Dalam Islam, bisnis tidak sekadar berkaitan dengan aspek pencarian keuntungan (ribhun) dan menumpuk harta dengan jalan halal.
Muhammad Syamsudin
Kolomnis
Salah satu hal yang paling sulit ditetapkan batasannya secara riil adalah akhlak. Padahal, akhlak adalah faktor terpenting dalam dakwah Islam. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda bahwa beliau diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.
Ada beberapa sebab mengapa standar akhlak ini sulit untuk ditetapkan batasannya. Menurut para praktisi pendidikan, penyebab utamanya adalah akhlak merupakan yang bersifat kualitatif. Setiap yang masuk dalam ranah kualitatif umumnya berkorelasi dengan afeksi (sikap dan penyikapan). Dan mengukur suatu sikap atau penyikapan ini merupakan kinerja tersendiri yang belum tersedia barometer bakunya.
Dalam Islam, bisnis tidak sekadar berkaitan dengan aspek pencarian keuntungan (ribhun) dan menumpuk harta dengan jalan halal. Fondasi ekonomi dalam Islam juga dibangun atas dasar relasi yang mengedepankan akhlak mulia. Dalam tulisan ini, penulis akan menyampaikan beberapa elemen akhlaqi yang menjadi fondasi dasar bagi perekonomian dalam Islam (al-asas al-khuluqiyyah fi al-iqtishad al-islamiyyah).
Sebenarnya bangunan akhlak dalam ekonomi Islam itu sendiri sudah tercermin dari istilah yang digunakan. Ekonomi dalam Islam diperkenalkan dengan kosakata iqtishad. Tidak diketahui, kapan istilah ini mulai diperkenalkan. Yang jelas, makna literal dari iqtishad adalah al-wasath (tengah-tengah). Bisa juga disebut sebagai kondisi equilibrum. Dengan istilah ini, seolah digambarkan bahwa mengambil untung itu jangan banyak-banyak meski itu halal. Terlalu berlebihan mengambil untung, termasuk tindakan i’tida’ (melampaui batas). Terkadang efeknya bisa menyeret pelakunya sebagai seorang yang muhtakir (pelaku monopoli) yang dilarang secara nash.
Baiklah, kita langsung masuk pada uraian tentang elemen akhlaqi dari perekonomian Islam. Fondasi ini penulis rangkum dari sejumlah pembahasan yang disampaikan oleh Imam al-Ghazali dalam masterpiece-nya yang terkenal, yaitu Ihya Ulumiddin, sementara uraiannya penulis kutip dari beberapa penjelasan para ulama di dalam karya lainnya.
Pertama, merasa cukup dengan apa yang dimiliki dan berusaha menahan diri dan keluarganya dari menjatuhkan diri pada hajat yang bisa menyebabkan dirinya hina, seperti meminta-minta.
Di dalam sebuah riwayat hadits shahih yang termaktub dalam dua kitab Shahih Bukhari dan Muslim, dengan sanad dari Hakim ibn Hizam radliyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
اليدُ العُليا خيرٌ من اليد السفلى. وابدأ بِمن تعول. وخير الصّدقة عن ظهر غنىً. ومن يسعفِفْ يُعفّه الله، ومن يستغْنِ يُغْنِه الله»، رواه الشيخان
"Tangan yang di atas lebih baik dari pada tangan yang di bawah, maka mulailah bersedekah kepada orang-orang yang menjadi tanggunganmu dan sedekah yang paling baik adalah sedekah yang berasal dari orang yang sudah cukup (untuk kebutuhan dirinya). Maka barangsiapa yang berusaha memelihara dirinya, Allah akan memeliharanya dan barangsiapa yang berusaha mencukupkan dirinya maka Allah akan mencukupkannya.” (HR Bukhari-Muslim)
Di dalam Kitab Shahih Bukhari juga disampaikan sebuah riwayatt hadits dari Abdullah al-Zubair ibn al-Awwam radliyallahu ‘anhu, bahwasannya Baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda:
لأنْ يأخُذَ أحدُكم أُحبُلَه ثم يأتي الجبَل، فيأتي بحزمة من حطب على ظهره فيبيعها، فيكُفَّ الله بها وجْهَه، خيْرٌ له من أن يسأل الناس، أعطَوْه أو مَنَعوه
"Pastilah seseorang dari kalian yang mengambil tali-talinya lalu pergi ke gunung (mencari kayu bakar), kemudian ia kembali dengan membawa sebongkok kayu bakar di atas punggungnya untuk dijual, maka dengan cara itulah Allah menahan wajahnya (kehormatannya dari meminta-minta). Itu semua adalah lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang lain, baik diberi dengan kerelaan hati atau ditolak” (HR. Bukhari).
Masih di dalam kitab yang sama, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga bersabda:
ما أكل أحدٌ طعاما قط خيرا من أن يأكل من عمل يده وإنّ نبي الله داود عليه السلام كان يأكل من عمل يده
“Tidaklah seseorang memakan suatu makanan yang lebih baik dibanding dari hasil kerja tangannya sendiri. Sesungguhnya Nabi Dawud ‘alaihi al-salam (ketika menjadi raja) senantiasa memakan makanan dari hasil usahanya sendiri.” (HR al-Bukhari).
Kedua, saling berbagi manfaat dengan sesama. Saling berbagi manfaat dengan sesama ini merupakan tujuan yang agung yang meliputi kontrak dalam bangunan sistem perekonomian Islam. Hal ini sebagaimana tergambar dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
ما مِن مسلمٍ يَغرس غرسًا أو يَزرع زرعًا، فيأكل منه إنسان أو دابّة أو طير، إلاّ كان له به أجْر
“Tidaklah seorang Muslim yang menanam suatu pohon atau menanam suatu tanaman kemudian manusia lain dapat memperoleh makanan darinya, atau hewan ternaknya, atau burung, melainkan dia mendapat fahala karenanya” (HR al-Bukhari).
Andaikata bangunan ekonomi Islam adalah semata didasarkan pada pengumpulan harta sebanyak-banyaknya, dengan tanpa ada relasi tasamuh (toleransi) dengan sesama, maka Rasulullah pastilah tidak akan bersabda bahwa apa yang di makan oleh orang lain lewat tangan seseorang, terkadang bisa dipandang sebagai shadaqah. Sudah barang tentu, Rasulullah akan mengarahkan semata bahwa mengambil hak milik seseorang tanpa seizin pemiliknya merupakan tindakan pencurian (sirqah).
Ketiga, berasal dari sumber yang halal dan tidak diperoleh dengan jalan merugikan pihak lain. Islam mengajarkan keteladanan kepada pemeluknya dengan penegasan petunjuk larangan memakan harta orang lain secara batil. Allah subhanahu wata'ala telah berfirman:
لا تَأْكُلُوا أمْوالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالباطِل
“Janganlah kalian memakan harta orang lain secara batil” (QS Al-Nisa [4]: 29).
Syeikh Musthafa al-Adawi di dalam karyanya yang berjudul Silsilatu al-Tafsir li Musthafa al-Adawi, Juz 7, halaman 11, menyampaikan bahwa maksud dari amwalakum (harta-harta kalian) di dalam ayat di atas, adalah:
أي أموال إخوانكم
“Harta-harta saudara kalian”
Selain itu, Islam juga mengajarkan tentang larangan memakan harta yang diperoleh dari hasil riba, mencuri segala perbuatan yang berujung merugikan orang lain, dan sejenisnya. Itu semua merupakan gambaran, bahwa “harta dalam perspektif Islam, adalah wajib halal.” Halal di sini bisa mencakup fisik harta itu sendiri, cara mendapatkannya, dan cara menyalurkannya.
Harta haram, tidak dipandang sebagai harta dalam Islam, bahkan andaikata harta tersebut berupa emas dan perak. Islam tidak memandang fisik emasnya. Islam memandang darimana sumber emas dan perak itu didapatkan dan ke mana disalurkan. Harta halal yang disalurkan ke perkara haram, maka hukumnya juga haram, meliputi: haram menerima, haram membelanjakan, dan haram memberikan.
Keempat, cara mendapatkan dan menyalurkan harta wajib mengikuti ketentuan yang ada dalam nushush al-syariah (teks syariat). Islam mengajarkan untuk ta’at kepada Allah dan Rasul-Nya, serta perintah untuk taat kepada pihak yang mengurusi hajat hidup masyarakat banyak (ulil al-amri). Menyalahi tuntunan bisa menyebabkan pribadi muslim dipandang sebagai 2, yaitu: 1) jika bukan sebagai pelaku maksiat, maka 2) sebagai pelaku yang kufur. Bahkan dalam beberapa teks syariah disebutkan sebagai riddah (murtad).
Kemaksiatan terjadi ketika berhadapan dengan tindakan yang menerjang terhadap dalil yang sudah ditegaskan syara’ secara sharih (gamblang). Adapun kekufuran, disebabkan karena pengingkaran terhadap teks Al-Qur’an, al-Hadits dan hukum-hukum yang sudah disepakati secara Ijma’. Misalnya pengingkaran terhadap haramnya riba, dan sejenisnya.
Kesimpulan
Keempat elemen fondasi di atas merupakan wilayah yang membatasi kinerja kontrak ekonomi dalam Islam secara akhlaqi. Batasan ini sifatnya adalah kualitatif, oleh karenanya imbasnya juga berujung pada penyematan atas kualitas keimanan dan ketaatan individu. Itu sebabnya, pengetahuan terhadap hukum sangat berpengaruh terhadap perilaku individu. Selanjutnya, di dalam wilayah praktiknya, ada istilah sharia compliance, yaitu kepatuhan terhadap teks-teks syariah.
Inilah yang membedakan ekonomi Islam dari hukum dasar ekonomi lainnya. Ketercerabutan dari tuntunan dan etika bertransaksi itulah menjadi faktor utama yang membedakan. Jadi jangan heran, bila dalam ekonomi Islam ada akad shuluh (rekonsiliasi), namun dalam bangunan silabi ekonomi lainnya, akad ini ditiadakan dan meniscayakan dicapai lewat arbitrase dan pengadilan. Wallahu a’lam bish shawab.
Ustadz Muhammad Syamsudin, Peneliti Bidang Ekonomi Syariah - Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Amalan Sederhana, Namun Bermanfaat Bagi Sesama
2
Khutbah Jumat: Perhatikan 4 Hal Ini Agar Amal Ibadah Diterima Allah
3
Khutbah Jumat: 3 Penyakit Hati yang Harus Dijauhi
4
Khutbah Jumat: Pendidikan sebagai Kunci dalam Menggapai Impian
5
Khutbah Jumat: Bersemangatlah, Mencari Nafkah adalah Ibadah
6
Khutbah Jumat: Bersabar dan Memetik Hikmah di Balik Musibah
Terkini
Lihat Semua