Opini

Gundala dan Pesta Budaya Pop Indonesia

Sen, 9 September 2019 | 09:15 WIB

Gundala dan Pesta Budaya Pop Indonesia

Ilustrasi: Gundala karya Erel Maatita (Sumber: artstation.com)

Beberapa hari ke belakang, masyarakat Indonesia diramaikan dengan film superhero garapan Joko Anwar. Gundala judulnya. Film yang mulai rilis 28 Agustus kemarin itu mengisahkan seorang anak manusia bernama Sancaka yang bisa mengeluarkan petir dari tubuhnya. Film ini laris manis. Belum genap seminggu penayangan, penonton sudah melebihi satu juta. Sebuah pencapaian yang layak diapresiasi. Walau bukan yang pertama, film ini mengusung genre yang segmentasi penikmatnya cenderung tidak banyak yakni genre superhero. Tidak semua penonton film menyukai genre superhero. Biasanya perfilman Indonesia diramaikan dengan film romansa atau horor. Ini ada film superhero lokal hadir, dan dalam waktu kurang dari seminggu penontonnya melebihi satu juta. Tentu saja ini adalah sebuah prestasi yang layak dikenang.
 
Saya, sebagai salah satu penikmat superhero Gundala, akan menuliskan bagaimana film Gundala meramaikan budaya populer Indonesia. Sebelum panjang lebar menulis tentang Gundala, saya akan memberikan sebuah pengakuan terlebih dahulu. Gundala adalah superhero Indonesia favorit saya. Dulu ketika mengerjakan tugas akhir kuliah, saya menggunakan karakter Gundala sebagai objek penelitian, lebih tepatnya Gundala dalam sebuah pementasan teater. Saya sendiri mengagumi Pak Hasmi, si pencipta Gundala, baik sebagai seorang komikus dan seniman panggung. Maka dari itu, mungkin di beberapa bagian tulisan ini ada sedikit aroma emosional. Anggap saja itu bentuk kecintaan dan apresiasi saya terhadap Gundala.
 
Saya mendengar Gundala akan difilmkan di tahun 2014. Ketika itu, saya melihat langsung Hanung Bramantyo dan Erik Thohir bersama di panggung Popcon, sebuah pagelaran budaya pop di Jakarta, mengabarkan bahwa film Gundala akan dibikin. Namun sayang, karena satu dan lain hal yang saya juga tidak tahu lebih lengkapnya, film Gundala versi Hanung tidak berhasil terlaksana.
 
Kemudian berpindah ke Joko Anwar. Senang sekali mendengar proyek ini kembali berjalan, terutama ketika mendengar Joko Anwar yang bertanggung jawab memproduksinya. Tentu masih segar dalam ingatan bagaimana Joko mengelola Pengabdi Setan menjadi sebuah film yang bagus dan mendapat sambutan begitu positif. Bagi saya, Joko cukup menjadi jaminan kualitas film Gundala kelak.

Waktu berjalan. Saya sedikit mendengar Gundala sedang proses produksi. Saya tetap duduk tenang dan berharap yang terbaik. Ketika film Gundala memasuki masa promosi, tim Bumilangit dan Screenplay Picture melakukan sebuah acara. Acaranya bertajuk fan art. Siapapun boleh menggambar karya mereka yang bertemakan Gundala. Nanti pihak Bumilangit dan Screenplay akan mengundi siapa yang karyanya bisa ditampilkan di premiere film Gundala.

Sembari berjalannya waktu, banyak kawan-kawan komikus saya yang membagikan fan art mereka. Melihat antusiasme yang mulai naik, saya iseng-iseng buka tagar #gundalafanart di Instagram. Betapa kagetnya saya. Yang ikut fan art Gundala sudah mencapai seribu pengkarya lebih! Tidak hanya para artist muda, kawan-kawan artis senior juga ramai membuat Gundala dengan berbagai pose. Saya lihat, dari artis profesional yang karyanya sudah berharga mahal sampai mereka yang baru belajar menggambar turut serta meramaikan tagar #gundalafanart. Style gambarnya pun beragam, mulai dari yang kartun sampai yang realis, dari yang bergaya western sampai manga, semua aktif membuat fan art Gundala. Tidak hanya medium gambar. Gundala fan art juga dibikin dalam lukisan pasir, anyaman, daur ulang kancing bekas, sepatu, bahkan kue bolu juga ada! Dari sini saya sudah menarik kesimpulan, ternyata mereka yang menunggu film Gundala sudah sebegini banyaknya.

Belum cukup dengan fan art, tim produksi film Gundala juga mengajak pemusik untuk membuat lagu tribute Gundala. Seperti yang diperkirakan, banyak juga band yang ikut di kompetisi ini. Kualitas mereka tidak bisa diremehkan. Ada lebih dari 500 lagu masuk! Tim produksi akhirnya memilih tujuh lagu pilihan. Salah satu lagu yang cukup saya ingat berjudul Hail Gundala karya Glosalia. Lagunya keras nan menghentak bagai dentuman petir.

Sudah? Belum! Meramaikan hari-hari sebelum Gundala tayang, tim produksi menggelar kontes hitung mundur. Karya yang dipakai boleh menggunakan medium apa saja. Ada yang menggunakan animasi pendek, ada yang menggunakan gambar, dan ada pula yang menggunakan video lawak. Ingat dua anak kecil yang “hei main, yuk!” kemudian kaget dengan suara petir? Video yang memeable itu diedit jadi Sancaka yang bikin kaget dua anak tadi.

Selain karya-karya di atas, ada juga art book atau buku yang berisi ilustrasi-ilustrasi film Gundala yang dibuat Caravan Studio. Ada juga statue atau patung Gundala bikinan Resinkid Studio. Sepanjang masa promo, kita disajikan dengan karya-karya hebat yang bertemakan Gundala. Mereka yang membuat bahkan banyak yang tidak berafiliasi dengan Bumilangit selaku pemegang hak cipta Gundala. Itu artinya Gundala begitu dicintai. Banyak orang yang dengan senang hati ikut merayakan pesta kemunculan Gundala.

Dan ketika hari penayangan tiba, saya buru-buru membeli tiket untuk menonton. Saya pilih jam penayangan pertama pada hari pertama di salah satu gedung bioskop di kota saya. Hati saya deg-degan, menunggu superhero favorit saya muncul dalam film. Saya sudah membuang jauh-jauh ekspektasi agar lebih bebas ketika menonton. Saya tahu, Gundala ini adalah Gundala versi Joko Anwar dan tim kreatif lain, bukan versi orisinal seperti yang dibikin Pak Hasmi di awal.

Lepas dari gedung bioskop, saya mixfeeling. Gundala yang saya saksikan sama sekali baru. Konsep cerita dan karakter yang disajikan beda betul dengan bayangan saya dahulu. Maka dari itu, butuh waktu agak banyak untuk saya menyimpan kenangan Gundala yang baru ini ke dalam benak. Hal-hal yang mengganjal saya pastinya ada, seperti adegan pertarungan di beberapa bagian yang kurang maksimal, atau beberapa bagian cerita yang terasa bertumpuk karena konfliknya satu sama lain banyak terkait. Tapi saya mafhum saja, bagi saya Gundala yang sekarang ini lebih dari cukup.

Saya lihat di media sosial, beragam sekali kesan tentang film Gundala. Ada yang merasa kurang di beberapa bagian. Ada yang puas sekali dengan Gundala yang baru. Ada penikmat baru yang memberikan komentar. Ada juga penggemar lama yang turut bahagia masa kecilnya seolah kembali. Menurut saya wajar saja komentarnya ada yang positif dan negatif. Diskusi yang terlontar di media sosial malah membuat orang semakin memperbincangkan Gundala. Itu artinya, menurut saya Gundala belum selesai berpesta.

Setelah film Gundala tayang, sekarang ganti Bumilangit menerbitkan komik Gundala. Sebelum penayangan Gundala, Bumilangit menerbitkan kembali komik Gundala Putra Petir versi 1969. Setelah penayangan film, Bumilangit ganti menerbitkan komik Gundala versi adaptasi film. Komik ini digawangi Oyasujiwo sebagai penulis dan Ardian Syaf sebagai pencil artis. Komiknya mengambil plot yang tidak diceritakan dalam film. Di sini dieksplorasi bagaimana Pengkor sebagai penjahat mengumpulkan anak-anak asuhnya. Komik ini terasa benar kualitasnya. Dari sisi cerita, dimensi psikologis tokoh dibangun betul. Kalau di film kita lihat tokohnya lewat begitu saja, di sini dijelaskan latar belakang dan konflik masa lalu apa yang menimpa mereka. Gambarnya jangan ditanya. Kualitas Ardian Syaf memang jempolan. Walaupun sempat diiringi isu boikot karena penciller-nya pernah terafiliasi dengan sebuah aksi politik, namun komik Gundala tetaplah laris manis. Beberapa hari pascaterbit, tersiar kabar komik Gundala sedang dicetak ulang. Ini kembali menjadi bukti betapa orang-orang suka pada Gundala. Apa yang menjadi perdebatan di masa lalu bisa dikesampingkan untuk bersama merayakan Gundala.

Rasanya di tulisan ini saya juga perlu menyebutkan bentuk apresiasi lain Gundala yang menurut saya cukup terbatas penikmatnya. Setelah menikmati Gundala dengan berbagai macam rupa, akan hadir pula buku biografi Hasmi Pencipta Legenda Gundala karya jurnalis dan kolektor komik Henry Ismono. Kali ini agak berbeda, buku ini tidak diterbitkan oleh Bumilangit tapi Metha Studio dari Yogyakarta. Saya merasa perlu menuliskan ini karena buku ini bersinggungan langsung dengan almarhum Pak Hasmi.

Di tahun 2016, ketika saya mengerjakan tugas akhir perkuliahan, saya sempat bertemu Mas Henry, begitu saya akrab menyapa penulis biografi ini. Mas Henry ketika itu bercerita, dia sedang menyiapkan buku tentang Pak Hasmi. Dia sudah beberapa kali menawarkan buku ini kepada penerbit, namun banyak yang tidak menerima. Alasan para penerbit saat itu, “menerbitkan komik saja susah, apalagi cerita pembuat komik.” Kata Mas Henry, ketika itu beliau bilang hambatan tersebut kepada Pak Hasmi. Pak Hasmi berkata, “Mungkin cerita saya ini baru bakal diterima setelah saya tidak ada.”

Sampai setelah Pak Hasmi meninggal dunia di tahun 2017, naskah buku yang sudah jadi tersebut mengendap, menunggu ada penerbit yang mau mempublikasikan. Menjelang pemutaran film Gundala, buku ini hampir menemui meja produksi. Sayang karena satu dan lain hal, buku ini masih gagal untuk diterbitkan. Mas Henry sempat berkabar, dia akan mengambil keputusan untuk menerbitkan buku ini sendiri. Ketika langkah tersebut diambil, tiba-tiba secercah harapan hadir. Metha Studio, sebuah penerbit komik yang rajin menerbitkan komik Indonesia dengan skup pembaca klasik, berkenan bekerja sama untuk menerbitkan buku ini.

Mas Henry mengabari saya. Karena saat itu saya ada di sekitar Yogyakarta, saya menawarkan diri untuk membantu sedikit proses akhir editing dan layouting buku tersebut. Kami akhirnya sepakat bertemu di daerah Muntilan, Magelang. Selama dua hari penuh saya ikut proses finishing buku ini agar mendarat mulus di percetakan. Saya baca dan saya lihat sendiri, bagaimana Mas Henry secara padat mengungkap sosok Pak Hasmi. Mungkin tidak banyak yang tahu, Pak Hasmi ini aktif sekali di dunia teater. Almarhum tumbuh bersama kelompok Teater Stemka di Yogyakarta. Berawal dari grup lawak, kemudian teater, lalu penulis naskah, sampai aktor televisi dan film layar lebar pernah beliau jalani. Pak Hasmi juga adalah murid sebuah padepokan silat. Latar belakang ini turut mewarnai karya Gundala-nya. Kalau silat, beliau tuangkan di 1000 Pendekar. Kalau teater, salah satunya ada di Gundala Cuci Nama. Ketika itu Gundala masuk menyeruak ke sebuah panggung pementasan. Mas Henry juga memasukkan sisi personal yang cukup emosional dari Pak Hasmi; asmara. Hasmi yang terkenal itu ternyata sering gagal dalam urusan asmara. Kegagalan demi kegagalan sempat memantiknya untuk membuat komik Gundala yang berjudul Pengantin Buat Gundala. Harapannya, setelah “menikahkan Gundala”, Hasmi juga akan merasakan pernikahan.
 
Ketika redaktur NU Online menawarkan kepada saya untuk menulis tentang Gundala, ada sedikit kebimbangan dalam diri saya. Sebagai insan industri kreatif, saya sedikit banyak mengetahui bagaimana kawan-kawan saya banting tulang mewujudkan film Gundala. Sebagai fans, saya menyimpan ekspektasi tertentu pada film ini. Terlebih saya sempat sedikit mengedit penerbitan buku biografi Pak Hasmi, saya merasa mungkin tulisan yang bakal saya bikin nanti terasa emosional.

Namun, saya kembali berefleksi tentang apa yang terjadi pada film Gundala setahun ini. Berbagai macam perayaan telah dilaksanakan. Ribuan karya-karya kreatif dengan berbagai maca medium turut mendampingi proses tayangnya film Gundala. Selesai filmnya tayang, orang masih ramai memperbincangkannya, mempertanyakan plot tertentu yang belum tersampaikan atau punya peluang untuk dieksplorasi. Masyarakat yang menonton pun menembus lapisan umur. Filmnya memang untuk 13 tahun ke atas. Namun, ada saja penonton kecil yang turut menyaksikan film ini. Dari anak kecil sebagai penikmat baru, sampai orang dewasa sebagai penikmat lama, ramai-ramai menunggah foto keseruan mereka menonton film Gundala.

Saya kagum dengan apa yang terjadi. Saya merasa keramaian ini sepertinya belum pernah terjadi sebelumnya. Saya dengan yakin menyebut kemeriahan film Gundala sebagai Pesta Budaya Pop Indonesia. Mungkin tidak mudah membuat serta mengulang pesta ini. Tapi kita tunggu saja, semoga keramaian ini bakal hadir kembali dalam perayaan superhero lain. Saya, walaupun hanya sekadar penonton, turut bangga berada di pusaran keramaian ini. Karena saya ngefans dengan Pak Hasmi. Karena saya suka sama Gundala.
 
 
Muhammad Daniel Fahmi Rizal, Santri dan Penikmat Budaya Pop. Tumbuh besar di Demak, Jawa Tengah