Daerah

Yang Unik-Unik Terkait Mudik Lebaran

Rab, 14 Agustus 2013 | 04:59 WIB

Depok, NU Online
Kemacetan yang mengular di jalur Pantura, kesulitan mendapatkan karcis kereta api, kapasitas kapal laut yang terbatas, harga tiket pesawat melambung serta keterbatasan keuangan membuat para pemudik mencari cara murah dan unik untuk tetap berlebaran di kampung halaman. 
<>
Simak upaya yang dilakukan Galih, warga DKI Jakarta yang ingin berlebaran di Kebumen, Jawa Tengah. Dia memilih cara yang tidak biasa, mengayuh sepeda onthelnya dengan menempuh jarak ratusan kilometer, untuk berlebaran bersama keluarga di kampong halamannya.

Galih beralasan, dengan naik sepeda dia tidak usah susah payah mengantre untuk mendapatkan karcis kereta api atau bus, juga selain hemat bersepeda itu sehat dan dapat menikmati pemandangan selama perjalanan.

Mudik bersepeda baru dilakoninya tahun ini. Meski tampak letih, Galih mengaku menikmati perjalanan yang diperkirakan berakhir hingga tiga hari ini. Setiap dua jam, dia berhenti sejenak untuk beristirahat. "Untuk mengendurkan otot kaki, pinggang, serta tangan. Mudik dengan sepeda pengalaman baru buat saya," kata Galih.

Waktu istirahat itu juga digunakannya untuk mengecek ban serta bagian sepeda lainnya. Hebatnya lagi, perjalanan dari Jakarta menuju Kebumen dilakukannya seorang diri.

Mudik dengan bersepeda dinilai dapat mengurangi angka kecelakaan yang terus meningkat di jalanan.

Lain lagi dengan sebuah keluarga warga DKI Jakarta yang mudik ke Surabaya dengan menggunakan mobil boks. Ruang boks tampak padat karena selain diisi 10 orang, juga ada banyak barang bawaan di dalamnya.

Syamsul, pimpinan rombongan pemudik ini mengaku apa pun dilakukannya agar bisa membawa keluarganya berlebaran di Surabaya. "Pulang kampung dengan mobil boks, jauh lebih irit ketimbang menggunakan angkutan umum. Apalagi, anggota keluarganya di Jakarta banyak," katanya.

Kemacetan di jalur Pantura menyebabkan dia baru sampai Lamongan, Jawa Timur setelah menempuh perjalanan tiga hari. Agar perjalanan jauh itu agak nyaman, alas boks diberi tikar dan bahan yang lembut.

Pria itu mengaku tidak menemui kendala berarti selama di perjalanan. "Setiap terasa capek atau pegal, mobil berhenti agar penumpang bisa sekadar turun dan beristirahat. Perjalanan sejauh lebih dari 800 kilometer itu saya bawa santai saja sehingga tidak menjadi beban bagi para penumpang yang berada di dalam boks," kata dia.

Tak kalah nekatnya perjalanan mudik yang pernah dilakukan seorang mahasiswa asal Jambi. Pemuda yang kuliah di Unpad ini, Aji Eka Sapta menempuh perjalanan dari Kampus Jatinangor selama delapan hari untuk sampai ke kampung halamannya itu.

Dia menempuh jarak 1.200 kilometer untuk tiba di Jambi dengan menggunakan sepeda fixie. Waktu kedatangannya memang lebih cepat sehari dari target yang direncanakan sebelumnya.

Perjalanan sangat jauh dan melelahkan ini agaknya tidak terlalu menjadi masalah bagi Aji, karena mudik merupakan suatu kesempatan untuk bersilahturami, sungkem, mohon ampun kepada orang tua. Kekuatan maaf itu dapat memepererat tali kasih sayang dan romantisme dalam keluarga.

Desa Maruyungsari di Kecamatan Padaherang, Kabupaten Ciamis berbatasan langsung dengan Desa Kedungreja di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Meski kedua daerah ini dipisahkan sungai Citanduy, namun tetap terjadi asimilasi budaya melalui pernikahan, sehingga walau secara administratif beda, namun banyak warga yang memiliki keterkaitan keluarga.

Tak heran jika menjelang Lebaran, sebagian warga Maruyungsari mudik ke kampung halaman di Cilacap dengan menyeberangi sungai Citanduy dan satu-satunya jenis alat transportasi umum adalah rakit, karena tidak ada jembatan yang menghubungkan kedua daerah tersebut.

Setiap menjelang Lebaran, banyak warga Ciamis pulang kampung sehingga pemandangan terlihat berbeda dari hari biasanya. Pakaian para penumpang lebih rapi dan mereka membawa banyak barang bawaan, kata Rahman (36), warga Padaherang.

"Kalau ada jembatan, kami tidak akan naik rakit seperti ini," kata Fitri (28) sambil menambahkan bahwa dia lebih memilih mengunakan jasa rakit saat mudik karena jarak tempuh yang lebih singkat.

"Jika mengunakan rakit, kami bisa melintasi sungai hanya dalam waktu kurang dari 20 menit. Sementara kalau melalui darat jaraknya sangat jauh mencapai 80 kilometer, belum lagi kondisi jalan yang rusak," ujarnya. Hanya saja naik rakit harus waspada, karena tidak ada pegangannya. Bisa-bisa jatuh ke sungai Citanduy dan nyawa jadi taruhannya.

Tentang tarif, Nono (42), seorang pengojek rakit yang sudah melakono pekerjaan ini selama 22 tahun menyebutkan, menjelang Lebaran, ongkos naik dua kali lipat dari biasanya, misal dari Rp1.000 menjadi Rp2.000 per orang. Kenaikan ini tidak membebani penumpang, apalagi, mereka jarang pulang.

Naik perahu kayu

Lain lagi dengan warga Madura yang hendak mudik ke Jawa, seperti ke wilayah Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Lumajang dan ke Situbondo, mereka lebih memilih naik PLM (Perahu Layar Motor) yang bersandar di pelabuhan pantai Desa Pagagan, Kecamatan Pademawu, Kabupaten Pamekasan, Madura.

Alat transportasi alternatif itu, dinilai jauh lebih hemat ketimbang menumpang bus umum. Selain itu, meski harus mengarungi lautan luas, naik perahu PLM dipandang lebih cepat tiba di Pelabuhan Kalibuntu, Kecamatan Kraksaan, Kabupaten Probolinggo.

"Perahu kayu ini menuju Pelabuhan Kalbut, Situbondo. Tapi yang paling banyak melayani trayek Pamekasan-Kraksaan, Probolinggo. Jarak tempuhya lebih cepat, hanya empat jam," kata Muhamad Hayat, awak salah satu perahu kayu tujuan Probolingg.

Menurut Hayat, penumpangnya hanya dikutip ongkos Rp20 ribu untuk dewasa dan Rp10 ribu/anak-anak. Untuk barang bawaan, semisal sepeda motor dikutip Rp50 ribu di atas perahu ditambah Rp15 ribu ongkos angkut naik perahu kecil ke perahu kayu yang buang jangkar 300 meter dari garis pantai.

"Bagi pengendara sepeda motor bisa menghemat ongkos. Hanya dengan Rp65 ribu mereka sudah bisa sampai ke Probolinggo. Bandingkan dengan ongkos paket sepeda motor lewat jasa Pos atau jasa paket swasta yang lebih dari Rp100 ribu," kata Hayat.

Untuk sepeda onthel, ongkosnya cukup Rp5 ribu. Malahan ada pemudik yang membawa serta becak miliknya. Ongkosnya hanya Rp15 ribu. Murahnya ongkos perjalanan dengan perahu kayu dibenarkan Hariawan, pria asli Pamekasan yang beristrikan wanita asal Lumajang. Dia pulang kampung membawa istri dan dua anaknya yang masih duduk di SD.

"Kalau dihitung dengan ongkos bus, naik perahu jauh lebih ngirit. Coba hitung, naik bus dari Pamekasan-Probolinggo ongkosnya Rp40 ribu/orang. Kalau bersama anak istri pasti duduk di tiga kursi. Berarti total mengeluarkan ongkso Rp150 ribu belum termasuk air mineral dan makanan ringan," katanya sambil tertawa.

Walaupun dia membawa serta sepeda motornya, ongkos perjalanan itu masih tetap lebih murah, tiga orang hanya Rp50 ribu ditambah Rp65 ribu, total Rp115 ribu. Lebih cepat lagi hanya empat jam sampai Probolinggo. Kalau naik bus, paling tidak lima jam itu jika tidak macet di jalur Porong.

Pada hari biasa, layanan transportasi laut dengan PLM berkapasitas 60 orang itu, berangkat tiga kali seminggu - Minggu, Senin dan Kamis. "Tapi khusus angkutan lebaran, kami berangkat saban hari," ujar Hayat.

Bagi warga Pamekasan dan sekitarnya terombang-ambing di laut lepas selama empat jam, tidaklah menjadi masalah. Yang penting, mereka bisa berlebaran di kampung halaman bersama kerabat, dengan perjalanan yang relatif murah dan cepat. Mudik bisa dilakukan dengan beragam cara, bahkan yang unik-unik.


Redaktur: Mukafi Niam
Sumber  : Antara