Opini

Menjaga Keluarga Milenial dari Perceraian

Rab, 19 Februari 2020 | 12:06 WIB

Oleh Thobib Al-Asyhar
 
Pada tanggal 18 Februari 2020, Pengurus Pusat Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) masa bhakti 2019-2024 telah dikukuhkan oleh Menteri Agama, Fachrul Razi, di kantor Kementerian Agama, Jakarta. Ketua Umum BP4 baru, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA menyampaikan tentang pentingnya semua pihak menjaga ketahanan keluarga sebagai pilar utama berbangsa dan bernegara.

Ketahanan keluarga adalah barometer kemajuan sebuah bangsa. Sebaliknya, tingginya angka perceraian yang belakangan ini terus meningkat telah membuat semua pihak sangat prihatin, bahkan khawatir akan keberlangsungan generasi yang berkualitas, maju, dan berkarakter. Pada titik tertentu, tingginya angka perceraian akan menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan kemanusiaan dan nilai-nilai ketuhanan.

Mari kita lihat betapa perceraian telah menjadi sesuatu yang "biasa", bahkan sebagai tema guyon di ruang publik. Suatu sore, tanpa sengaja saya melihat acara Komedi Show di TV. Awalnya saya mencoba menikmati acara itu karena sudah lama tidak menonton yang lucu-lucu. Tiba-tiba saya merasa sedih tatkala para pemainnya menyinggung soal candaan perceraian dengan gelak tawa riuh penonton di studio.

Diceritakan, ada seorang lelaki yang disebut "abi" kerjaannya tidur. Lalu sang isteri yang dipanggil "ummi" protes karena tidak memberi nafkah lahir, maunya nafkah batin saja. Sang ummi menyampaikan kalau dirinya akan minta cerai dari abi. "Saya sudah nggak betah nikah sama abi, kerjaannya tidur, dan hanya minta dilayani di kasur. Besok ummi akan tuntut cerai ke Pengadilan (Agama)". 

Apa jawaban Sang Abi? "Ummi, kalau mau nuntut cerai Abi jangan besok yah. Kan besok kita ada kondangan ke tetangga sebelah yang hajatan. Abi harus anter Ummi". Penonton di studio spontan ketawa terpingkal-pingkal. Lalu si ummi jawab, "ya sudah, pokoknya ummi mau cerai dari abi. Habis pulang kondangan, ummi mau nuntut cerai. Titik!".

Setelah adegan itu, saya langsung pindah channel TV lain. Rasanya sangat sedih karena masalah "perceraian" sudah dijadikan bahan guyonan tidak bermutu. Keluarga yang dibangun dengan ikatan batin yang kuat (mitsaqan ghalidzan),  hanya dijadikan bahan candaan. Seakan-akan, perceraian itu hal biasa dan ringan. Bisa dilakukan jika merasa tidak cocok lagi dengan pasangan.

Adegan TV tersebut sepertinya inline dengan fenomena sosial belakangan ini yang semakin banyak orang mulai menipis kesadarannya terhadap pentingnya memperkuat pondasi keluarga secara simultan. Pondasi itu dinamakan "komitmen". Lemahnya komitmen pasangan atas keluarga yang dibangun menjadi bencana sebuah keluarga. Bahkan dalam lingkup sosial yang lebih besar akan menjadi problem sosial yang serius.

Keluarga adalah pilar utama keberlanjutan generasi berkualitas dan berkarakter. Eksistensinya tidak boleh dipandang sebelah mata. Sebuah bangsa besar pasti didukung oleh keluarga-keluarga hebat. Sebaliknya, semakin banyak keluarga yang berantakan, semakin banyak pula generasi yang frustasi. Kenapa? Karena keluarga adalah "tempat kembali" pertama, dan akhirnya kita akan menuju "tempat kembali" sesungguhnya, yaitu bertemu dengan Allah SWT.

Acara TV yang penulis ulas di atas memang hanya hiburan untuk melepas lelah dan penat. Tapi ingat, hiburan TV yang dikemas dengan cara itu telah merusak sistem kesadaran kolektif penonton yang sangat luas bahwa perceraian adalah hal biasa dalam kehidupan keluarga. Cerai mudah dilakukan jika salah satu pasangan mau. Ini tentu sangat membahayakan jika media tidak memiliki kepekaan terhadap pentingnya menjaga ketahanan keluarga.

Dalam b isanyak penelitian, pengaruh tontonan, baik TV, internet, film dan semacamnya bagaikan pisau bermata dua. Sangat baik untuk penyebaran informasi dan ilmu pengetahuan. Sangat buruk jika konten yang disajikan tidak melalui proses dan maksud yang baik untuk masyarakat. Jika diamati, rata-rata TV, Channel Youtube, dan lainnya hanya memikirkan bagaimana memperoleh iklan, subscriber dan liker sebanyak-banyaknya untuk mendapatkan rating yang tinggi.

Tipologi dan Ketahanan Keluarga Milenial
Keluarga milenial adalah keluarga yang dibangun oleh generasi yang lahir di atas tahun 1980-an hingga 1997. Mereka disebut milenial karena satu-satunya generasi yang pernah melewati milenium kedua sejak teori generasi dilansir pertama kali oleh sosiolog kenamaan asal Jerman, Karl Mannheim, pada 1923.

Sulit dipungkiri, rata-rata keluarga milenial dibentuk dengan dukungan penuh teknologi informasi yang semakin maju. Artinya, dalam menjalin hubungan, mereka telah memanfaatkan teknologi dengan baik. Tidak sedikit dari mereka yang bersepakat menjalin hubungan cinta lebih serius ke jenjang perkawinan setelah berkenalan di dunia maya. Ada yang karena interest menemukan sosok calon pasangan setelah mereka mengetahui profil di dunia maya atau bahkan mereka dengan sengaja mencari jodoh melalui aplikasi pertemanan. 

Mungkin awalnya saling kenal di FB, Instagram, WA, Line, MiChat, dan semacamnya, lalu saling berbalas komen dan memuji, akhirnya bersepakat menjalin hubungan yang lebih serius. Bagi yang dengan sengaja mencari jodoh di dunia maya ada  prosedur tertentu, ada iuran tahunan, mengikuti kopi darat, dan saling bertemu di suatu tempat yang telah direncanakan. Intinya, hubungan cinta kasih dalam keluarga milenial lekat sekali dengan teknologi.

Tentu tidak semuanya melalui proses itu. Ada yang masih melalui proses tradisional, seperti perkenalan di suatu tempat, lalu pacaran dan menikah, ada yang melalui ta'aruf, saling cocok dan menikah, ada juga melalui perjodohan langsung kemudian menikah. Namun, diakui atau tidak, dalam menjalin hubungan cinta selanjutnya tidak dapat dilepaskan dari pengaruh teknologi informasi yang semakin menggurita, khususnya smartphone.  

Untuk menjaga ketahanan keluarga milenial agar tidak mudah retak (cerai), mari kita kenali dulu 4 (empat) tipologinya dan bagaimana cara menjaga keluarga milenial tetap terbangun kokoh, meski badai rumah tangga terus mengintai setiap saat, yaitu:

Pertama, keluarga milenial cenderung memiliki idealitas tinggi dengan berbagai kriteria dibandingkan dengan generasi sebelumnya dalam membangun keluarga. Idealitas ini lebih karena didorong oleh mudahnya akses informasi yang didapatkan, sehingga memiliki informasi dari dunia maya dengan target dan impian keluarga ideal yang diidamkan, baik dari sisi ekonomi, kesehatan reproduksi, pendidikan anak, pola asuh anak, hingga tampilan di media sosial. Artinya, keluarga milenial membangun keluarga dengan instrumen-instrumen khusus sesuai pengayaan literasi yang mereka miliki.

Contoh kecil, seorang lelaki memiliki calon isteri yang gemuk namun dengan wajah ayu. Karena sang suami telah memiliki banyak informasi dari media bagaimana diet sehat dan bentuk tubuh isteri ideal di mata suami, maka dia mencoba menerimanya. Bukankah gemuk bisa dikurusin? Pikirnya, nanti kalau sudah menjadi isteri akan saya suruh dia diet, sehingga bentuk tubuh ideal dengan wajah ayu (cantik).

Demikian juga sebaliknya, di mata isteri, suami ideal adalah saat dia mampu dijadikan imam dalam keluarga yang bisa disempurnakan dengan saling mengisi dan belajar pengayaan pengetahuan bersama melalui akses di dunia maya yang sangat mudah. Banyak channel Youtube, Instagram, atau link website yang dapat diakses untuk menambah insight keluarga bahagia. Tentu, masih banyak contoh lagi kasus yang didasarkan atas pengetahuan dan idealisme dari keberlimpahan informasi di era milenial ini.

Dalam konsepsi keluarga milenial, masing-masing pasangan mencoba  saling membuka diri dengan bersikap demokratis karena kepercayaan yang tinggi atas  melimpahnya informasi di dunia maya. Namun ini akan menjadi batu sandungan serius jika fakta kehidupan keluarga tidak bisa berjalan mulus karena jalinan cintanya ada faktor ketergantungan ke depan (depend on). Artinya, seorang suami tidak mendasarkan cintanya kepada istri "apa adanya" sejak awal, tapi dihubungkan pada sebuah kondisi yang akan dicoba belakangan pasca perkawinan.

Sebagai contoh, suami berharap isterinya dapat diet ketat sehingga memiliki bentuk tubuh ideal sesuai referensi yang dimiliki. Namun ternyata diet yang dilakukan tidak sesuai dengan yang diharapkan atau sang isteri enggan melakukan dengan berbagai pertimbangan. Demikian juga harapan isteri terhadap suami tidak seperti apa yang didapatkan dari dunia maya. Apalagi isterinya memiliki espektasi lain kepada suami setelah mendapatkan input informasi keagamaan melalui media daring yang eksklusif.

Contoh di atas merupakan gambaran umum bahwa generasi milenial dalam berkeluarga lebih open minded dengan segala idealitasnya. Namun, jika masing-masing pasangan tidak memiliki insight yang cukup bagaimana seharusnya menjaga ketahanan keluarga dari berbagai gejolak internal dan eksternal justru akan menjadi pemicu konflik keluarga yang bisa menimbulkan pertengkaran besar. Tidak sedikit keluarga milenial memilih jalan pisah (cerai) hanya karena idealitas masing-masing tidak bisa terpenuhi.

Kedua, generasi milenial cenderung memiliki sikap dan tindakan yang lebih longgar (permisif) secara norma dan nilai-nilai keagamaan dibanding dengan generasi sebelumnya. Jika generasi baby boomers melihat tatanan sosial harus diikat kuat oleh nilai-nilai budaya dan agama, sementara generasi milenial lebih akomodatif terhadap tren budaya baru yang banyak dijumpai sering melanggar kesepakatan lama.

Salah satu konsep yang menjadi pembeda keduanya adalah terkait dengan hubungan antar lawan jenis. Generasi sebelumnya memandang bahwa dalam membangun hubungan lawan jenis begitu ketat yang harus memenuhi standar moral tinggi. Namun generasi baru memandang bahwa hubungan lawan jenis dibangun secara setara, cara pandangnya terbuka bahwa setiap individu memiliki hak-hak individu yang bebas diekspresikan, seperti konsep pacaran, hangout dengan nongkrong di kafe dengan lawan jenis, dan lain-lain. Sehingga nilai-nilai "tabu" bahkan "sakral" mulai berkurang bahkan menghilang.

Satu konsep virginitas (keperawanan), misalnya yang bisa diambil contoh aktual. Seorang perempuan bagi generasi milenial mulai dianggap tidak penting dalam hubungan dengan lelaki. Ini disebabkan oleh memudarnya nilai-nilai kesalehan akibat gaya hidup hedon di kalangan anak-anak muda. Pemahaman yang terbuka seperti ini tentu akan menjadi problem serius bagi keluarga milenial dalam mengarungi keluarga yang sangat longgar dalam menjaga hubungan dengan lawan jenis. Tentu diperlukan sikap yang tahan banting atau membal (resiliensi) dalam menghadapi masalah yang dihadapi bersama agar tetap menjaga kesetiaan dan komitmen bersama.

Ketiga, keluarga milenial sebagai pengguna media sosial sangat aktif. Generasi Y atau milenial umumnya lebih memiliki ketergantungan terhadap media sosial. Media sosial memberi ruang yang sangat lebar bagi setiap user untuk bergaul dengan siapapun, termasuk dengan lawan jenis. Ini tantangan yang sangat berat bagi pasangan dalam menjaga komitmen. 

Betapa banyak kasus suami isteri selingkuh karena media sosial. Berawal dari keisengan untuk saling mengenal pribadi, curhat, dan kopi darat, akhirnya banyak terjadi perselingkuhan. Ada juga karena jenuh dengan persoalan rumah tangga lalu melampiaskan dengan berselancar di medsos yang akhirnya menjebak perserongan, bahkan menjadi korban penipuan cinta gombal.

Termasuk media sosial bisa dijadikan sarana sumber informasi perkembangan buah hati keluarga milenial yang sangat dinamis. Orang tua milenial juga umumnya banyak belajar pola asuh anak melalui internet dengan cara sharing di forum atau berbagi cerita. Di sinilah akan ditemukan banyak informasi sebagai alternatif dalam pengasuhan anak.

Namun demikian, keaktifan pasangan keluarga milenial di media sosial memiliki sisi negatif yang perlu diantisipasi. Dalam hubungannya dengan lawan jenis di dunia maya sering menjadi pemicu konflik jika pengguna tidak bijak, selain karena kurangnya perhatian kepada pasangan, juga berpotensi terjadinya perselingkuhan. Hal sama juga pada banyaknya pilihan pola asuh anak yang didapat dari media sosial bisa menimbulkan perselisihan antar pasangan, dan bisa menimbulkan konflik keluarga yang tidak perlu.

Keempat, keluarga milenial memiliki paradigma yang cenderung menentang norma sosial tradisional. Keluarga milenial juga mengutamakan sebuah bentuk kerja tim yang dilakukan dengan efisien. Keluarga milenial lebih menjunjung tinggi kesetaraan gender dalam menjalankan pekerjaan rumah tangga dan peran bersama yang tidak membedakan peran seorang suami dan isteri. Suami dan isteri memiliki kedudukan sama dalam ambil peran rumah tangga, baik mencari nafkah di luar rumah maupun menjalankan tugas-tugas domestik.

Hal ini berbeda dengan generasi baby boomers yang secara ketat memegangi posisi masing-masing pasangan, yaitu suami kerja di luar dan isteri mengurus rumah termasuk pendidikan anak-anak. Demikian juga terhadap cara pengasuhan anak yang sangat tradisional dimana anak sebagai obyek pendidikan yang kurang "dihargai" sebagai totalitas individu yang dapat berkembang dari dalam.

Paradigma berfikir open minded dalam banyak isu keluarga akan menjadi peluang terjadinya perselisihan jika masing-masing pasangan memeliki perbedaan dan tidak ada yang mau mengalah. Inti dari paradigma open minded adalah bagaimana setiap persoalan dapat diselesaikan secara rasional sesuai dengan tuntutan zaman. Namun jika salah satu pasangan, baik suami atau isteri bersikukuh atas prinsip, baik menyangkut aspek peran di luar dan pola pendidikan anak, maka ini akan menjadi tantangan yang sangat serius.

Beberapa tipologi dan peluang terjadinya perpecahan keluarga milenial harus dipahami dan diantisipasi pasangan dengan baik. Memang tidak ada yang bisa menjamin bahwa sebuah keluarga akan terus abadi hingga akhir hayat, namun kasus-kasus perceraian keluarga muda dapat diminimalisir dengan pemahanan yang utuh dan benar. Apalagi keluarga muda biasanya memiliki anak balita yang butuh perhatian dari orang tuanya sehingga bisa berakibat munculnya masalah sosial yang kompleks.

Saatnya seluruh keluarga milenial memiliki insight terhadap masalah keluarganya sebagai pilar peradaban manusia. Jika bukan kita yang menjaga keluarga sendiri, lalu siapa? Wallahu a'lam bish-shawab.
 
 
Thobib Al-Asyhar, Pengurus Pusat Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4), Dosen Psikologi Islam, SKSG Universitas Indonesia.