Surabaya, NU Online
Kebijakan sejumlah kampus yang melarang penggunaan cadar, menuai pro dan kontra. Tidak sedikit yang meralat ketentuan tersebut. Dan hingga kini, perdebatan seputar cadar terus bergulir.
“Sejauh yang saya pahami dari ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Nabi melalui beberapa literatur karya para mufassir klasik maupun modern, cadar atau niqab serta khimar adalah tradisi bangsa Arab pra dan masa awal Islam,” kata KH Imam Ghazali Said, Jumat (23/3).
Hal tersebut disampaikan Dekan Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (Uinsa) Surabaya ini ketika tampil pada dialog di salah satu televisi swasta.
Menurut Wakil Rais PCNU Kota Surabaya tersebut, tradisi penggunaan cadar selanjutnya dipahami oleh sebagian ahli fikih sebagai aurat kaum perempuan baik ketika shalat maupun di luar shalat.
“Fuqaha lain memahami cadar itu harus dibuka dalam shalat, dengan rumusan bahwa aurat perempuan dalam shalat adalah menutupi seluruh badan kecuali muka dan telapak tangan,” jelasnya. Dan rumusan ini yang diadopsi oleh Uinsa Surabaya dalam kode etik mahasiswa dan mahasiswi, lanjut alumnus Universitas Al-Azhar Mesir tersebut.
Kiai Ghazali tidak menampik rumusan fuqaha yang memahami oleh penganjur cadar bahwa aurat perempuan di luar shalat adalah seluruh anggota tubuhnya. Hal tersebut sesuai ayat bahwa mereka tidak menampakkan perhiasan kecuali yang sudah tampak. “Yang sudah tampak itu adalah mata. Jadi matanya tidak boleh ditutup,” kata Pengasuh Pondok Mahasiswa An-Nur Surabaya ini.
Sementara fuqaha lain lagi memahami ayat perhiasan yang sudah tampak itu adalah wajah dan telapak tangan.
Karena itulah dalam ungkapan singkat, mayoritas fuqaha Arab yang dipengaruhi tradisi, sepakat bahwa seluruh bagian tubuh kaum perempuan itu adalah hiasan yang tidak ditampakkan, kecuali dalam shalat.
“Jadi, para penganjur dan pengguna cadar merasa bahwa cara berpakaian seperti itu adalah ekpresi dari pemahamannya yang diyakini terhadap ajaran Islam. Untuk itu, harus dihormati,” ungkap Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Surabaya ini.
Sedangkan fenomena pelarangan bercadar bagi mahasiswi seperti di UIN Sunan Kalijaga, IAIN Bukittinggi dan beberapa lainnya didasarkan pada kekhawatiran bahkan ketakutan bahwa mereka yang bercadar akan terlibat atau menjadi pendukung terorisme.
“Sebab istri para teroris yang tertangkap atau yang akan berangkat untuk bergabung dengan ISIS maupun yang pulang karena kecewa terhadap teroris ISIS itu konsisten dengan bercadar,” urainya. Dengan memahami latar belakang inilah, kebjakan UIN dan IAIN di atas untuk melarang mengenakan cadar bagi para mahasiswi di kampus bisa dipahami, lanjutnya.
“Untuk itu saya menganjurkan kepada perempuan yang konsisten menggunakan cadar untuk membuktikan bahwa diri mereka adalah perempuan baik-baik, pecinta Islam dan Indonesia, dan bukan simpatisan apalagi terlibat terorisme,” tandasnya. (Red: Ibnu Nawawi)