Opini

Buku Tebal Kehidupan

Rab, 12 Februari 2020 | 07:00 WIB

Buku Tebal Kehidupan

Gus Dur adalah salah seorang tokoh NU yang memiliki bacaan luas dan menulis berbagai tema

Oleh Mohammad Iqbal Shukri

"Aku mengenalmu lewat karyamu yaitu buku"

Seseorang akan hidup beberapa tahun lamanya. Namun tak banyak orang yang menyadari hidupnya untuk apa dan bagaimana ia hidup. Atau bahkan orang-orang hanya beranggapan bahwa hidup hanyalah formalitas semata dalam perjalanan menuju kematian. Sehingga muncul sebuah ungkapan orang telah mati pada usia 20 tahun namun baru dikuburkan pada usia 65 tahun. 

Zaman digital memperjelas makna kematian. Dunia maya adalah dunia kedua bagi manusia dalam menjalani kehidupan ini. Atau bahkan sudah menjelma menjadi dunia pertama. Sebab aktivitas apa pun sekarang bisa dilakukan secara online. Jual beli, komunikasi, bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup, serta kita telah dinyamankan oleh zaman yang canggih ini. 

Bahkan dalam rangka menghancurkan sesuatu adalah sebuah visi termudah dibandingkan visi membangun persatuan dan persaudaraan. Bisa dilihat adanya media sosial membuat perkara kecil bisa menjelma jadi bara api besar yang dapat membakar apa pun di sekelilingnya. Hanya butuh alat yang ber ukuran 5-6 cm (gawai) sebuah negara bisa dibuat gonjang-ganjing. Dengan jari anda bisa menghancurkan dunia. 

Sebab jari dan gawaimu bisa membuat sesuatu menjadi viral. Bahkan viral tersebut bagaikan mazhab baru yang mempunyai penganut atau biasa disebut penyembah viral. Dengan tugas meniup bahan bakar viral menjadi api yang besar. Hingga mereka benar-benar sadar bahwa dirinya telah mati. 

Sebab menurut apa yang di lihat, dan di dengar olehnya dianggap sebuah kebenaran yang hakiki. Tanpa mempertanyakan ulang tentang apa yang telah dipercayainya tersebut. Akhirnya indera yang dimilikinya seolah-olah telah mati. Dengan pembuktian sebuah perilaku yang telah dilakukan hanya di dasarkan dari apa yang di lihat, di dengar bukan berdasar atas pikiran dirinya sendiri. Ia bisa berkata namun bukan sebuah kata dari kehendak dirinya tapi kata dari orang lain. 

Buku Tebal
Manusia hidup di bagi dalam beberapa fase kehidupan. Yakni hidup di masa lampau, hidup di masa sekarang, dan masa yang akan datang. Jika seseorang belum mau dikatakan telah mati, mari kita menelisik ke ruang kehidupan itu. 

Hari ini anda hidup pada masa sekarang. Berarti anda sudah mempunyai masa lampau, sebab hari ini anda telah usai menempuh masa lampau tersebut. Pertanyaannya, apa buktinya jika Anda telah menempuh kehidupan masa lampau? Apa yang telah Anda perbuat pada sepuluh tahun yang lalu? Masih ingatkah? Buktinya apa? 

Jika tidak mempunyai bukti, apa yang harus bisa saya percaya. Jika hanya sebuah omong kosong yang ditawarkan. 

Kita bisa mengenal seseorang dari sebuah karyanya, baik itu dalam bentuk karya catatan buku atau lainnya. Saya bisa mengenal Pramoedya Ananta Toer dengan buah karya fenomenal yang ditinggalkannya yakni tetralogi pulau Buru. Saya bisa mengenal Tan Malaka melalui catatan hariannya. Meskipun saya tidak hidup pada zamannya, saya bisa mengenal mereka dan dibawa pada zamannya. Mereka mengenalkan dirinya melalui karya buku tersebut. Sampai kapan pun mereka akan tetap hidup meskipun jasadnya telah di kuburkan. 

Bahkan ada pula para tokoh yang telah berani menuliskan atau menerka masa depan. Seperti sedikit perkataan Soekarno kala itu, yakni "Tugasku lebih mudah karena melawan penjajah, tapi tugasmu akan lebih berat karena melawan bangsamu sendiri," ungkapan Soekarno ini seolah menjadi kenyataan pada saat ini. 

Jika kita menyadari tentang apa makna hidup yang sesungguhnya, mungkin dunia ini akan penuh dengan buku tebal sebagai buah manifestasi dari manusia dalam menjalani kehidupannya.

Menulislah!
Jika tidak bisa seperti kiai, dosen, atau guru yang bisa meninggalkan akhlak, ilmu pengetahuan yang mencerdaskan para santri, mahasiswa dan muridnya. Maka jadilah seorang penulis yang meninggalkan buah karya seperti buku dan lainnya. Maka sampai kapan pun anda akan tetap hidup. Anda akan di kenal dengan pemikiran-pemikiran, pengalaman mu yang telah dituliskan dalam buku tebal nantinya. 

Berawal menulis catatan aktivitas harian, kemudian berjenjang menuangkan gagasan pemikiran dalam bentuk tulisan. Bisa kritik, atau inspiratif. Baik menuliskan dengan gaya sastra, artikel populer, esai ataupun lainnya. Penulis dapat memilih dan menentukan jalannya masing-masing. Dan mempunyai latar belakang mengapa mereka memilih jalan sebagai penulis. 

Pram pernah berkata, bahwa "Menulis adalah bekerja untuk keabadian" kemudian adiknya yakni Soesilo Toer seorang doktor yang memilih jalan sebagai seorang penulis dan menjadi pemulung. Masing-masing orang mempunyai prinsip hidup sendiri-sendiri seperti dua orang itu misalnya. 

Lebih dari itu, bahwa seorang penulis tidak jauh dari kegiatan membaca. Ketika saya bertemu Eka Kurniawan penulis Buku Cinta Itu Luka, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, Lelaki Harimau, ia mengatakan kepada saya bahwa "Apa yang kita baca akan berdampak pada karya yang kita buat," kata Eka Kurniawan ketika saya berkesempatan berbincang di kediamannya pada Rabu 23 Oktober 2019  lalu. 

Dengan dasar perkataan Eka tersebut saya memaknai membaca tidak hanya soal buku saja, namun membaca lingkungan sekitar, membaca dunia dan lainnya. Jika kita apatis dengan problem sekitar, seperti problem yang ada di negara sendiri, seolah kita telah menghancurkan negara itu sendiri. Jadi dalam hal menulis bukan hanya untuk mengabadikan sejarah. Namun bisa menjadi bentuk perlawanan diri terhadap diri sendiri, atau melawan terhadap suatu kebijakan kenegaraan yang menyengsarakan rakyat. 

Bagaimanapun dan sampai kapan pun kebiasaan menulis dan membaca harus tetap di pertahankan untuk menuju kebudayaan menulis bagi seseorang. 

Penulis adalah Pemimpin Redaksi Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat UIN Walisongo Semarang, Aktiv di Kampoeng Sastra Soeket Teki Semarang