Daerah

Wagub Jatim: OPOP Ciptakan Kemandirian Ekonomi Pesantren

Rab, 11 September 2019 | 00:30 WIB

Wagub Jatim: OPOP Ciptakan Kemandirian Ekonomi Pesantren

Wakil Gubernur Jatim dalam sebuah acara. (Foto: NU Online/panitia)

Surabaya, NU Online
Jawa Timur saat ini fokus pada pemberdayaan ekonomi pesantren melalui program One Pesantren One Product atau OPOP. Program ini dikembangkan Pemprov Jatim yang berkolaborasi dengan Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) sebagai OPOP Training Center.
 
Menurut Emil Dardak, Jatim berkomitmen untuk mewujudkan OPOP menjadi sebuah kemandirian ekonomi pesantren. 
 
“Dalam konsep ini, OPOP bukan diarahkan kepada inkubasi bisnis individu atau kelompok, melainkan menjadikan pesantren sebuah epicentrum ekonomi bernafaskan nilai-nilai luhur ekonomi syariah dan kekeluargaan,” papar Wakil Gubernur Jatim tersebut, Selasa (10/9).
 
Lebih jauh dijelaskan bahwa insan  pesantren diarahkan kepada kemampuan menciptakan sebuah produk unggulan. Produk unggulan ini akan diasosiasikan sebagai produk unggulan pesantren, bukan produk unggulan individu santri atau sekelompok santri. 
 
Apabila santri akhirnya akan meninggalkan pondok pesantren, mereka akan memiliki bekal pengalaman, jaringan usaha dan karakter wirausaha untuk kemudian menjadi insan yang mandiri dan produktif.
 
“Adapun pesantren, dengan silih bergantinya insan santri, akan terus mempertajam keunggulan produk mereka, dan mewarnai ekonomi Jawa Timur dengan kualitas dan keluhuran praktik ekonomi pesantren yang mengedepankan kerja keras dan kepedulian sosial,” jelasnya.
 
Untuk menunjang profesionalisme dalam merumuskan program OPOP, Pemprov Jatim telah menggandeng ICSB. Yakni sebuah organisasi internasional yang sejak berdiri di tahun 1955 telah memainkan peranan mendorong pengembangan UMKM di seantero dunia. 
 
“Dalam Rakernas ICSB Indonesia, kami mendapat kesempatan untuk mengenalkan hasil kajian awal OPOP JawaTimur, di mana kami menekankan kepada kolaborasi lintas pesantren dengan format communal branding,” ungkapnya. 
 
Dalam praktiknya pesantren dapat memanfaatkan communal branding atau merk bersama, sedangkan Pemprov akan mendorong promosi dan jalur distribusi yang andal. 
 
“Dengan demikian setiap pesantren tidak mengalami kesulitan untuk membangun citra merk dan jaringan pemasaran,” paparnya.
 
Emil menjelaskan, kolaborasi UMKM adalah tema utama dalam pendekatan OPOP di Jawa Timur. 
 
“Pada tahap awal, program ini akan turut bersinergi dengan program SMK mini yang telah dikembangkan pemerintahan sebelumnya di 233 pesantren serta 100 lebih koperasi pondok pesantren yang telah berdiri,” tandasnya.
 
Dalam kesempatan terpisah, Direktur OPOP Training Center Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa), Mohammad  Ghofirin menjelaskap konsep OPOP ada tiga pilar. Yakni santripreneur (santri), pesantrenpreneur (koperasi),  dan sosiopreneur (alumni dan masyarakat). 
 
“Ketiganya bersinergi mewujudkan produk unggulan pesantren. Untuk mengimplementasikan desain OPOP tersebut dibutuhkan komitmen OPD terkait, di antaranya dinas pendidikan yakni santripreneur, dinas koperasi atau pesantrenpreneur, dan dinas perindustrian dan perdagangan yaitu sosiopreneur,” katanya. 
 
Ghofirin yang juga Ketua Ketua Bidang Pengabdian Masyarakat Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Unusa mengatakan santripreneur lebih kepada pemberdayaan santri. 
 
“Tujuannya agar mereka memiliki bekal ketrampilan berwirausaha sejak menjadi santri.  Sehingga saat keluar dari pesantren,  santri mampu mandiri dalam berwirausaha,” ungkapnya.
 
Dirinya menyadari bahwa santri tidak selamanya berada di pesantren. Akan ada masa dimana santri harus mandiri dan keluar dari pesantren. Sehingga produk yang dicetuskan dan dihasilkan oleh santri ketika masih berstatus sebagai santri pada akhirnya ada dua kemungkinan. 
 
“Pertama, produk tersebut diteruskan oleh pesantren melalui entitas koperasi pondok pesantren,” urainya. 
 
Kedua, produk tersebut diteruskan sendiri oleh santri (alumni) dengan melibatkan masyarakat sekitar, yang disebut sosiopreneur.
 
Adapun pilar kedua, pesantrenpreneur merupakan pemberdayaan entitas mandiri di dalam lingkup pesantren. Entitas tersebut adalah koperasi pondok pesantren atau koppontren. 
 
“Entitas inilah yang focus mengembangkan produk unggulan pesantren yang dikembangkan berdasarkan potensi yang ada di pesantren,” katanya. 
 
Terdapat lima penguatan dalam program pesantrenpreneur. Yaitu penguatan kelembagaan, penguatan SDM, penguatan produksi, penguatan pemasaran produk, serta penguatan akses pembiayaan Koppontren.
 
“Targetnya adalah, minimal satu Koppontren satu produk unggulan pesantren. Di dalamnya ada konsep communal branding produk pesantren,” urainya. 
 
Pilar ketiga yaitu sosiopreneur merupakan upaya untuk meningkatkan gairah berwirausaha bagi para alumni pesantren. 
 
“Saat ini terdapat banyak alumni pesantren yang berbisnis, namun belum terpetakan dengan baik. Melalui program ini, bagi alumni yang memilih usaha perdagangan misalnya,  dapat menjual produk unggulan pesantren,” pungkasnya. 
 
 
Editor: Ibnu Nawawi