Daerah JIHAD PAGI

Seperti Apa Awal Mula Islam di Nusantara?

Ahad, 23 Desember 2018 | 13:30 WIB

Seperti Apa Awal Mula Islam di Nusantara?

Foto: Ilustrasi (Ist.)

Pringsewu, NU Online
Saat ini banyak umat Islam yang sudah mulai lupa dan tak tahu asal usul bagaimana agama Islam masuk ke Nusantara. Sebagian juga tidak tahu ajaran Islam yang bagaimana sehingga mampu membawa penduduk di bumi Nusantara mampu hijrah dari zaman jahiliyah menuju zaman yang diridhoi oleh Allah melalui risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.

Ketika tidak tahu sejarah ini, akhirnya Islam yang dibawa oleh para wali dan habaib ke Nusantara dengan nilai-nilai kedamaian dan kasih sayang di dalamnya ini pun dituduh sesat, dibid'ah-bid'ahkan dan lebih dari itu dikafir-kafirkan.

"Islam yang pertama dibawa ke Nusantara inilah yang murni ajaran dari Rasulullah SAW yang di dalamnya memuat tiga hal yang tak bisa dipisahkan dari agama yakni Iman, Islam dan Ihsan," jelas KH Hudalloh Ridwan, Sekretaris Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah saat menjadi pembicara pada Ngaji Ahad Pagi (Jihad Pagi) di gedung NU Kabupaten Pringsewu, Ahad (23/12).

Gus Huda, begitu pria berkacamata ini biasa disapa, menegaskan Islam yang kaffah (sempurna) adalah yang mengandung tiga hal tersebut. Iman menghasilkan ketauhidan, Islam menghasilkan fiqh dan Ihsan menghasilkan tasawuf dalam wujud thariqah.

Aplikasi dan pelaksanaan Islam yang murni dari Rasul melalui para pembawa Islam ke nusantara ini menurut Gus Huda, tidak bisa lepas dari budaya lokal yang ada. Budaya menjadi wasilah (perantara) dan alat untuk melaksanakan Islam yang murni dari Allah SWT.

"Susah diwujudkan dan dilaksanakan jika tidak mengakomodasi budaya dan tradisi. Sehingga Islam Nusantara meletakkan budaya dan tradisi dalam pengamalan agama di bumi Nusantara,” jelasnya.

Terkait Islam Nusantara lanjut Gus Huda, ada pihak yang mencoba mendefinisikan sendiri sekaligus menyalahkan definisi yang dibuat sendiri tersebut. Pihak ini mendefinisikan Islam Nusantara sebagai Islam baru yang bertentangan dengan Islam yang disampaikan oleh Rasulullah.

Definisi ini tentu tidak benar, karena Islam Nusantara adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menunjukkan identitas Islam di Indonesia yang mengakomodasi budaya Indonesia dalam mengaplikasikan agama. Karena pada faktanya, budaya Indonesia berbeda dengan budaya Arab.

Ia menyontohkan budaya dan tata karma kepada orang tua di Arab dan di Indonesia misalnya sangatlah berbeda. Cara memberikan penghormatan orang yang lebih muda kepada orang tua di Arab adalah dengan memegang kepala dan jenggot. Tindakan ini menunjukkan agar yang muda masih dianggap anak-anak karena senang bermain-main dengan jenggot layaknya bayi yang sedang di gendong.

“kalau ini dipraktekkan di Indonesia tentu sangat tidak sopan. Di Indonesia, kepala merupakan mustoko (selalu diatas) dan bermakna. Sehingga bila dimain-mainkan termasuk melanggar kesopanan,” jelasnya.

Hal-hal Inilah yang menurut Gus Huda sudah dijelaskan dalam kitab Risalah Ahlussunnah wal Jamaah karya KH Hasyim Asy’ari tentang Islam di Nusantara yang sejak zaman dahulu telah bersepakat dan menyatu dalam pandangan keagamaannya.

“Di bidang fiqh, mereka berpegang kepada  madzhab Imam Syafi’i, di bidang ushuluddin berpegang kepada madzhab Abu al-Hasan al Asy’ari, dan di bidang tasawwuf berpegang kepada madzhab Abu Hamid al-Ghazali dan Abu al-Hasan asy-Syadzili," terang Gus Huda.

Jika saat ini ada kelompok yang kemudian mencoba mengusik paham Ahlussunnah wal Jamaah yang telah ada sejak zaman Islam masuk ke Nusantara, sebenarnya sudah dari tahun 1330 H kelompok ini hadir. Karena kuatnya aswaja di Nusantara, maka kelompok ini mulai menyerang para tokoh Aswaja sebagai upaya meruntuhkan Aswaja dan diganti dengan paham mereka.

“Sehingga untuk membentengi Aswaja di Nusantara didirikanlah Nahdlatul Ulama sebagai benteng utama.  Dan selanjutnya benteng ke dua Aswaja adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sehingga bisa dilihat sekarang siapa yang anti Pancasila, tidak mau hormat bendera merah putih bisa dipastikan anti maulid, anti yasinan, anti tahlilan yang merupakan ciri khas Aswaja An-Nahdliyah,” pungkasnya. (Muhammad Faizin)