Daerah

Tradisi Bantai Adat Padangpariaman di Hari Lebaran Idul Fitri

NU Online  ·  Kamis, 7 Juli 2016 | 04:01 WIB

Padangpariaman, NU Online
Berakhirnya bulan suci Ramadhan disambut dengan suka cita oleh umat Islam. Mereka yang merasakan nikmat dan rahmat Ramadhan bersedih karena berpisah dengan bulan yang penuh berbagai keistimewaan. Merasa sedih, kalau-kalau tahun depan tidak bisa berpuasa di bulan Ramadhan. Sedangkan bagi yang tidak merasakan betapa nikmatnya Ramadhan, tentu menyambut gembira karena terbebas dari "siksaan" selama Ramadhan. 

Dengan berakhirnya Ramadhan, maka disambut hari raya lebaran Idul Fitri, 1 Syawal. Hari ini, kegembiraan bertambah karena mampu menjadi manusia fitri, manusia yang suci. Tentu bagi mereka yang benar-benar menjalankan ibadah puasa Ramadhan, menunaikan zakat fitrah dan selalu berdoa agar menjadi manusia yang fitri.

Berbagai cara dilakukan umat Islam menyambut hari yang penuh kegembiraan ini. Tidak saja dengan pakaian baru, bermacam-macam kue, hidangan makanan, perkakas rumah baru dan sebagainya, akan tetapi tradisi yang tumbuh di tengah umat Islam pun beragam. Di Kabupaten Padangpariaman, Propinsi Sumatera Barat, tepatnya di Nagari Sintuak Kecamatan Sintuak Toboh Gadang misalnya, pada suasana  hari raya lebaran Idul Fitri digelar membantai kerbau. Namanya bantai adat. 

Menurut Ketua Pimpinan Cabang Gerakan Pemuda Ansor Kabupaten Padangpariaman, Sumatera Barat Zeki Aliwardana, Kamis (30/6) di pasar ternak Sintuak, bantai adat ini persiapannya sudah dimulai pada patang15 hari puasa. Maksudnya 15 hari puasa Ramadhan. Pada waktu itu setiap masjid atau surau di masing-masing korong (wilayah terkecil setelah nagari (desa), setingkat rukun warga di perkotaan) mulai mendata siapa saja yang ingin ikut bantai adat. Jamaah dan masyarakat korong mendaftar kepada pengurus. Kemudian pada patang 27, atau malam 27 puasa Ramadhan,  dilakukan pembayaran uang yang sudah disepakati bersama. 

Setelah semua pembayaran lunas, dapat dipastikan berapa uang terkumpul untuk membeli ternak kerbau. Pengurus sebelumnya sudah meninjau ternak yang akan dibeli di pasar ternak atau Talaok. 

Bantai adat ini dilakukan di setiap korong atau surau. Ada korong yang hanya melakukan bantai adat di masjid (maksudnya pengurus masjid), ada pula di satu korong terdapat beberapa surau yang juga melakukan bantai adat. Sehingga satu korong ada yang melakukan bantai adat di 3 lokasi, karena ada 3 surau yang melakukannya. 

Usai shalat Idul Fitri, Rabu (6/7), ternak yang sudah dibeli dibantai di satu lokasi di Nagari Sintuak. Lokasi pembantaian ternak ini sengaja digabungkan agar lebih memudahkan penyelenggaraannya. Setelah dibantai, daging tersebut dionggok (dilonggokan) sesuai dengan jumlah yang sudah disepakati sebelumnya. Pembagian daging tersebut bukan dengan sistem berat per kilogram, melainkan onggok (longgokan). Satu orang minimal memesan 1 onggok. Ada pula yang memesan lebih dari satu onggok, misalnya sampai 10 onggok. 

Seseorang yang memesan daging baonggok (berlonggok) lebih dari satu, berarti selain untuk kebutuhan dirinya sendiri, juga diberikan kepada orang lain. Misalnya, seorang mamak memberikan satu onggok untuk kemenakan, atau sebaliknya seorang kemenakan kepada mamaknya, seorang kakak memberikan kepada adik atau sebaliknya, adik memberikan kepada kakaknya. Ada juga diberikan kepada karyawan tertentu bagi seseorang yang memperkerjakan  orang lain dalam usahanya. 

"Dengan pemberian daging tersebut, seseorang yang ikut bantai adat semakin meningkatkan silaturrahmi dan tali persaudaraan. Baik antara orang yang memberi dengan yang menerima, maupun peserta bantai adat baonggok sesamanya. Seseorang yang turut  bantai adat ini juga sebagai tanda bersedia hidup bakorong bakampung (bermasyarakat)," tutur Zeki Aliwardana yang juga Ketua Forum Kemitraan  Polisi Masyarakat  (FKPM) Nagari Sintuak.

Sekalipun sudah membeli daging baonggok, toh seseorang juga membeli daging di pasar bebas untuk keperluan menjelang lebaran.  Rata-rata per onggok daging dikenai sebesar Rp 120.000,-. Semua jenis tubuh kerbau tersebut, diberi rata masing-masing onggok. Seperti daging, hati, kulit, usus, tulang dan sebagainya yang bisa dimasak dan dimakan. 

Talaok dan Pasar Ternak

Dimana ternak bantai adat ini didapatkan? Khusus kerbau untuk bantai adat ini diperoleh di talaok dan pasar ternak. Talaok merupakan lokasi berkumpulnya penjual kerbau sekali setahun menjelang lebaran. Ternak yang dijual dikhususkan untuk kebutuhan bantai adat. Yang membelinya adalah korong atau surau yang melaksanakan bantai adat, dan kerbau umumnya berbadan besar. Sedangkan pasar ternak, lokasi penjualan ternak yang ramai sekali seminggu, atau ada hari pekannya. Pembeli bebas berasal dari mana saja. 

Di Nagari Sintuak, kata Zulkifli (45) seorang pedagang ternak, sudah ada pasar ternak yang sekaligus talaok yang terletak beberapa meter di belakang kantor Walinagari Sintuak. Kurang lebih 100 meter dari lokasi ini, terdapat lokasi pembantaian bantai adat di hari lebaran. 

Menurut Zulkifli, pasar ternak Sintuak ini mulai dirintis sejak 2013 lalu. Ada 44 pedagang ternak yang setuju diadakan pasar ternak di Sintuak. Kami pun melapor  kepada walikorong, walinagari dan camat setempat. "Alhamdulillah, hingga kini masih bisa jalan. Walaupun masih belum memiliki fasilitas pendukung layaknya pasar ternak," kata Zulkifli yang sudah menekuni profesi pedagang ternak selama 30 tahun atau sejak berusia 15 tahun.

Pasar ternak lainnya di Padangpariaman adalah Kampung Dalam (setiap Sabtu), Sungai Geringging (Senin), Sungai Sariak (Rabu), Sikabu Lubuk Alung (Selasa) dan Sintuak sendiri. Sebelumnya ada di Pakandangan. 

"Jelang  lebaran ini, ada sekitar 150 ekor ternak, khususnya kerbau yang terjual di talaok atau pasar ternak Sintuak ini. Di hari biasa, cuma bisa terjual 15-20 ekor saja. Harga ternak yang dijual berkisar Rp 18,5 hingga 37 juta per ekor. Ternak yang berharga Rp 37 juta tersebut bisa memiliki berat 650 kg," kata Zulkifli.

Setiap transaksi jual beli ternak, yang membutuhkan surat jual beli dikenai biaya Rp 12.500 per transaksi. Sedangkan biaya tambangan ternak dikenai sebesar Rp 15.000 per ekor.  

Dari pengamatan NU Online di lokasi pasar ternak, selain dipadati ternak  kerbau, juga ratusan kendaraan roda dua parkir di sekitar pasar ternak ini. Tentu saja truk pembawa kerbau juga turut meramaikan parkir. Ramainya pengunjung di pasar ternak ini juga dimanfaatkan para pedagang. Seperti pedagang obat ramuan tradisional, perkakas senjata tajam seperti parang, pisau, sabik, belati dengan berbagai ukuran. Meksi di bulan puasa, ada juga yang berjualan makanan. Mungkin diperuntukan bagi orang yang tidak puasa di pasar ternak tersebut. 

Zulkifli mengakui, kondisi pasar ternak Sintuak ini masih perlu pembenahan dan dukungan semua pihak. Baik dari pedagang sendiri, masyarakat sekitar lokasi pasar ternak, tokoh masyarakat, tokoh adat, ninik mamak maupun pemerintah sendiri. Jika pasar ini terus dibenahi dan dikembangkan, maka akan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama di sekitar kawasan pasar ternak. (Armaidi Tanjung/Fathoni)