Daerah

Tidak Tepat, Tasawuf Diterjemahkan Mistisisme

NU Online  ·  Kamis, 6 Desember 2012 | 11:07 WIB

Semarang, NU Online
Tasawuf adalah adab atau moralitas yang mengatur kehidupan manusia dengan manusia, dengan alam dan dengan Tuhan. Jadi tidak tepat jika tasawuf diterjemahkan oleh para pengamat menjadi "mistisisme".<>

“Penerjemahan tasawuf sebagai mistisisme dalam kamus atau kajian-kajian tasawuf adalah kurang tepat,” kata Ketua Umum Mahasiswa Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah (MATAN) H Hamdani Mu’in dalam Café Sufi MATAN Komisariat IAIN Walisongo Semarang yang bertempat di Masjid Al-Fithroh Kampus II IAIN Walisongo Semarang pada Kamis (29/11) lalu. 

“Dalam anggapan masyarakat umum mistisisme itu urusannya dengan dukun atau paranormal,” tambahnya. 

KH M. Masroni, Sekretaris Umum Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah, dalam Café Sufi yang kali ini bertema “Mereduksi Mistisisme Thariqah” kesempatan itu menjelaskan, thariqah yang merupakan praktik bertasawuf adalah sebuah jalan yang dilalui seseorang hamba untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Thariqah oleh sebagian orang juga disebut prakti mistis. Ini juga tidak benar. “Thariqah itu mengajarkan disiplin dalam berbagai hal, baik dengan sesama manusia maupun dengan Allah,” kata pengasuh Pondok Pesantren Sunan Gunung Djati, Ba’alawi Gunungpati, Semarang itu.

Tariqah juga tidak identik dengan kejumudan. “Bilamana ada orang yang mengatakan thariqah itu menyebabkan kejumudan, maka hal itu tidak benar dan ahistoris. Ini dapat dilihat bahwa para pejuang dan pahlawan bangsa dan negara adalah orang yang mengikuti thariqah dengan cara yang benar,” jelasnya.

Lebih lanjut, Masroni menjelaskan, thariqah itu sudah ada pada zaman Rasulullah. Ini dapat dibuktikan dengan jalan beliau mendekatkan diri pada Tuhan dengan cara menyepi di Gua Hira’, beristighfar ratusan kali setelah salat dan lain sebagainya. “Jadi itu bukan bid’ah, tapi sunnah nabi,” tambahnya.

Meskipun sederhana, diskusi ini berjalan aktif yang ditandai dengan banyaknya peserta yang bertanya kepada narasumber. Menurut Aufal Chima, salah satu panitia, acara tersebut memang didesain berupa diskusi agar peserta lebih aktif dan bisa bertanya langsung ke narasumber. Peserta diskusi terdiri dari mahasiswa berbagai fakultas di IAIN Walisongo Semarang, Unwahas, Udinus dan beberapa kampus yang berada di sekitar Semarang.

“Rencananya acara seperti ini akan kami gelar setiap sebulan sekali agar pemahaman teman-teman tentang tasawwuf tidak hanya dalam angan, tapi juga berpengaruh dalam tindakan,” tutur Abdul Ghofur, Ketua MATAN Komisariat IAIN Walisongo Semarang.



Redaktur    : A. Khoirul Anam
Kontributor: Muhammad Akmaluddin