Daerah

Totalitas Ketakwaan, Sumber Kebahagiaan

Sen, 12 Agustus 2019 | 09:30 WIB

Totalitas Ketakwaan, Sumber Kebahagiaan

Ketua Pengurus Cabang LTMNU (demisioner) Jember, H Ahmad Fauzi

Jember, NU Online

Peristiwa dikurbakannya Nabi Ismail (atas perintah Allah) merupakan peristiwa yang agung dan luar biasa. Betapa tidak, seorang anak manusia yang tak lain adalah anak dari Nabi Ibrahim harus rela dikurbankan untuk menjunjung tinggi perintah sang Khaliq. Luar biasanya lagi, yang mendapat tugas ‘menyembelih’ justru ayahnya sendiri, Nabi Ibrahim.

 

Demikian disampaikan Ketua Pengurus Cabang LTMNU (demisioner) Jember, H Ahmad Fauzi saat menjadi khotib dalam shalat Idul Adha di Masjid Besar Darul Muttaqin, Tanggul Jember Jawa Timur, Ahad 11/8).

 

Menurutnya, ketaatan yang begitu tinggi kedua nabi tersebut kepada Allah telah menenggelamkan segala kebimbangan, bahkan ketakutan yang ada pada dirinya. Kendati dalam pandangan manusia, perintah tersebut telah melewati batas kewajaran, namun bagi Allah dan bagi yang cinta kepada Allah, tidak ada batas kewajaran atau apapun terkait dengan kuasa dan perintah Allah.

 

“Cinta kepada sesama terkadang membuat seseorang rela nyawanya dipertaruhkan, apalagi cinta kepada Allah. Jadi cinta kepada Allah, ketabahan dan kesabaran yang dimiliki Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail, harus menjadi teladan bagi umat manusia. Tidak ada yang lebih penting untuk ditunaikan kecuali perintah Allah,” urainya.

 

Dalam pandangan Ustadz Fauzi, setidaknya ada tiga hal yang bisa diambil hikmah dari peristiwa tersebut. Pertama, terkait dengan totalitas Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail dalam menjalankan perintah Allah.

 

“Totalitas itu akhinrya mengantarkan keduanya meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Bahkan totalitas itu sendiri (dalam menunaikan perintah Allah) sudah merupakan kebahagiaan yang tiada tara,” jelasnya.

 

Kedua, nilai kemanusiaan. Digantikannya Nabi Ismail dengan seekor domba besar (oleh Allah) untuk disembelih menunjukkan ‘penghormatan’ Allah terhadap sisi kemanusiaan. Sehingga bukan lagi manusia yang jadi kurban tapi seekor domba.

“Kita tentu tidak bisa membayangkan jika akhirnya harus manusia yang jadi kurban. Tapi Allah Maha bijaksana, dan tentu tidak akan menyakiti manusia,” tukasnya.

 

Ketiga, pengorbanan itu sebagai simbol ketakwaan manusia kepada Allah untuk menggapai ridho-Nya. Untuk meraih ridho Allah, memang butuh pengorbanan. Jangankan untuk menggapai ridho yang Dzat Yang Maha Agung, untuk mencapai sukses kerja saja, pasti butuh usaha dan pengorbanan.

 

“Pengorbanan waktu, tenaga, bahkan harta untuk meraih ridho Allah, itu sudah biasa,” pungkasnya.

 

Pewarta : Aryudi AR