Opini

Pengakuan Akademik atas Pemikiran Kiai Husein Muhammad

Selasa, 26 Maret 2019 | 19:10 WIB

Oleh Dede Wahyudi

Di dunia diskursus tentang isu kesetaraan Gender, nama KH Husein Muhammad bukan nama baru. Kiai asal Cirebon ini sudah lama sekali malang melintang dalam isu tersebut. Perjuangannya kali ini mendapat pengakuan secara akademik. Tepat pada Selasa 26 Maret 2019 Buya Husein Muhammad menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Fakultas Ushuluddin dan Humaniora Universitas Islam Negeri Wali Songo Semarang. Pemberian gelar ini dipromotori oleh tiga profesor yakni Prof Dr KH Nazaruddin Umar, Prof Dr Hj Istibsyaroh dan Prof Dr Imam Taufiq. 

Gelar terhormat tersebut disematkan kepada Buya Husen atas pemikirannya tentang Tafsir Gender. Penghargaan ini tidak lain karena keberhasilan Buya Husein dalam membedah tafsir secara paradigmatik terkait isu-isu keadilan sosial, terutama dalam bidang gender.

Buah pikiran Buya Husein yang pertama, bahwa kemaslahatan bukan hanya sekadar membawa kemaslahatan dan menolak keburukan. Melainkan menjaga tujuan syariat yang terangkum dalam lima pilar (al-kulliyyah al-khomsah). Maka, setiap hal yang mengandung perlindungan itu adalah maslahat dan setiap hal yang menegasikannya itu mafsadat. Jadi jelas, menghindar dari segala apa yang mendatangkan keburukan itu pasti maslahat.

Sesungguhnya pilar maqoshid tidak hanya itu, menurut Buya Husein, menjaga kehormatan manusia dan lingkungan juga termasuk didalamnya sebagaimana telah dijelaskan para ulama ushul. Dua pilar terakhir ini yang tidak banyak orang mencermatinya. Buya Husein memberi perhatian terhadap isu-isu kemanusiaan dan lingkungan. Bertahun-tahun lamanya Buya Husein memikirkan bagaimana pilar-pilar dasar tujuan penerapan syari’ah ini operasional dan menjadi solusi atas masalah-masalah ketimpangan dan ketidakadilan sosial yang hari-hari ini marak dilakukan oleh umat Islam.

Untuk itu, Buya Husein merumuskan kembali pilar-pilar tersebut dalam perspektif kemanusiaan. Menjaga agama (hifzh ad-din) berarti menjaga hak kebebasan berkeyakinan, menjaga jiwa (hifzh an-nafs) berarti menjaga hak hidup, menjaga akal (hifzh al-‘aql) berarti menjaga hak kebebasan berfikir sekaligus kebebasan berekspresinya, menjaga keturunan (hifzh an-nasl) berarti menjaga hak berketurunan atau reproduksi, menjaga kehormatan (hifzh al-‘irdl) berarti menjaga hak atas kehormatan tubuh (dignity) dan (hifzh al-mal) berarti menjaga hak kepemilikan atas harta atau properti.

Pemaknaan seperti ini tidak diketemukan dalam literaur Arab klasik mengingat pijakan berfikirnya masih sebatas al-huquq al-insaniyyah al-asasiyyah atau hak-hak dasar kemanusiaan, tidak disebut al-asasiyyah al-‘alamiyyah (sendi-sendi kemanusiaan) sehingga perbedaan jenis kelamin, ras, status sosial dan sebagainya luput dari pembahasan. Inilah pilar HAM yang sejatinya dapat menembus sekat-sekat budaya dan peradaban apa pun, melintasi ruang dan waktu, karena HAM melekat pada diri manusia. yang dapat membedah segala persoalan kemanusiaan dewasa ini.

Buah pikiran Buya Husein kedua, relasi antara laiki-laki dan perempuan itu setara. Berpijak pada universalitas makna dalam memahami nalar teks lebih diutamakan ketimbang lafaz teks yang muatan maknanya bersifat partikular. Maka, untuk membongkar paradigma lamajalur takwil merupakan jalur yang dapat ditempuh karena lebih membuka cakrawala dengan realitas yang terus dan cepat bergulir.

Buah pikiran Buya Husein yang ketiga, untuk menghindari benturan teks dengan realitas, diperlukan posisi diantara keduanya. Dalam hal persoalan veritak (ibadah) lafazh teks menjadi penentu. Adapun dalam hal persoalan horizontal (muamalah) realitas lah yang menjadi penentunya.

Buah pikiran Buya Husein yang keempat, karena kemaslhatan harus menepis segala hal yang dapat mendatangkan keburukan, maka ijmak ulama pun dapat didialogkan kembali karena seiring dengan bergesernya realitas, maka berubah pula tuntutan kemaslahatannya. HAM sebagai sebuah kesepakatan bersama, dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’ah, bahkan mendukung tercapainya tujuan syari’ah itu sendiri, maka HAM merupakan sendi kemanusiaan yang harus diejawantahkan dalam kehidupan, dimana pun dan kapan pun.

Prosesi pemberian gelar ini sendiri disaksikan oleh sejumlah pejabat terkait antara lain Rektor Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang, Ketua Senat Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, para guru besar, para anggota senat akademik, para wakil rektor, para dekan dan seluruh pimpinan UIN Walisongo. Selain itu tampak pula para pejabat di lingkungan Kementerian Agama, para Ulama dan para Kiai, Gubernur, Bupati/Walikota, dan TNI/Polri,  Para Rektor/Ketua Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta, Pimpinan organisasi sosial politik dan keagamaan dan civitas akademika serta rombongan para santri dan mahasiswa ISIF Cirebon yang diampu oleh Kiai Husein sendiri.


Penulis adalah Dosen Tetap ISIF Cirebon dan Mahasiswa Program 5000 Doktor Kemenag RI Prodi Religious Studies UIN Sunan Gunung Djati Bandung. 

Terkait

Opini Lainnya

Lihat Semua