Opini

Mari Menolak Jadi Perkumpulan Buta Tuli

Sen, 5 Agustus 2019 | 20:00 WIB

Mari Menolak Jadi Perkumpulan Buta Tuli

Ilustrasi Foto. NU Online

Oleh Abdullah Alawi

Tak habis-habis sejarah NU karena terkait waktu yang panjang dan menyangkut banyak pelaku dan peristiwa masa lalu dan masih berlangsung dan akan tetap berlangsung. Namun, sejarah itu masih didominasi dalam bentuk lisan, bukan tulisan. 

Dalam Pengantar buku KH Hasyim Asy’ari Bapak Umat Islam Indonesia karya Akarhanaf, KH Wahab Hasbullah meminta agar orang-orang NU menuliskan sejarahnya. Dan ia prihatin masih sedikit orang NU yang melakukannya. Kiai Wahab menyadari, jika tidak ditulis, sejarah NU akan segera dilupakan orang. Baik oleh warganya sendiri, apalagi oleh orang lain. 

Maka pada awal NU berdiri, ia dengan kesadaran penuh mendirikan sebuah majalah, Swara Nahdlatoel Oelama. Ia turun tangan langsung menjadi redaktur di majalah itu. Jika sekarang orang NU mengenalnya sebagai kiai dan aktivis penggerak NU, sebagian orang luar menganggapnya hanya sebagai politikus, sebetulnya dia juga adalah seorang penulis. 

Dalam sebuah artikelnya yang dimuat dalam Swara Nahdlatoel Oelama, sebuah perkumpulan yang tak memiliki majalah (media pemberitaan) sama halnya dengan perkumpulan yang buta tuli. 

Sepertinya pesan itu dipegang pengurus NU sepanjang masa. Dalam setiap periode pengurusan, selalu disertai media pemberitaan. Mulai dari Swara Nahdlatoel Oelama, Duta Masyarakat, hingga hari ini NU Online dan majalah Risalah Nahdlatul Ulama. Dalam setiap masa lahirlah barisan penulis dari NU mulai Kiai Wahab sendiri, KH Bisri Syansuri, KH Dahlan Abdul Qohar, KH Mahfudz Shiddiq, KH Wahid Hasyim, AA Achsien, KH Saifuddin Zuhri, KH Chalid Mawardi, Mahbub Djunaidi, Said Budairy, hingga KH Abdurrahman Wahid.    

Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) PBNU KH Agus Sunyoto tak henti-hentinya dalam setiap pertemuan dengan generasi muda NU untuk menulis tentang NU dan pesantren. Bahkan menurut dia, hal dianggap remeh pun harus ditulis. 

“Resep makanan pun harus ditulis,” ungkapnya. 

Apa yang dikatakan Kiai Agus tersebut, senada dengan maksud KH Saifuddin Zuhri dalam sebuah artikelnya yang dikumpulkan dalam Secercah Dakwah. Dalam artikelnya itu, ia mengatakan para pejuang (NU) angkatan sebelumnya, telah merintis jalan dan berbuat, mereka memperoleh pahalanya. Tetapi segi-segi kekurangannya harus berani diakui meskipun pahit untuk disempurnakan bagi taraf-taraf perjuangan seterusnya.

Artinya, sejarah tersebut bisa dijadikan cermin generasi muda sebagai pijakan dia bergerak hari ini dan di masa yang akan datang. 

Terkait hal itu, ada ungkapan terkenal dari tokoh NU Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, Tengku Muhamad Nasir.

“Saya sudah melakukan sejarah dalam hidup saya. Sekarang anak saya sedang membuat sejarah hidupnya sendiri,” ungkap Tengku Muhammad Nasir yang pernah menjadi Ketua Sarekat Buruh Muslimin Indonesia kabupaten tersebut tahun 60 hingga tahun 70-an.

Ia mengungkapkan kalimat tersebut ketika diinterogasi anggota militer setempat karena anaknya, Tengku Saiful Anhar, Ketua Pimpinan Cabang Ansor Langkat mengundang tokoh-tokoh Ansor dari Jakarta yang kebetulan aktivis Partai Persatuan Pembangunan (PPP). 

Saat itu, Tengku Muhammad Nasir adalah anggota DPRD II dari Golongan Karya (Golkar). Ia dianggap bersalah karena menerima tamu dari PPP. Saat diinterogasi itu, keluarlah ungkapannya, “Saya sudah melakukan sejarah hidup saya. Sekarang anak saya sedang membuat sejarah hidupnya sendiri.” 

Karena membela anaknya itu, ia harus kehilangan jabatannya. Sebab setelah itu ia diminta menjadi petugas haji di Langkat. Sepulang dari Arab Saudi, namanya sudah hilang dari anggota DPRD Langkat.  

Belum ditemukan data pasti kapan NU berdiri di Langkat. Yang jelas, menurut Tengku Saiful Anhar, pada pemilu tahun 1971 NU mendapat 7 kursi DPRD tingkat II dari 40 kursi yang diperebutkan. NU menjadi pemenang kedua setelah Golkar sebagaimana di tingkat nasional. 

Bahkan, pada tahun 70-an, menurut Saiful, di Langkat ada tiga camat yang merupakan aktivis NU aktif, di antaranya H Murad L. Fuad.
 
Penulis adalah Redaktur NU Online