masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat," tambah Ustadz Rohmad.

Dirinya menegaskan, salah satu sifat Allah yang wajib umat Islam yakini lagi adalah mukhalafatuhu lil hawadits. Allah berbeda dengan segala sesuatu. Sehingga wajib diyakini bahwa Allah tidak bersifat dengan sifat-sifat makhluk-Nya, seperti bertempat, berada di arah atas atau arah-arah yang lain, berbentuk, memiliki anggota badan dan lain-lain. 

"Mari kita gaungkan aqidah Allah ada tanpa tempat. Supaya tidak ada ruang bagi Wahhabi untuk menyebarkan keyakinan-keyakinan sesat dan kufur mereka bahwa Allah di atas, Allah duduk di atas arsy dan meletakkan kaki-Nya di atas kursi, dan keyakinan bahwa Allah di langit," tandasnya. (Syarif Abdurrahman/Ibnu Nawawi