Daerah

Raden Asnawi, Kiai Pejuang di Masa Kolonial

Rab, 27 Januari 2016 | 04:00 WIB

Nama asli Kiai Asnawi adalah Raden Syamsi. Nama Asnawi diperoleh setelah menunaikan ibadah haji. Beliau juga pernah menggunakan nama Ilyas, ketika pertama kali berangkat haji, nama inilah yang dikenal ketika belajar di tanah Hijaz.

Asnawi, atau Raden Syamsi, lahir di Damaran, Kudus, pada 1281 H/1861 M. Ia merupakan putra dari pasangan H. Abdullah Husnin dan R Sarbinah, keduanya adalah pedagang konveksi yang cukup besar di kota Kudus. Jika dirunut silsilahnya, Kiai Asnawi masih keturunan ke-14 Sunan Kudus (Syech Ja’far Shodiq) dan keturunan ke-5 Kiai Ahmad Mutamakkin, Kajen, Pati.

Sebagai sosok ahli ilmu, sejak kecil sudah terlihat kegemaran Kiai Asnawi dalam belajar dan melakukan rihlah ilmiyyah (perjalanan keilmuan). Orang tuanya merupakan guru pertama, dalam mengaji tajwid dan penguasaan bacaan al-Qur’an. Kemudian, Asnawi kecil melakukan perjalanan ke Tulungagung, ikut orang tuanya berbisnis. Di kota ini, ia mengaji di sebuah pesantren. Kemudian, Asnawi kecil pindah ke Jepara, mengaji kepada KH. Irsyad Naib, di kawasan Mayong. Dari jalur keilmuan, jelas bahwa Kiai Asnawi mempunyai sanad yang tersambung dengan ulama-ulama Nusantara, di antaranya Kiai Saleh Darat (Semarang), Kiai Mahfudz at-Termasi (Termas, Pacitan), KH. Nawawi al-Bantani, dan Sayyid Umar Shatha.

Kiai Asnawi juga mengaji sekaligus menunaikan ibadah haji di tanah Makkah. Kiai Asnawi bermukim di Makkah selama kisaran 20 tahun. Selama mengaji di Makkah, beliau tinggal di rumah Syekh Hamid Manan yang berasal dari Kudus. Ketika belajar di Makkah, ayah Kiai Asnawi wafat. Meski demikian, kecintaan pada ilmu tidak menyurutkan niatnya untuk terus mengasah pengetahuan.

Ketika mengaji di Makkah, Kiai Asnawi menikah dengan Nyai Hj. Hamdanah, janda Syech Nawawi al-Bantani. Pernikahan ini dikaruniai 9 putra, di antaranya H. Zuhri, Hj. Azizah (istri KH. Saleh, Tayu), dan Alawiyah (istri R. Maskub Kudus).

Kiai Asnawi merupakan sosok aktifis sekaligus pendidik. Beliau sudah mulai mengajar santri ketika masih berada di Makkah, di antara santri-santrinya, yakni Kiai Bisri Syansuri, Kiai Wahab Chasbullah, KH. Dahlan, Kiai Saleh Tayu, Kiai Chambali (Kudus), KH. Mufid (Kudus), dan Kiai Ahmad Muchit (Sidoarjo).

Sang Kiai Pejuang

Kiai Asnawi sadar bahwa perjuangan harus menjadi semangat kaum santri untuk mengusir penjajah. Kiai Asnawi, meski telah banyak berkhotbah dan memberi pengajaran kepada santri, tetap bertekad untuk terjun langsung menjadi penggerak. Menginspirasi para santri dan rakyat untuk berjuang.

Ketika pulang ke tanah air pada 1916, Kiai Asnawi mendirikan madrasah di kawasan Menara Kudus, dengan sebutan Madrasah Qudsiyyah. Beliau bersama teman-temannya, membangun masjid Menara, agar menjadi rujukan tempat ibadah kaum santri. Pada waktu itu, kaum santri dan pengusaha Tionghoa di Kudus bersaing dalam ekonomi dan politik.

Pada masa sebelum kemerdekaan, KH. Raden Asnawi pernah bergabung dengan  pergerakan Sarekat Islam (SI), sebagai komisaris di Makkah. Kiai Asnawi dekat dengan beberapa aktifis pergerakan, di antaranya H. Agus Salim, HOS Tjokroaminoto dan beberapa tokoh lainnya. Sepulang dari Makkah, Kiai Asnawi dipercaya sebagai penasihat SI Kudus pada 1918.

Kiai Asnawi juga dikenal sebagai anti-penjajah. Beliau dengan teguh mengobarkan semangat juang para santri, dan tidak mau tunduk pada kepentingan rezim Hindia Belanda, maupun Jepang. Kiai Asnawi sering berdakwah dengan semangat jihad kemerdekaan, untuk memompa semangat kaum santri agar berani berjuang melawan penjajah di bumi Nusantara.

Pada masa pendudukan Jepang di bumi Jawa, Kiai Asnawi pernah dituduh menyimpan senjata api, sehingga rumah dan pondok dikepung oleh tentara Nippon, beliau juga dibawa ke markas Kempetei di Pati. Pada masa revolusi kemerdekaan, Kiai Asnawi menjadi penggerak kaum santri, sekaligus juga benteng spiritual para pejuang. Beliau mengajak santri dan warga muslim untuk membaca Shalawat Nariyah dan doa Surat al-Fiil. Pemuda-pemuda yang tergabung dalam jaringan laskar pejuang, berbondong-bondong sowan ke Kiai Asnawi untuk meminta doa, sebelum bertempur.

Kiai Asnawi juga menjadi sosok kiai yang turut mendirikan Nahdlatul Ulama. Pertemanan dan persahabatan dengan beberapa kiai Jawa, di antaranya Kiai Hasyim Asy’arie, Kiai Wahab Chasbullah, Kiai Bisri Syansurie dan beberapa kiai lain, menjadi ikatan kuat sosok beliau dengan perjuangan Nahdlatul Ulama, yang didirikan pada 1926. Ketika ajaran Wahabi mulai menggeliat di jazirah Arab yang dampaknya terasa di kawasan Nusantara, KiaiArwani tidak tinggal diam. Beliau memperjuangkan ajaran ahlus sunnah wal-jamaah agar berakar kuat di negeri ini. Kiai Arwani didelegasikan oleh komunitas kiai, yang dipimpin oleh Kiai Wahab Chasbullah untuk mengupayakan strategi diplomatik, dalam rangka menggagalkan pembongkaran kuburan Nabi Muhammad.  

Kiai Asnawi wafat pada usia 98 tahun, tepatnya pada 25 Jumadil Akhir 1378 H/26 Desember 1959 M. Kiai Asnawi menjadi salah satu poros keilmuan, aktifisme, dan keteladanan bagi masyarakat Kudus dan sekitarnya. Beliau mempopulerkan shalawat, yang kemudian dikenal sebagai “Shalawat Asnawiyyah”, yang sampai sekarang sering dibaca di majelis-majelis kaum santri di pelbagai daerah.

Prinsip perjuangan dan istiqomah dalam mengajar menjadi teladan hikmah Kiai Asnawi. Pengajian umum Sanganan di Masjid Agung Kauman Wetan Kudus dan Majelis Pitulasan di Majelis al-Aqsha Kudus, merupakan warisan pembelajaran Kiai Asnawi, yang sampai sekarang masih berjalan. [] 


Munawir Aziz, peneliti, editor penerbitan dan Wakil Sekretaris LTN PBNU (Twitter: @MunawirAziz)

Referensi:
Muhib Inganatut Thalibin, KHR Asnawi: Sejarah Hidup, Pemikiran dan Perjuangannya, Yogyakarta: Skripsi UIN Sunan Kalijaga, 2008.

Rabith, Jihan Amaruli, Pemikiran Islam K.H.R. Asnawi Kudus (1916 – 1959). Prosiding Seminar Nasional Budaya di Pantai Utara Jawa. 2012.

Samsul Munir Amin, Karomah Para Kiai, Yogyakarta: LKIS, 2008.