Daerah

Sejumlah Kiai NU di Jatim Akan Bahas Aturan Idah Wanita Karier

Kam, 27 Februari 2020 | 11:00 WIB

Sejumlah Kiai NU di Jatim Akan Bahas Aturan Idah Wanita Karier

Ustadz Ahmad Muntaha (memegang mik) menjelaskan sejumlah persoalan yang akan dibahas di forum bahtsul masail PWNU Jatim. (Foto: NU Online/Ibnu Nawawi)

Surabaya, NU Online
Perhatian para kiai Nahdlatul Ulama di Jawa Timur akan dicurahkan dalam membahas aneka persoalan hukum yang menjadi perhatian publik. Salah satunya adalah masalah idah bagi wanita karier yang tentu saja berhubungan dengan pelaksanaan perintah agama di satu sisi dan aturan perusahaan di sini bersamaan. 
 
“Seperti diketahui, idah adalah salah satu kewajiban bagi Muslimah yang ditinggal meninggal sang suami atau diceraikan,” kata Ustadz Ahmad Muntaha, Kamis (27/2). 
 
Aturan tentang idah tersebut selama ini tercantum secara jelas dalam Al-Qur’an baik bagi wanita yang dicerai, ditinggal meninggal, menopause dan hamil. 
 
“Sedangkan dalam hukum positif yang berlaku di Indonesia, kewajiban idah diatur dalam UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang dituangkan dalam pasal 11,” ungkap Sekretaris Pengurus Wilayah (PW) Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Jawa Timur tersebut. 
 
Menurutnya, isi dari aturan adalah bahwa bagi wanita yang putus perkawinannya, berlaku jangka waktu tunggu. Dan tenggang waktu jangka waktu tunggu tersebut diatur dalam peraturan pemerintah lebih lanjut.
 
Sebagai tindak lanjutnya, kemudian dibuatlah Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam pasal 39 Peraturan Pemerintah tersebut, masa idah diatur dengan lebih rinci.
 
“Waktu tunggu bagi seorang janda sebagai maksud dalam pasal 11 ayat 2 Undang-undang ketentuannya adalah apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari,” ungkapnya.
 
Sedangkan apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari. Dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 hari.
 
“Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan,” terangnya.
 
Dipaparkan Ustadz Muntaha, waktu tunggu yang disebut dalam hukum positif tersebut hanya berupa larangan menikah lagi bagi wanita yang menjalani masa idah. Namun tidak secara eksplisit mencakup aturan lain semisal kewajiban berdiam di dalam rumah yang merupakan aturan tak terpisahkan dari idah sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab fiqih. 
 
Karena itu, wanita yang menjalani idah akan dilarang melangsungkan pernikahan dan tak mungkin pernikahannya dicatat berdasarkan aturan di atas. 
 
“Namun demikian, wanita pekerja yang menjalani idah sama sekali tak mendapat keringanan untuk berdiam diri di dalam rumahnya secara penuh atau cuti selama masa iddahnya sebab tidak ada aturan yang mengatur tentang itu dan pemerintah atau para pemilik perusahaan tampak tak memedulikan kewajiban ini,” kata alumnus Pesantren Lirboyo Kediri tersebut. 
 
Padahal, menjalankan kewajiban agama adalah wajib atas setiap Muslim dan secara umum hak ini dilindungi oleh undang-undang. Selain itu, tidak semua wanita pekerja dalam kondisi kekurangan secara finansial sehingga harus selalu bekerja penuh waktu seperti biasanya seolah tidak sedang beriddah.
 
“Akibat kekosongan regulasi terkait larangan keluar rumah bagi wanita yang menjalani idah, selama ini fatwa-fatwa yang mengulas tentang problematika wanita pekerja yang menjalani masa idah selalu berada pada konteks pemberian keringanan untuk keluar rumah. Dengan alasan adanya hajat mendesak sebab adanya kebutuhan ekonomi yang urgen atau karena takut kehilangan pekerjaan,” jelas sarjana di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya tersebut. 
 
Dalam pandangannya yang juga menjadi keresahan sejumlah kiai NU di Jawa Timur, belum pernah ada kajian serius tentang hal ini. Yaitu bagaimana solusi agar kesulitan yang dihadapi para Muslimah yang hendak menjalani aturan agama terkait iddah, tanpa takut terancam posisinya di tempat kerja. 
 
“Karenanya, masalah ini akan dibahas secara lebih rinci dalam forum bahtsul masail sejumlah kiai se-Jawa Timur,” ungkapnya.
 
Forum dimaksud adalah bahtsul masail yang akan berlangsung di Pondok Pesantren Mathaliul Anwar, Karanggeneng, Lamongan mulai Sabtu (29/2) hingga Ahad (1/3).
 
“Prinsipnya akan dibahas bagaimana seharusnya negara dan perusahaan memberikan penjelasan tentang jaminan dan tunjangan yang diterima pekerja wanita yang beriddah,” pungkasnya.
 
Pewarta: Ibnu Nawawi
Editor: Syamsul Arifin