Daerah

Santri Al-Munawwir Krapyak Pelajari Tips Studi di Belanda

Sen, 15 Januari 2018 | 15:30 WIB

Yogyakarta, NU Online
“Sering-sering diadakan mawon (saja), Bu. Terima kasih atas ilmunya,” kata salah seorang peserta Workshop Ayo Menulis, Ayo Sekolah di Belanda yang diadakan Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) Pengurus Cabang Istimewa Nadhatul Ulama (PCINU) Belanda dan Komunitas Matapena. 

Pernyataan ini juga diamini oleh para peserta yang lain, yaitu para santri PP Al-Munawwir Komplek Q Krapyak Yogyakarta. Selama dua hari, Sabtu dan Ahad (13-14/1) para peserta yang berjumlah 30 santri belajar menulis artikel dan cerpen serta mendapatkan motivasi untuk sekolah ke Belanda.

Pada hari pertama, pelatihan kepenulisan dipandu oleh Nor Ismah, Ketua LTN PCINU Belanda. Peserta yang dibagi ke dalam tiga kelompok diajak untuk membaca dan memberikan komentar atas karya teman-teman mereka. Sebelumnya para peserta sudah membuat tulisan dalam bentuk artikel dan cerpen dengan tema Budaya di Pesantren. Karya para peserta ini rencananya akan dibukukan oleh pihak pesantren.

“Artikel ini memiliki ide bagus, tapi argumennya kurang kuat. Mungkin bisa ditambah beberapa data dari literatur,” saran Ismah ketika membedah artikel berjudul Benarkah Pesantren Tidak Mengajarkan Kesetaraan? Bedah karya ini dilakukan saat sesi review tulisan pada hari kedua. Ia juga menegaskan bahwa penulis cerpen sebaiknya hanya menyajikan scene-scene yang bisa menggambarkan ide cerita, bukannya memuat semua kronologi cerita sehingga bertele-tele dan membosankan. 

Usai sesi penulisan, Ikrom Musthofa memandu sesi motivasi belajar ke Belanda. Mahasiswa program Master in Environmental and Disaster Studies di Wageningen University ini memulai sesi dengan memutar vlog tentang suka duka menempuh studi di Belanda. Selanjutnya penerima beasiswa LPDP ini menjelaskan tentang sistem belajar, mata kuliah, dan beberapa beasiswa yang bisa didapatkan oleh para santri untuk sekolah di Belanda.

“Mengapa kita sebagai santri harus berani?” tanya Arum pada sesi tanya jawab. Mendapat pertanyaan tersebut, Ikrom menjawab bahwa santri memiliki ikatan yang kuat dengan sejarah dan tradisi Islam di Indonesia.

“Siapa lagi yang akan memberikan kesejukan pada Islam kalau bukan santri?“ ujar penulis buku Sajak-Sajak Bianglala itu.

Ismah sependapat dengan apa yang diutarakan oleh Ikrom. Menurutnya, keterlibatan santri sangat dibutuhkan tidak hanya di bidang agama, tetapi juga bidang yang lain, misalnya teknologi dan media. 

Badi’atus Sholihah terlihat antusias mengikuti kegiatan ini.

“Saya senang kegiatan ini, apalagi sekarang liburan, jadi ada kegiatan untuk mengisinya,” ujar santri yang nyambi kuliah di jurusan Sastra Arab, Universitas Gajah Mada ini.

Sementara bagi Elyu, santri peserta yang lain, pelatihan ini membuka wawasan, kata hati, dan cita-citanya yang sempat padam.

“Bahwa santri, NU dan Islam itu memiliki amanah besar untuk masa depan negeri ini,” tandasnya penuh keyakinan. (Hafidhoh Ma’rufah/Kendi Setiawan)