Daerah PEDULI COVID-19

Pergub Jabar tentang Covid-19 Dianggap Memberatkan Pesantren

Ahad, 14 Juni 2020 | 16:00 WIB

Pergub Jabar tentang Covid-19 Dianggap Memberatkan Pesantren

KH Musyfiq Amrullah, Pengasuh Pesantren At-Tawazun Kalijati Subang. (Foto: Istimewa)

Subang, NU Online
Kegiatan belajar mengajar (KBM) di pesantren yang sempat diliburkan akibat pandemi covid-19, saat ini sudah diperbolehkan buka kembali. Namun demikian, para kiai di Jawa Barat banyak yang merasa gelisah setelah terbitnya Peraturan Gubernur Nomor 443/Kep.321-Hukham/2020 tentang Protokol Kesehatan untuk Pengendalian Covid-19 di Pesantren.


“Pergub ini menjadi perbincangan hangat di grup forum pesantren Jawa Barat, karena memuat beberapa poin yang dianggap memberatkan pihak pesantren,” ungkap Pengasuh Pesantren At-Tawazun KH Musyfiq Amrullah di Kalijati, Subang, Sabtu (13/6).


Dikatakan Kiai Musyfiq, dalam Pergub ini disebutkan bahwa pesantren harus menyediakan beberapa sarana dan prasarana kesehatan yang tentu saja akan banyak menelan biaya. Pada saat yang sama, pesantren tidak mendapatkan bantuan pemerintah seperti halnya sekolah yang selalu mendapatkan biaya operasional dari pemerintah.


Selanjutnya, kata dia, para santri atau ustadz yang baru datang dari luar daerah dan akan melakukan aktivitas di pesantren diharuskan melakukan isolasi mandiri selama 14 hari.


"Masalahnya, rata-rata pesantren mempunyai ruangan terbatas. Bahkan, kadang kobong saja sudah tidak muat untuk tidur santri,” imbuh Ketua PCNU Subang periode 2008-2018 ini.


Selain itu, lanjutnya, para santri dan dewan guru yang datang dari luar daerah harus membawa surat keterangan sehat dari Dinas Kesehatan atau Puskesmas. Sementara biaya untuk melakukan rapid test tidak ditanggung pemerintah padahal biayanya terhitung mahal.


“Yang dianggap paling meresahkan, dalam Pergub tersebut ada kalimat yang bernada ancaman kepada pimpinan pesantren,” ujar Wakil Katib PWNU Jawa Barat ini.


Soal sanksi
Pimpinan pesantren, sambungnya, diharuskan membuat surat pernyataan di atas materai yang salah satu poinnya adalah jika tidak menerapkan protokol kesehatan di pesantren, maka pimpinannya bersedia disanksi berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. 


“Surat pernyataan ini kemudian diserahkan kepada Bupati/Wali Kota dan ditembuskan kepada pihak kepolisian,” ungkap Kiai Musyfiq.


Lebih lanjut, ia menekankan bahwa penerapan protokol kesehatan di pesantren seperti cuci tangan, pakai masker, jaga jarak dan sebagainya dianggap sangat wajar. Namun, jika dibarengi dengan ancaman sanksi kepada pesantren tentu saja hal itu sudah tidak wajar lagi.


“Kami mohon kepada Gubernur untuk merevisi Pergub ini atau setidaknya memberikan penjelasan mengenai sanksi yang dimaksud sehingga tidak menimbulkan multi tafsir di kalangan ajengan,” bebernya.


Pada dasarnya, kata Kiai Musyfiq, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mempunyai niat mulia dalam menekan angka penularan covid-19. Namun, sepertinya Gubernur Jabar tidak melibatkan perwakilan pesantren yang mengetahui situasi dan kondisi pesantren.


Kiai Musyfiq pun mengaku sudah berdiskusi panjang dengan beberapa organisasi yang berperan di dunia pesantren seperti PWNU dan RMINU (Rabithah Ma'ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama) Jawa Barat serta Formada (Forum kerjasama alumni Darurrohman).


“Kita sering komunikasi lewat Zoom dan WA grup, semua merasa gelisah dengan terbitnya Pergub ini,” imbuhnya.


Lebih lanjut Kiai Musyfiq mengatakan, ia sudah berkomunikasi dengan Kepala Kemenag Subang dan Forum Komunikasi Pondok Pesantren (FKPP) Subang untuk menelaah dan membedah isi Pergub ini. Hasilnya kemudian disampaikan kepada Gubernur.


Kontributor: Aiz Luthfi
Editor: Musthofa Asrori