Opini

Multaqa Ulama Qur'an: Meneguhkan Tradisi Keilmuan Islam di Era Society 5.0

Sab, 26 November 2022 | 10:00 WIB

Multaqa Ulama Qur'an: Meneguhkan Tradisi Keilmuan Islam di Era Society 5.0

Ilustrasi Al-Qur'an. (Foto: NU Online/Freepik)

Penyelenggaraan Multaqa Ulama Qur'an Nusantara pada 15-17 November 2022 di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta, merupakan benih baru dalam dinamika perkembangan keilmuan Al-Qur'an di negeri ini. Kegiatan ini merupakan yang pertama kali diadakan. Kemenag selaku pemangku jalannya kegiatan menginginkan adanya peningkatan kualitas harmonisasi kehidupan masyarakat khususnya bagi umat Islam.

 

Di sisi lain, konsep dari kegiatan tersebut adalah memadukan metode pembelajaran Al-Qur’an berbasis pesantren dan perguruan tinggi. Hal itu diejawantahkan melalui berbagai kegiatan seperti diskusi panel, call for paper, ziarah ulama Al-Qur’an, dan sebagai kegiatan puncak diadakan Lailatul Qur'an dengan menghadirkan Prof. Quraish Shihab, Prof. Said Agil Husin Al Munawar dan KH. Bahaudin Nursalim (Gus Baha).


Pada Kegiatan Lailatul Qur'an (16/11/2022) lalu, penulis hadir secara langsung untuk menikmati salah satu rangkaian acara dari sekian acara pada Multaqa Ulama Qur'an Nusantara pertama tersebut. Tema yang diangkat adalah Pesan Wasathiyah Ulama Al-Qur’an Nusantara dan disiarkan pula melalui Youtube sebagai upaya syiar agama yang lebih luas.

 

Sebagaimana tradisi yang ada, Prof. Said Agil Husin Al Munawar yang dikenal sebagai qori senior nasional dan sekarang diamanahi menjabat sebagai Kepala Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur'an (LPTQ) membaca Qira'ah Sab'ah untuk mengawali kegiatan malam itu. Kemudian selepas itu penyampaian materi oleh Prof. Quraish Shihab, dilanjutkan oleh Prof. Said Agil, dan ditutup oleh Gus Baha.


Secara ringkas Prof. Quraish menyampaikan sekilas tentang wasathiyah. Wasathiyah yang terambil dari kata wasatha selain memiliki arti pertengahan, juga lebih tepat kalau diartikan adil, sesuai kadar tempat, kadar waktu, dan kadar nilai. Sebelumnya beliau menyayangkan tidak bisa berhadir secara langsung di Krapyak, sebab kondisi kesehatan beliau yang kurang fit.

 

Sementara itu, Prof. Said Agil menyampaikan tradisi keilmuan Al-Quran yang terus semakin dewasa semakin berkembang, oleh sebabnya istilah ilm al-Qur’an saat ini sudah tidak relevan karena Quran sendiri memiliki banyak cabang ilmu. Oleh karena itu, istilah ulum al-Qur’an (ilmu-ilmu Quran, jamak)-lah yang digunakan.

 

Begitu pula, istilah ilm al-hadits (tunggal) yang berubah menjadi ulum al-hadits (ilmu-ilmu hadits, jamak) karena ilmu hadis selalu mengalami perkembangan yang menyebabkan hadist terdiri dari banyak cabang keilmuan. Kemudian Gus Baha menyampaikan kandungan karya Imam asy-Syatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah.
 

Di antara sekian banyak kegiatan, penulis rasa Lailatul Qur'an yang dijadikan sebagai agenda puncak Multaqa Qur’an kali ini menampakkan kesyahduan, kearifan, dan keilmuan Islam yang memiliki integritas. Dengan kata lain, inilah agenda positif yang perlu terus disebarluaskan dampak positifnya, digalakkan komitmennya, dan disuburkan tujuan-tujuan baiknya. Alasannya sederhana, pembicara yang dihadirkan berasal dari latar belakang yang berbeda sehingga apa yang disampaikannya pun mempunyai identitas tersendiri.

 

Kemudian, pemilihan tempat dan waktu yang sesuai. Terakhir, tujuan positif yang diagendakan sudah sangatlah baik, tinggal kita output dan komitmen bersama setelah kegiatan ini nantinya. Pada bagian selanjutnya akan penulis paparkan argumen sederhana yang menguatkan tiga alasan tersebut.


Pertama, pembicara atau ulama Quran yang dihadirkan berasal dari latar belakang yang berbeda, dalam hal ini background pendidikan beliau-beliau ini tidaklah sama. Sebut saja Prof. Quraish Shihab, menempuh pendidikan aliyah hingga doktor di Al-Azhar Mesir, lembaga yang telah berdiri lebih dari 1.000 tahun.

 

Prof. Said Agil menempuh pendidikan S1 hingga S3 di Saudi Arabia, tepat nya S1 di Universitas Islam Madinah, kemudian S2 dan S3 di Universitas Ummul Quro Makkah. Yang perlu digarisbawahi di sini, ternyata hanya sepersekian persen mahasiswa Indonesia yang berkesempatan untuk thalab al-ilmi di Universitas Islam Madinah, lebih-lebih di Universitas Ummul Quro Makkah.


Sementara KH. Bahauddin Nursalim atau yang lebih familiar dengan sapaan Gus Baha merupakan ulama Al-Qur'an dengan riwayat pendidikan sepenuhnya di pondok pesantren. Tentunya dengan keragaman pendidikan tersebut, minimal Multaqa ini menampakkan berbagai bidang keilmuan.

 

Identitas masing-masing ulama yang dihadirkan memberi nuansa keluasan dan keluwesan di tengah keberagaman. Sikap keberagamaan tetap harus dirawat, dipelihara, dan diasuh. Salah satu caranya adalah menghadirkan narasumber dengan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda dan memiliki karakteristik penyampaian yang berbeda pula.


Kedua, Kegiatan yang dilangsungkan pada pertengahan November di Krapyak ini juga penulis rasa tepat dalam segi pemilihan waktu dan tempat. Pondok Pesantren al Munawwir di Krapyak adalah pondok yang memiliki catatan dan nilai historis yang mengagumkan. Selain itu, pondok ini juga telah melahirkan tokoh-tokoh yang berpengaruh pada level nasional dan telah sukses mencetak alumni-alumni yang memiliki integritas keilmuan Al-Qur’an yang kuat.

 

Malahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah salah satu alumni yang memiliki catatan karier sosial, politik, dan keagamaan yang cemerlang. Sehingga, dipilihnya Krapyak sebagai tuan rumah pertama ini tidaklah keliru. Selain itu, Pondok Al Munawwir yang bertempat di Yogyakarta, yang Yogyakarta sendiri dikenal sebagai kota perjuangan, banyak peristiwa bersejarah di kota ini, banyak pula makam dan nama jalan dari nama pahlawan dan ulama yang gugur.

 

Hal itu menjadi bukti otentik bahwa kota ini identik dengan semangat juang, yang diharapkan pula penyelenggaraan Multaqa Ulama Quran pertama di kota Yogyakarta mampu merembeskan semangat juang pahlawan ke dalam semangat juang untuk terus istiqomah mengabdikan diri pada tradisi keilmuan Islam.


Kemudian, setting waktu penyelenggaraan pada kurun waktu akhir 2022 cukup apik. Mengingat tahun mendatang suasana politik akan terus meningkat yang pada puncaknya adalah pemilu serentak tahun 2024.

 

Penulis selaku bagian dari masyarakat awam tentunya berharap, kegiatan keilmuan tersebut tidak sekadar dimaknai sebagai transformasi pengetahuan dari narasumber ke audiens, tetapi juga diartikan sebagai ajang silaturahmi, memperkuat identitas keislaman, serta meneguhkan arus beragama sehingga pada tahun politik nantinya tidak mudah terlena dengan hasutan, bujukan, dan rayuan yang bersifat sementara.

 

Selain itu, pesan wasathiyah yang disampaikan oleh ulama-ulama Qur'an tersebut diharap mampu meresap kedalam setiap individu masyarakat beragama sehingga sikap kerendahan hati, persaudaraan, anti-apatis, dan anti-arogansi menjadi modal dalam mengarungi kompleksitas suasana politik nantinya.


Ketiga, sebagaimana harapan dari pihak penyelenggara yaitu pengarusutamaan wasathiyah sebagai metode berpikir, bersikap dan beraktivitas sehari-hari dalam upaya mewujudkan keberagamaan yang moderat, toleran, ramah dan rahmah, kita juga berharap agar dalam pelaksanaannya apa yang menjadi harapan penyelenggara bisa dimaknai secara integral atau menyeluruh oleh seluruh kalangan.

 

Maksudnya, sebagai salah satu agenda keagamaan yang bersifat temporal dan mengandung nilai manfaat yang luas, pelaksanaan konsep wasathiyah dalam beraktivitas (tidak terbatas pada aktivitas keagamaan semata) terus dijalankan, disebarluaskan, dan ditingkatkan.


Kemudian wasathiyah juga betul-betul harus dimengerti definisi, makna, dan pelaksanaannya oleh masyarakat luas, baik dari kalangan bawah maupun atas, di desa maupun kota, tua maupun muda, kaya maupun miskin. Sehingga, wasathiyah yang digema-gemakan oleh panitia sebagai metode berpikir, bersikap dan beraktivitas benar-benar ada perbuatannya, tidak sekedar ucapan ataupun lantas sebagai tema kegiatan belaka.


Akhirnya, Multaqa Ulama Qur’an Nusantara pertama di Krapyak diharapkan mampu memberikan bekas dan ingatan nyata, yang nilai-nilai positifnya bisa direalisasikan dalam perbuatan sehari-hari. Lebih-lebih di saat Era Society 5.0 dimana masyarakat berpusat pada manusia yang berbasiskan teknologi.


Dalam tulisannya Handayani dan Muliastrini (2020) menyebut bahwa realisasi society 5.0 adalah memasukkan berbagai kecanggihan teknologi seperti internet of think (IoT), data besar (big data), kecerdasan buatan (artificial intelligent), robot, dan berbagi konsep ekonomi ke dalam setiap industri dan permasalahan sosial. Dalam upaya memberi nilai seimbang terhadap kemajuan teknologi serta agar kecerdasan intelektual modern bisa berjalan sesuai pada koridor agama, peran ulama-ulama Qur’an terus dibutuhkan.


Tradisi-tradisi positif yang mencakup diskusi, silaturahmi, ziarah, dan sebagainya adalah suatu upaya merekatkan segala pihak dewasa ini, jangan sampai tradisi-tradisi luhur tersebut tercederai bahkan tergerus dengan kemajuan teknologi. Bingkai-bingkai keagamaan perlu terus dilestarikan melalui kesadaran penuh, komitmen bersama, dan upaya nyata daripada seluruh pihak. Keberadaan ulama-ulama adalah sebuah kesempatan, peran pemerintah adalah suatu keharusan, dan antusiasme masyarakat adalah suatu kebutuhan dalam upaya meneguhkan tradisi positif.


Azmi Hanief Zeinadin, partisipan pada kegiatan Lailatul Quran Multaqa Ulama Qur'an Nusantara