Daerah

Umaha Sidoarjo Selenggarakan Seminar Antisipasi Radikalisme

Sab, 28 Juli 2018 | 06:15 WIB

Sidoarjo, NU Online
Pergerakan radikalisme tidak bisa dianggap enteng. Terkadang muncul ke permukaan pada situasi dan kondisi yang tidak dapat diduga. Dan langkah yang tepat adalah bersikap waspada dan mengantisipasinya sebaik mungkin.

Terkait bagaimana sebenarnya gerakan-gerakan kelompok radikal serta upaya antasipasi, menjadi topik bahasan pada seminar nasional di aula Umaha (Universitas Maarif Hasyim Lathif), Sidoarjo, Jawa Timur, Jumat (27/7).

Seminar dengan tema Penguatan Nasionalisme untuk Penanggulangan Radikalisme di Perguruan Tinggi ini diselenggarakan Umaha kerja sama dengan Ristekdikti, BNPT dan LPDP (lembaga pengelola dana pendidikan). Sementara narasumber yang dihadirkan terdiri dari perwakilan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), Feriansyah dan perwakilan Aswaja NU Center Jawa Timur, Yusuf Suharto.

Dalam paparannya, Feriansyah mengatakan kelompok radikal saat ini tidak sedikit memanfaatkan media sosial (medsos) untuk melancarkan aksinya. Bahkan informasi bohong atau hoaks juga sengaja disebar untuk mendorong aksi tersebut.

Ia memaparkan hasil penelitian bahwa penyebaran konten hoaks secara keseluruhan saat ini sangat luar biasa. "Bahkan berada pada angka 94 persen," ungkapnya. Meski tidak semua konten hoaks berkaitan dengan radikalisme, lanjutnya.

Sementara itu, Yusuf Suharto lebih jauh menjelaskan bahwa ideologi radikalisme sudah menyimpang dan tidak sesuai dengan karakter agama. "Ideologi seperti ISIS dan Al-Qaeda misalnya, itu menyalahi pandangan para ulama Islam. Seperti Al-Qaeda yang mau membunuh manusia karena suatu bangsa," jelasnya.

Pandangan yang demikian, imbuhnya, sangat tidak benar, karena dalam beragama tidak diperbolehkan membenci suatu bangsa tertentu. Apalagi hingga terjadi peperangan atau pertumpahan darah.

Konteks peperangan dalam Islam berbeda dengan mereka. Sepanjang sejarah peperangan disebabkan adanya suatu golongan atau negara yang terlebih dahulu memerangi atau mengusir umat Islam.

"Itu pun ada aturannya, misalnya tidak boleh membunuh anak-anak juga perempuan. Jadi kaum radikal itu memahami Al-Qur'an dan Hadits tidak berdasarkan pemahaman para ulama," ujarnya.

Kemudian untuk mengantisipasi radikalisme tersebut, menurut Yusuf Suharto perlu memperhatikan beberapa hal dalam menyikapi nilai-nilai keagamaan. "Pertama, moderasi (pertengahan) dalam menggunakan dalil antara naqli (ayat-ayat) dan aqli (akal pikiran)," ungkap pegiat deradikalisasi Jatim tersebut.

Selanjutnya adalah meningkatkan toleransi pada hal yang furuiyah (cabang) ibadah dan dengan beragama secara porposional. "Jangan sampai hanya karena perbedaan bacaan shalat lantas menjadikan saling bermusuhan. Berlebihan itu tidak disukai Allah, termasuk juga dalam beragama," terang salah satu tim penulis buku Khazanah Aswaja yang diterbitkan Aswaja NU Center PWNU Jatim ini.

Di samping itu diimbau mengikuti imam madzab, sehingga pemahaman keagamaan lebih aman karena diakui secara mayoritas dan secara historis serta berhati-hati memvonis kafir dan sesat pihak berbeda. "Mengafirkan kelompok yang berbeda akan menjadi pintu masuk radikalisasi agama," pungkasnya. 

Hadir pada kesempatan tersebut sejumlah dosen. Tampak pula di tengah-tengah mereka Rektor Umaha, Ahmad Fathoni Rodhi. (Syamsul Arifin/Ibnu Nawawi)