Opini

'Al-Muallaqat': Pintu Mini Peradaban Arab Jahiliyah

Sel, 8 Januari 2019 | 22:00 WIB

Oleh Muhammad Harir 

Jauh sebelum diturunkannya Al-Qur'an sebagai karya sastra tertinggi di muka bumi ini, bangsa Arab pra-Islam lewat budayanya telah mengenal tradisi penulisan puisi, pelantunannya, dan penghargaan yang agung terhadapnya. Saking getolnya gubah-menggubah syair dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga lahirlah semboyan asy-syi’ru diwanul arab (puisi adalah rumah bagi bangsa Arab) yang menganggap bahwa puisi-puisi buah pena sang penyair yang ditulis ulang merupakan bentuk puncak peradaban dan warisan budaya berharga bangsa Arab.

Di samping kentalnya budaya seni menulis dan seni berpuisi ternyata hal ini tidak dibarengi dengan kondisi perilaku dan etika yang berjalan. Tak ayal jika label “kaum jahiliyah” disematkan bagi mereka. Pemaknaan kata jahiliyah sebelum Islam datang tidak diartikan sebagai jahala-yajhilu (bodoh) sebagaimana kebalikan kata dari alima-ya’lamu (mengetahui). Dinamakan demikian karena menggambarkan karakter orang Arab yang penuh dengan kemarahan, kedendaman, dan lemahnya moral berkelakuan bukan bertumpu pada olah akal mereka akan ilmu pengetahuan.

Banyak orang Arab meyakini, orang yang lihai mencipta puisi dan melisankanya mempunyai kedudukan dan pangkat yang begitu dihormati di lingkungannya. Selain kemujuran yang didapat bagi sang penyair secara personal, fungsi puisi juga mampu berpengaruh dalam cakupan yang cukup luas. Pasalnya puisi mampu menjadi sarana menyampaikan ilmu, kebijaksanaan, dan pengalaman yang berada di luar logika pengetahuan manusia.

Sejarah mencatat ada peristiwa besar dalam kehidupan bangsa Arab perihal capaian peradaban di bidang kesusastraan. Peristiwa ini umum disebut Al-Muallaqat, merupakan amsal penganugerahan nobel sastra di zaman sekarang ini. Gubahan syair pada zaman jahiliyah datang kepada kita dulunya lewat tradisi lisan (karena memang kebanyakan dari mereka buta huruf), terkecuali beberapa lembar syair-syair terpilih yang memang diperintahkan untuk ditulis dengan tinta emas guna digantungkan di dinding Ka'bah.

Tidak asal-asalan uji keabsahan dan keindahan karya-karya puisi ini diselenggarakan, penyair yang diuji mesti melengkapi berkas dan persyaratan estetis yang sudah ditentukan oleh dewan juri. Dalam prosesinya penyair mengalunkan bait-bait puisinya di tempat terbuka. Selain dewan juri yang menjadi penilai, khalayak umum juga turut serta menjadi saksi pentas pembacaan puisi paling bergengsi ini. Yang hanya ada sekali dalam sejarah bangsa Arab.

Alhasil dewan juri menetapkan tujuh penyair sebagai pemenangnya. Dan menempatkan Umru Ul-Qais sebagai raja penyair bangsa Arab dan dinyatakan sebagai penyair utama dalam kebudayaan jahiliyah. Adapun daftar nama lainya adalah Tarafah bin Abid, Harits bin Killizah, Amru bin Kultsum, Zuhair bin Abu Sulma, Antarah bin Syadad dan Labid bin Rabiah. Dalam perjalanannya sekumpulan puisi terpilih dari para pemenang kebanyakan orang menyebutnya al-muallaqat (puisi yang digantungkan) atau diwan al-muallaqat (kumpulan puisi yang digantungkan) dan lebih seringnya al-muallaqat as-sab’u (kumpulan puisi tujuh penyair yang digantungkan).

Membaca syair-syair Al-Muallaqat dari baris demi baris yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, membawa saya menyelami ceruk-ceruk kedalaman ide dan gagasan dari sang penyair. Siapa pun pembacanya, saya kira akan diseret paksa memasuki ranah kejiwaan yang dialami penyair tentang apa itu keterasingan, ritme gejolak perang antar kabilah (suku), kegetiran ditolak sang kekasih, dan ratapan memilukan pembuangan.

Dari kehidupan nomad (berpindah-pindah) dan keprimitifan inilah yang justru menjadi telaga inspirasi kandungan isi dari karya puisi penyair-penyair Arab. Tak cukup berhenti di situ untuk membuat saya terpukau dan berdecak kagum, dari keluguan hidangan yang disajikan kesemua-muanya bersifat natural. Lihat saja, tanpa memandang tabu para penyair mengindahkan tubuh dan kecantikan perempuan dengan sangat mengalir bebas, agak sedikit vulgar tapi asyik dan lagi-lagi kebengalan adalah ciri khasnya.

Seperti dituliskan dalam penggalan syair Amru bin Kultsum yang berjudul Sang Permaisuri

Ketika aku bersembunyi untuk menemuinya/ Dan menjaga rahasia pribadinya/ Dia singkap lengan langsatnya yang muda/ Hingga terlihat puting susunya yang kenyal/ Lalu ditutupi dengan jari jemari/ Dan menggoyangkan pinggulnya dengan gemulai.

Kebiasaan buruk bangsa Arab juga sangat tergambar kentara dalam puisi Antarah bin Syadad yang berjudul Biarkan Aku Mabuk

Biarkan aku mabuk!/ Sampai terhuyung lupa daratan/ Sebab engkau tahu, aku ini keturunan darah biru/ Dan engkau pun juga tahu, tabiat buruk dariku/ Biarkan aku terkapar dan mengigau/ Karena ditampar ole lelaki yang menceracau/ Biarkan aku terguling di atas tanah/ Seperti bibir sumbing yang mendesah.

Pesan akan moral dan kearifan seperti yang sudah saya sebutkan di muka juga tak kehilangan ruang dan identitas dari karakter kuat syair-syair Arab. Hal ini sangat gamblang dalam penuturan syair Zuhair bin Abu Sulma yang berjudul Pesan untuk Manusia.

(1)
Demi keabadian hidupmu
Demi tombak-tombak yang bisu
Tak akan ada kabilah
Yang membunuh kabilah
Mereka saling menghormat dan membayar denda
Dengan unta yang sehat dan siap belajar mengembara

Sungguh, setiap kota harus melindungi warganya
Dari segala ancaman yang mengintai di gelap malam
Yang dengki tak ada jalan yang membenci
Yang jahat tak ada jalan yang selamat

Aku bosan pada beban kehidupan 
Bagai usia delapan puluh tahun
Yang berjalan dengan tongkat pikun
Meski yang kutahu terjadi hari ini
Kemarin atau kemarinnya lagi
Tak ada tanda bagi peristiwa esok hari
Hanya maut yang dapat kulihat
Mencari dan menerjang pada sasaran
Yang luput dari genggamannya 
Akan hidup dalam renta dan sia-sia

(2)

Barang siapa tidak berbuat untuk manusia/ Akan disiksa oleh tapal-tapal kuda
Barangsiapa tidak menjaga kehormatan/ Akan diperdaya oleh cercaan
Barangsiapa kikir pada hartanya/ Akan tersingkir dari kaumnya
Barangsiapa menangkar kebajikan/ Akan terhindar dari penderitaan
Barangsiapa yang takut pada penyebab maut/ Akan dikejar olehnya sampai terpagut
Barangsiapa melaknat perdamaian/ Akan dilumat oleh peperangan
Barangsiapa menabur kejahatan/ Akan dikubur oleh kekejaman
Barangsiapa mengembara tanpa tujuan/ Akan dipenjara oleh musuh yang mengaku kawan

(3)

Walau pekertimu bersembunyi dalam dada/ Tak mungkin lepas dari pandangan manusia
Walau kekagumanmu terpatri dalam diam/ Tak mungkin lepas dari tali percakapan
Walau separuhmu hati dan separuhnya lagi lidah/ Tak mungkin lepas dari bentuk daging dan darah
Walau kebodohanmu tidak melahirkan kesopanan/ Tak mungkin lepas dari kesopanan yang terpendam
Walau engkau selalu memberi dan aku selalu meminta/ Yang meminta tidak akan pernah mendapatkan apa-apa

Demikian sekelumit bentuk dan contoh syair Arab serta sejarah peradaban sastranya. Tentu kepesatan perkembangan sastra sekarang ini banyak pula dipengaruhi oleh keberadaan sastra sebelum-sebelumnya dan penyair yang lalu-lalu. Karena baik sastra (khusunya) dan ilmu pengetahuan (umumnya) adalah pertalian yang saling menghubungkan satu dengan yang lainnya.


Penulis adalah Kepala Suku Gubuk Gabut, Mahasiswa UNNES. Sumber tulisan di atas adalah buku Syair-Syair Arab Pra-Islam All-Muallaqat


Terkait

Opini Lainnya

Lihat Semua