Opini

Pertemuan Pertama dengan Baitullah

Jum, 26 Juni 2020 | 01:37 WIB

Pertemuan Pertama dengan Baitullah

Saya merasa seolah-olah ada yang datang pada saya, yang sengaja datang menyambut saya dengan tangan terbuka tatkala saya datang.

Ada orang-orang yang atas kehendak Tuhan dirasuki oleh keinginan untuk mengetahui dan menghayati hubungan pengalaman pribadi dan kenyataan, dan kehidupan seantero. Keinginan ini mendorong mereka untuk memulai suatu pencarian yang titik akhirnya belum tentu bisa dicapai. Dan yang sering kali harus dihentikan tatkala telah datang saat untuk berbenah, pamitan dengan kawan-kawan lalu memasuki pintu yang telah disediakan bagi setiap manusia untuk pindah dari dunia yang fana ini ke alam baka.


Tetapi setiap saat kelumit udara direguk dan kemudian diembuskan kembali untuk tidak diulangi lagi kapan pun, ditariklah sebuah garis tebal dan dibuatkan sebuah neraca yang dapat merumuskan suatu kehidupan yang singkat. Rumusan yang tidak pernah kita dengar dalam pidato-pidato penguburan karena ia berkenaan dengan wajah manusia yang sebenarnya dan bukan wajah manusia kedua yang setiap hari kita kenakan setelah kita bangun tidur, sarapan, dan bersiap untuk memasuki masyarakat manusia.


Pengarang Abad Ke-XIX Rusia Leo Tolstoy pernah melukiskan pembuatan neraca ini dalam karangannya Matinya Iwan Illitsy. Pada saat ajalnya hampir sampai, di tengah-tengah kesibukan istrinya mengurus peti mati dan baju berkabungnya, sedangkan kawan-kawannya dengan susah payah mengenakan wajah mereka yang kedua yang dapat memperlihatkan tarikan-tarikan rona sendu, Iwan dengan tenang menoleh ke belakang dan mulai merekonstruksikan kehidupannya.


Ia sampai kepada pertanyaan, “Manakah yang benar?” dan kesimpulan bahwa kehidupannya tidak berarti sama sekali. Kenyataan ini ia terima dengan tenang, lalu ia mengembuskan napasnya yang penghabisan. Iwan dikuburkan dan kawan-kawannya–seperti menurut kegaliban–akan berpidato mengemukakan kebaikan-kebaikan Iwan dan harganya sebagai manusia.


Kesimpulan Iwan lahir setelah ia menempatkan pengalaman pribadinya dalam hubungan kenyataan dunia dan kehidpan seantero sedangkan pidato kawan-kawannya akan lahir dari iklim dan suasana orang-orang yang beranggapan bahwa cara yang paling wajar untuk menilai manusia atau pun kehidupan ialah dengan jalan mengukur kepangkatan seseorang atau lebih mudah lagi dengan jalan melihat apa merk mobil yang dikendarai seseorang.


Penilaian Kembali

Iwan tidak sendiri di dunia ini. Bahkan ia banyak sekali. Ia bertebaran di mana-mana. Ia ditemui dalam diri pengarang-pengarang seperti Tolstoy ataupun Simon de Beauvoir, dalam diri penyair Chairil Anwar ataupun Iqbal, dan–kemudian saya temui–ia beroleh jawaban yang bersahaja tapi efektif dalam Islam. Sebagian besar dari Iwan-Iwan ini membius dirinya terhadap persoalan ini dan menguiskannya dengan tak peduli, seperti dengan mudahnya seorang perempuan lacur menguiskan maksiat yang baru saja ia lakukan.


Waktu mereka yang banyak-sedikitnya merasa kenal pada saya mendengar tentang keberangkatan saya ke Mekkah, mereka tidak tahu, bagaimana harusnya menempatkan kabar ini. Apakah ini suatu olok-olok besar ataukah suatu berita perjalanan yang sedikitpun tidak ada sangkut-pautnya dengan agama.


Sebuah koran menulis bahwa saya ke Mekkah tidak untuk menunaikan ibadah haji tetapi sekadar untuk mengadakan persiapan film haji yang harus saya sutradarakan habis tahun ini. Mereka mengetahui bahwa dalam politik saya menggolongan Islam–tapi menunaikan rukun haji ke Mekkah, adalah suatu hal yang agak jauh. Orang yang naik haji adalah orang yang sudah agak lanjut umurnya, yang sudah tenang, yang sudah memutuskan untuk semata-mata beribadat dan tidak lagi bermaksud melakukan apa-apa yang bersifat duniawi.


Sebelum saya berangkat saya tidak dapat mengatakan apa-apa perihal ini karena saya tidak mempunyai gambaran apa-apa tentang ibadah haji itu, tapi sekarang dapat saya katakan dengan pasti bahwa tidak ada lagi yang lebih salah daripada anggapan itu. Karena ibadah haji bukanlah akhir dari kehidupan ataupun amal, tapi lebih lagi penilaian kembali dari suatu keyakinan yang dianut dan cara-cara menganut keyakinan tersebut, untuk dapat mulai lagi dengan cara yang lebih benar. Inilah kesimpulan yang saya peroleh setelah saya kembali dari tanah suci itu.


“Kau Seorang Atheis!”

Secara kecil-kecilan barang kali saya termasuk ke golongan Iwan yang saya terangkan di atas. Bagi saya hubungan antara pengalaman pribadi dengan kenyataan dunia dan kehidupan seantero merupakan suatu masalah yang bersifat hakiki. Dan hal ini telah membuat saya menjalani berbagai macam taraf pemikiran dalam kehidupan saya.


Saya beroleh pendidikan agama yang cukup baik. Tapi begitu saya meninggalkan bangku sekolah agama, begitu saya berusaha sekuat tenaga untuk melupakan apa yang telah diajarkan guru kepada saya dan mengingkari kebenaran-kebenaran yang menurut guru saya harus dijunjung oleh seorang Muslim.


Apakah ini saya lakukan karena guru saya itu telah memberikan agama kepada saya sebagai suatu barang hafalan atau sekelompok hukum-hukum; apakah ini saya lakukan karena saya yakin suatu keyakinan yang harus dijadikan pegangan hidup adalah sesuatu yang harus kita rebut sendiri; atau apakah ini saya lakukan karena saya berada di tingkat usia di mana keinginan mengingkari selalu lebih besar daripada kesediaan untuk mengiyakan, tidak dapat saya katakan.


Yang jelas ialah saya baru menemui bahwa saya ada, dan saya ingin menyatakan keadaan saya itu. Hal ini bukanlah suatu hal yang luar biasa saya kira. Setiap pengarang atau seniman selalu melewati periode ini. Pendeknya saya begitu berhasil mengingkari segala ajaran yang diberikan oleh guru agama saya, sehingga pada suatu pagi–saya masih ingat sekali–saya ditunggu oleh seorang sahabat saya sesama mahasiswa di depan lembaga yang pagi itu harus saya kunjungi.


Malam sebelum itu kami sudah berbicara panjang lebar sekali. Dan pagi itu ia bersandar ke tonggak sambil mengepit tasnya. Karena merasa kikuk–saya tidak tahu mengapa–ia saya tegur, “Bagaimana?” Ia memandang kepada saya dengan cahaya mata berkata, “Kau seorang atheis! Sayang sekali!” saya tertegun sebentar.


Itulah pertama kalinya kata itu dipergunakan terhadap saya. Dan bagaimana pun tidak pedulinya saya, tapi bagi seorang manusia yang diberikan didikan agama Islam dan dibesarkan di kalangan agama, “tuduhan” ini bukanlah suatu tuduhan yang bisa dilewatkan begitu saja. Kekuatan bahasa adalah bahwa ia dapat memberikan bentuk kepada sesuatu yang wujudnya masih samar-samar antara ada dan tiada. Bagai dilukiskan oleh Standhal dalam salah sebuah romannya, tentang pengamatan seorang bangsawan tua yang memperhatikan hubungan seorang wanita dan seorang pemuda.


Dasar hubungan kedua mereka itu adalah dasar hubungan seorang bibi yang masih muda dengan seorang kemenakan. Bangsawan tua itu tahu bahwa dalam dada kedua makhluk tersebut tersimpan perasaan lain yang seharusnya tidak dimiliki seorang kemenakan terhadap bibinya atau seorang bibi terhadap kemenakannya, tetapi perasaan itu pecah tak tentu arah dan tidak mempunyai bentuk yang nyata.


Tapi jika salah seorang di antara kedua mereka melisankan kata cinta–demikian pikiran bangsawan tua itu–maka perasaan itu tiba-tiba akan beroleh bentuk dan hanya dua kemungkinan lagi yang akan timbul. Atau mereka takut pada perasaan yang kini tiba-tiba menjadi kesadaran sehingga mereka berpisah, atau mereka mengambil suatu arah yang tetap untuk melaksanakan kesadaran itu.


Efek yang seperti inilah yang saya rasai tatkala saya mendengar ucapan kawan itu. Saya menyadari bahwa saya telah berhasil menciptakan kekosongan dalam diri saya dan menisbikan segala yang ada di sekitar saya. Dalam masa inilah saya paling banyak menulis.


Tetapi pada suatu hari yang baik, saya duduk di tengah-tengah masjid di Kordova, saya mengunjungi Alhambra di Granada dan saya meresapi bentuk-bentuk kebudayaan yang dilahirkan dengan Islam sebagai sumber. Saya melihat Islam yang mencipta di sini, Islam sebagai kehidupan, bukan Islam sebagai kelompok Islam hafalan dan hukum-hukum semata. Guru saya tidak mengajarkan ini kepada saya, bukan karena ia berniat buruk kepada saya, tapi karena ia sendiri belum pernah menghayati hal yang seperti ini.


Dan mulai saat itu saya mulai bekerja ke arah ini. Saya menulis Titisan Rambut Dibelah Tujuh yang kemudian saya jadikan film (film ini agak berbeda dari tulisan aslinya). Jika kita berjalan terus dari titik pertolakan ini saya kira tidaklah begitu aneh lagi–biarpun pada suatu pagi yang baik ada seorang sahabat yang mempergunakan kata “atheis” terhadap diri kita–jika pada suatu sore dalam kamar saya di Jeddah dan memandang ke arah Laut Merah yang jelas kelihatan terbambang biru.


Panggilan Tuhan

Saya sampai lima hari yang lalu. Jamaah dan kawan-kawan lain telah berangkat dengan bus ke Mekkah. Tadi pagi di bawah terjadi sedikit hiruk-pikuk karena beberapa orang anggota Majelis Pimpinan Haji menyatakan ketidaksabaran mereka untuk berangkat ke Mekkah. Mereka semuanya terburu-buru. Saya iri hati pada mereka. Karena jika mereka buru-buru, saya adalah sebaliknya. Saya ingin menunda barang sehari-dua hari lagi. Saya terlalu gelisah dan hati saya makin kecil. Saya merasa, saya telah datang terlalu pagi ke tanah suci ini.


Saya belum lagi siap. Saya memerlukan waktu barang dua-tiga tahun lagi paling sedikit, sebelum saya dapat datang ke mari dengan ketenangan yang sempurna. Saya telah mempelajari kitab Tuntunan Manasik Haji yang dikeluarkan Yayasan PHI sebaik-baiknya dan saya tahu sudah apa yang harus saya lakukan untuk menunaikan ibadah haji. Tapi soalnya bukan itu. Soalnya saya belum siap. Tak ubahnya bagai seseorang yang menghadapi sakratul maut sedangkan ia sendiri belum lagi siap untuk menghadapi kematian sebaik-baiknya. Masih banyak yang harus ia benahkan.


Mobil yang terakhir telah berangkat. Gedung telah kosong. Yang tinggal hanya saya empat orang kawan. Mereka telah begitu baik unutk menanyakan kepada saya, kapan saya bersedia berangkat ke Mekkah. Saya minta sore hari. Sedangkan hati kecil saya berharap moga-moga hari ini panjang sekali dan matahari tidak pernah turun.


Tapi sore sudah datang dan kedutaan telah mengirimkan pakaian ihram. Kawan-kawan saya telah siap bersembahyang sunnah ihram. Yang tinggal hanya saya sendiri. Saya telah dua kali sembahyang dan kedua kalinya saya berhenti di tengah-tengah. Pikiran saya melayang ke mana-mana. Demikianlah saya berdiri di atas balkon dan memandang nanar ke laut mencoba menenangkan hati saya.


Langit di sini tidak bagai langit di Laut Tengah. Awan-awan bergantung rendah. Beberapa orang perempuan Arab lewat berselubung serba hitam. Angin laut bertiup mengurangi kegerahan yang menusuk-nusuk kulit. Barang kali kawan saya sekadar mengerti akan keadaan saya, karena ia datang mendekati saya sambil berkata, “Tenang-tenang sajalah, waktu masih ada.”


Saya mengangguk dan bertanya kepadanya untuk kesekian kalinya apa ia sudah selesai sembahyang. Ia berkata, “Apa Saudara, kami tunggu di bawah?” Saya mengangguk. Sebetulnya supaya ia menunggu di atas. Saya ingin meminta tolong. Saya ingin ia mengatakan kepada saya, “Saya takut dan gelisah.” Tapi ia tidak berkata apa-apa.


Bersama kawan-kawan lain ia terus turun ke bawah. Apakah hanya saya sendiri yang datang terlalu pagi ke mari? Tapi kawan-kawan yang mengetahui mengatakan kepada saya, “Kau tidak akan sampai ke tanah suci, biar apapun yang kaulakukan, jika kau belum lagi mendapat panggilan.” Dan kini saya ada di sini. Jadi saya sudah semestinya berada di sini.


Saya berdiri kembali di tikar sembahyang dan dengan mengumpulkan segala kekuatan yang ada maka sembahyang sunnah ini dapat saya selesaikan. Saya rasa-rasanya seolah-olah baru berhasil melewati sebuah ujian permulaan. Setelah saya memasang niat umrah dan lalu saya pun terus ke bawah. Kawan-kawan saya lagi asyik minum air buah kaleng di kedai seorang Yaman yang bernama Umar.


Umar seorang yang pro Republik Yaman dan bersimpati pada Jamal Abdul Nasser. Pandangannya terhadap Raja Saud tidaklah tinggi dan satu kali ia akan pulang ke tanah airnya, Yaman. Kedainya itu penuh dengan barang-barang kaleng. Dalam peti pendinginnya yang terletak di bagian depan kedainya ia menyimpan minuman dingin seperti Coca-cola yang merknya ditulis dalam tulisan Arab, air jeruk buatan Jepang, dan air mangga yang diimpor dari India. Di lemarinya kelihatan minyak samin buatan Belanda, keju Australia, buah persik keluaran Bulgaria, sabun dari Inggris, dan rokok Amerika.


Mereka semua di sini menerima barang dari segala penjuru dunia. Dan biarpun di Indonesia banyak minyak samin buatan Arab, tetapi di kedai-kedai orang Arab kita lebih mudah mendapat minyak samin buatan Belanda daripada minyak samin buatan Arab.


Saat Mendebarkan

Jalan yang menghubungi Jeddah dan Mekkah bagus sekali buatannya sehingga orang-orang Arab menjalankan mobil mereka dengan kecepatan lebih dari 100 mil sejam. Pemandangan serba sangat serupa. Bukit-bukit batu karang yang dibakar panas, gurun-gurun pasir yang berombak karena ditiup angin dan di sana kampung-kampung orang Badui dan perempuan-perempuan yang menggembalakan domba. Mereka yang bertebaran di bukit-bukit bagai bintik-bintik hitam dan kuning kelihatannya.


Di antara Jeddah dan Mekkah terdapat beberapa tempat perhentian jamaah di mana kita dapat duduk sambil minum teh yang kental tapi sangat harum baunya. Kami berhenti sekali untuk minum secerek teh panas lalu meneruskan perjalanan. Beberapa kilometer lagi sebelum sampai ke Mekkah kelihatan dua pilar putih sebagai tanda permulaan dari tanah haram dan di kiri kanan jalan dipasang merk dalam bahasa Inggris yang mengatakan bahwa yang bukan Muslim dilarang menginjak daerah ini.


Pohon yang hijau warna yang ditanam dengan rapi dan dirawat dengan baik menandakan bahwa kita sudah mulai memasuki Kota Mekkah. Di kiri-kanan jalan kelihatan villa-villa besar yang masih baru-baru. Dari jauh Kota Mekkah ini kelihatannya laik sebuah kota Spanyol. Rumah-rumahnya yang mirip kotak didirikan berdempet-dempet di atas bukit. Kami menempuh jalan yang dibuat di antara dua bukit dan memasuki Mekkah sama artinya dengan memasuki sebuah lembah yang dilingkungi oleh bukit-bukit batu.


Kota Mekkah sudah mulai ramai dan suasana seperti suasana sebuah pesta besar. Kami sampai. Mobil berhenti depan dinding masjid yang baru yang indah sekali kelihatannya dan yang telah direncanakan oleh arsitek-arsitek dari Mesir. Matahari turun dan dari Masjidil Haram kedengaran suara azan, tanda waktu maghrib sudah tiba.


Kawan saya sekamar berkata, “Mari kita sembahyang Maghrib di masjid!” jawab saya, “Tidak!” lalu saya terus berjalan ke arah gedung tinggi yang ditempati oleh anggota-anggota Majelis Pimpinan Haji. Kali ini rupanya bukan saya sendiri saja yang belum lagi siap berbenah. Kawan-kawan saya juga tidak. Kami sembahyang dalam sebuah kamar dari mana bebas sekali pemandangan ke Masjidil Haram.


Setelah selesai sembahyang maka kawan kita itu bertanya lagi, “Apa kita sekarang tawaf?” Tidak ada yang menjawab dan ia tahu bahwa pertanyaan tak usah ia tanyakan untuk kedua kalinya, karena ia sendiri tidak ingin mendapatkan jawaban “ya” atas pertanyaan itu. Demikian kami duduk berdiam-diam. Masing-masing asyik membenahkan segala tali-temali yang masih kusut masai yang terdapat dalam diri masing-masing.


Saya merasa seolah-olah masa depan saya ditentukan beberapa saat lagi. Mengapa semua harus begini? Mengapa saya harus khawatir? Bagi seorang muslim yang harus disembah hanya Tuhan, selalu dihubungkan dengan negeri Ka’bah adalah batu, dan Ka‘bah tidak disembah. Saya ingat ucapan Unamuno dalam salah sebuah bukunya–saya kira Del sentimiento Tragico de la Vida–di mana ia berkata, “Menghidupi adalah satu bentuk. Sedangkan mengetahui adalah bentuk yang lain dan kedua-duanya seolah-olah bertentangan. Inilah dasar dari tragik dalam kehidupan.”


Saya alami ketidakserasian penghayatan dengan pengetahuan. Tapi saya tidak mau tahu lagi. Saya tidak ingin lagi menerangkan. Tidak ada lagi yang dapat diterangkan. Yang saya hadapi saat itu hanya dapat dihadapi dengan satu cara: mengalaminya dengan segala keseluruhan jiwa dan raga. Sudah empat jam kami duduk dalam kamar itu berdiam diri asyik dengan diri masing-masing.


Kebahagiaan yang Lengkap

Kawan saya sekamar memandang kepada saya, berdiri, lalu kami turun ke bawah menuju masjid. Orang telah mencarikan seorang pembimbing buat kami. Saya membiarkan diri dibimbing sebagai seorang bocah cilik, saya mendengar suaranya mengucapkan doa-doa. Saya mengerti apa yang ia ucapkan dan saya mengulangi ucapan-ucapan itu kembali. Saya merasa mengalami sesuatu tanpa dapat kesempatan untuk menyadari sebaik-baiknya apa yang terjadi. Ia membaca, “Ya Tuhan yang mengetahui apa yang tersembunyi dalam dadaku! Keluarkan aku dari kegelapan dan kembalikan aku ke dalam cahaya!”–dan saya mengikuti. Selesai tawaf, kami sembahyang di makam Ibrahim, lalu kemudian pergi ke sumur Zam-zam terus melakukan sa‘i. Setelah menggunting rambut, maka selesailah ibadah umrah kami.


Apa yang harus kami lakukan, kami lakukan, lalu kemudian kami kembali masuk ke dalam masjid. Kini kami tidak lagi dipimpin dan masing-masing akan sembahyang menurut kehendaknya. Saya pergi ke Hijir Ismail yang terletak di barat laut Ka’bah lalu saya sembahyang sunnah di sana. Setelah selesai lalu saya duduk sebentar.


Pada saat itulah saya mendapat kesempatan untuk melihat keadaan sekeliling dan menyadari kenyataan yang sedang saya alami. Dan pada saat itu saya merasai ketenangan dan ketenteraman yang tidak ada taranya. Sekitar saya terdapat beribu manusia. Sungguh pun begitu mereka tidak mengganggu sama sekali ketenangan yang sedang saya alami.


Saya merasa diri saya sangat lelah seperti habis melakukan suatu perjalanan jauh dan akhirnya saya diberi kesempatan duduk untuk melepaskan lelah saya. Saya merasa seolah-olah ada yang datang pada saya, yang sengaja datang menyambut saya dengan tangan terbuka tatkala saya datang. Tangan saya dibimbing dan saya didudukkan, lalu yang datang menyambut saya itu berkata, “Sudah lama kau pergi merantau, akhirnya kau pulang juga. Sekarang di sinilah kau dahulu. Istirahatlah di sini, tidurlah di sini, makanlah di sini–ini adalah rumahmu dan kampung halamanmu!” Air mata saya keluar dan saya menangis tersedu-sedu.


Apakah ini semua? Apakah ini suatu ilusi, ataukah suatu impian? Saya tidak tahu. Tapi saya juga tidak mau tahu. Saya tidak minta keterangan dan saya tidak ingin menerangkan apa-apa.


Saya telah tidur di atas beribu ranjang dan belum ada satu pun dari ranjang-ranjang itu yang dapat memberikan kepada saya kenikmatan berlepas lelah seperti yang saya alami tatkala saya duduk itu; belum ada satu tempat pun yang telah memberikan kepada saya rasa ketenteraman yang saya alami kala itu, banyak waktu yang sudah saya habiskan bersama-sama dengan orang-orang yang saya kasihi, tapi belum pernah waktu-waktu itu dapat memberikan kebahagiaan yang begitu lengkap seperti yang saya alami kala itu–saya memperoleh sense of belonging, suatu rasa yang tidak pernah saya miliki semenjak saya melewati ambang pintu masa kekanak-kanakan.


Dahulu, saya pernah menulis sebuah cerita yang berkepala Si Penyair Belum Pulang, yang menceritakan perihal seorang penyair yang pergi meninggalkan rumahnya, karena ia merasa bahwa kehidupannya didasarkan pada suatu kehilangan. Saya doakan semoga suatu saat semua penyair, semua musafir, semua pengembara, juga akan pulang.


Intisari, No. 1, 1963.


Asrul Sani, pendiri Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi)


*) Naskah ini disalin ulang oleh Alhafiz Kurniawan dari Surat-Surat Kepercayaan karya Asrul Sani, (Jakarta, Pustaka Jaya: 1997 M), halaman 654-664.