Opini

Kisah Ulama Pendiri Bangsa, Sebuah Buku Cerita Tentang Berdirinya NU

Jum, 20 November 2020 | 04:30 WIB

Kisah Ulama Pendiri Bangsa, Sebuah Buku Cerita Tentang Berdirinya NU

Kisah-kisah para pendiri NU dihadirkan lewat gambar-gambar kartun agar ramah dinikmati anak.

Apakah kalian tahu buku berjudul Kisah Ulama Pendiri Bangsa? Saya yakin, beberapa di antara pembaca ada yang sudah tahu, bahkan sudah punya buku yang saya maksud. Saya yakin juga, pasti ada juga yang tidak tahu tentang buku ini. Sekadar info, buku Kisah Ulama Pendiri Bangsa adalah buku cerita ilustrasi yang mengisahkan perjalanan para pendiri Nahdlatul Ulama.

 

Kisah-kisah para pendiri NU dihadirkan lewat gambar-gambar kartun agar ramah dinikmati anak. Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Semesta Kreatif Alala di bulan Oktober 2020. Saat tulisan ini dibuat, buku Kisah Ulama Pendiri Bangsa sudah melewati angka penjualan 3000 eksemplar dan memasuki masa cetak kedua.

 

Buku ini ditulis oleh Nabilah Munsyarihah dari Magelang, sedangkan ilustratornya adalah Fitri Anwar dari Situbondo. Saya sendiri kebagian jadi editor. Bagaimana saya bisa terlibat dalam proses kreatif buku ini? Awal mulanya dari silaturahmi. Tahun lalu, saya berkunjung ke rumah penulis. Niatnya sekadar mampir ngobrol dan bersua teman lama. Dari kunjungan itu saya diberi kabar bahwa penulis sedang menyiapkan sebuah buku anak. Buku ilustrasi lebih tepatnya.

 

Ceritanya tentang para pendiri NU. Dengan pengalaman saya sebagai editor komik, sewaktu ngobrol saya juga diminta beberapa saran terkait buku yang sedang direncanakan. Dari obrolan tersebut saya melihat betul betapa penulis sangat antusias untuk mewujudkan buku ini.

 

Sekian hari berlalu setelah silaturahmi, saya dikontak oleh Penulis. Katanya, mau enggak ikut bantu jadi editor? Karena sedari awal saya melihat semangat yang besar dari Penulis, ditambah karena ini permintaan teman sendiri, akhirnya saya dengan senang hati menerima tawaran itu. Jadilah sejak saat itu, saya resmi menjadi editor buku anak yang masih embrio tersebut.

 

Bagaimana proses buku ini dibikin? Awalnya, penulis mempersiapkan naskah cerita. Naskah tersebut berisi narasi cerita ditambah instruksi yang mengarahkan ilustrasinya mau bagaimana. Saya bekerja mulai dari proses ini. Naskah cerita saya baca. Saya tandai jika ada ejaan yang kurang pas. Logika ceritanya juga saya cek. Saya juga ikut membayangkan bagaimana gambar yang diinginkan penulis. Jika perlu, saya meminta penulis mencoret-coret sketsa agar bayangan saya lebih kuat.


Pada proses ini, saya menyadari betul pengaruh chemistry pada sebuah proses kreatif. Karena saya sudah kenal dan sedikit banyak tahu jalan pikiran penulis, saya bisa merasakan asyiknya berkomunikasi dengan orang yang frekuensinya sejalan. Saya banyak mengedit naskah dengan berbagai macam genre dari berbagai macam penulis. Ada penulis yang baru saya kenal saat mulai bekerja, ada pula penulis yang sebelumnya sudah pernah saya ajak kerja sama. Saya tahu betul bedanya. Jika kita bekerja dengan orang yang memiliki visi dan jalan pikiran yang sama dengan kita, maka proses kreatif yang akan kita lalui dijamin akan lebih lancar.

 

Setelah memastikan tidak ada yang salah, naskah cerita kemudian disetorkan ke ilustrator. Ilustrator akan memulai bekerja dengan menggambar sketsa dalam bentuk kasar. Saya harus bekerja secara detil di fase ini, sebelum melangkah lebih jauh ke fase penintaan dan pewarnaan.

 

Fase sketsa ini cukup mendapatkan perhatian khusus, karena setelah fase ini kita akan kesusahan jika masih menginginkan revisi gambar. Semisal kita ingin menggambar latar belakang gedung tempat para ulama Nahdlatul Ulama berkumpul, kita harus mengecek betul apakah sketsa yang dibuat sudah menyerupai bentuk gedung yang dimaksud. Jangan sampai baru ketahuan keliru di fase selanjutnya, saat gambar sudah mulai ditebalkan garisnya atau malah sudah diwarnai. Tentu ilustrator bakal kesusahan kalau ternyata di fase penintaan dan pewarnaan gambar gedungnya masih keliru, sehingga musti mengulang proses gambar lagi dari awal.


Setelah proses menulis dan menggambar selesai, buku akan memasuki proses yang saya rasa jarang dimiliki buku-buku cerita lain: tashhih. Ini adalah proses di mana buku akan dicek struktur ceritanya, apakah dirasa cukup mewakili gambaran para tokoh-tokohnya di dunia nyata.

 

Para pen-tashhih buku ini di antaranya adalah Ning Alissa Wahid, Dr. Ainur Rofiq dari UIN Sunan Ampel Surabaya, dan Gus Athoillah dari Denanyar Jombang. Kepada merekalah buku ini dimintakan kritik dan saran, sehingga hasil akhir dari buku ini cukup menggambarkan bagaimana perjuangan para kiai-kiai terdahulu dalam membangun Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.

 

Menyederhanakan Kisah NU
Siapa pun yang belajar Ke-NU-an, pasti memahami bahwa proses berdirinya Jami’yyah Nahdlatul Ulama bukanlah proses yang sederhana. Terdapat latar belakang politik, ekonomi, sosial, hingga spiritual yang membuat proses berdirinya NU terasa kompleks.

 

Ambil saja contoh kejadian saat KH Abdul Wahab Chasbullah menginisiasi dibentuknya Komite Hijaz, embrio dari Nahdlatul Ulama. Saat itu di Hijaz sedang terjadi perubuhan situs-situs keislaman oleh Kerajaan Saudi yang sedang dekat dengan ulama Wahabi. Komite Hijaz didirikan dengan maksud mewadahi suara para ulama Ahlussunnah di Nusantara, untuk menyampaikan keberatan mereka atas apa yang dilakukan Raja Ibnu Sa’ud. Kejadian ini begitu politis bukan?

 

Bayangkan saja kita menceritakan kisah ini kepada anak kecil, terbayang bukan kerumitannya?
Di sinilah peran penting unsur visual. Unsur visual bisa memudahkan pembaca dalam memahami sebuah informasi. Visual juga membuat sebuah bacaan jadi terasa ringan dan menarik untuk dinikmati. Negara yang sadar akan pentingnya peran visual dalam penyampaian informasi salah satunya adalah Jepang.

 

Di sana, kita bisa dengan mudah menemukan buku pelajaran siswa SD yang penyajiannya menggunakan gambar kartun dan karakter manga. Pemerintah Jepang memahami, bahwa mengajar anak usia rendah harus dilakukan secara ringan dan menyenangkan. Salah satu langkah yang bisa ditempuh adalah dengan menggunakan karakter-karakter kartun lucu yang bisa membuat anak nyaman saat mengikuti narasi pelajaran yang disajikan.

 

Langkah semacam inilah yang berusaha dilakukan kreator buku Kisah Ulama Pendiri Bangsa. Kisah pendirian NU yang kompleks tadi disederhanakan bahasanya, kemudian disajikan menggunakan unsur visual dengan gaya gambar kartun. Contohnya seperti kejadian saat KH Hasyim Asy’ari sedang riyadloh, menanti jawaban untuk didirikannya organisasi para ulama.

 

Kejadian sufistik tadi oleh ilustrator digambarkan dengan indah dan penuh warna. Kiai Hasyim bersimpuh, berdoa menengadahkan tangan ke langit. Cahaya terang dengan bintang-bintang gemerlap menyinari Kiai Hasyim. Adegan yang penuh rasa spiritual tadi digambarkan dengan begitu indah tanpa merusak kesakralan kejadian aslinya.

 

Menunggu Produk Kreatif Lain
Hal terakhir yang ingin saya bahas adalah tentang para kreator buku Kisah Ulama Pendiri Bangsa. Penulis dan ilustratornya adalah warga Nahdliyin tulen. Mereka tumbuh besar di lingkungan pesantren. Bagi saya, bercerita tentang NU adalah bercerita tentang rumah mereka sendiri.

 

Selama bekerja di industri kreatif, saya melihat banyak sekali orang dengan misi yang beragam ramai-ramai memproduksi karya. Orang sudah banyak sadar, konten visual bisa dimanfaatkan untuk beragam kepentingan. Jangan heran kalau kita lihat di sosial media berceceran konten dakwah dari berbagai aliran di Indonesia.

 

Mengisi konten di sosial media saat ini bagai sebuah keniscayaan. Orang bisa dengan mudah membuat gambar, merekam video, dan menyebarkan informasi hanya dengan menggunakan aplikasi gratis di smartphone. Siapa pun bisa melakukan ini, termasuk para kader NU. Akan sayang sekali seandainya konten yang dibagikan tidak memenuhi ketercapaian estetika, sehingga konten yang dibuat tidak nyaman untuk dinikmati.

 

Maka dari itu, saya rasa membuat konten yang keren adalah sebuah kebutuhan. Selama mengawal pengerjaan buku ini, saya membayangkan jika para generasi milenial Nahdliyin bisa bergerak secara kompak dan kreatif, pasti bakal muncul konten-konten keislaman ala NU yang kece-kece.  

 

Selepas mengawal proses kreatif buku Kisah Ulama Pendiri Bangsa, saya sangat mengharapkan bakal muncul lagi produk kreatif lain bikinan anak muda NU. Semoga harapan saya terwujud dengan cepat, dan semoga ke depannya makin banyak kader-kader NU yang militan nan penuh kreativitas.

 

Muhammad Daniel Fahmi Rizal, alumni Pesantren Ciganjur, editor buku 'Kisah Ulama Pendiri Bangsa'.