Opini

Sejarah Sunan Gisik ‘Raden Santri’

Sen, 30 September 2019 | 16:50 WIB

Sejarah Sunan Gisik ‘Raden Santri’

Ilustrasi sunan (Jawa Pos)

Oleh Wahyu Firmansyah

Sunan Gisik memiliki nama asli Sayyid Ali Murtadlo, beliau adalah putra dari Syaikh Maulana Ibrahim As-Samarqandi bin Jamaluddin Akbar Khan  bin Ahmad Jalaludin Khan bin Abdullah Khan bin Abdul Malik al-Muhajir bin Alawi Ammil Faqih bin Muhammad Sohibul Mirbath bin Ali Kholi’ Qosam bin Alawi ats-Tsani bin Muhammad Sohibus Saumi’ah bin Alawi Awwal bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa ar-Rumi bin Muhammad an-Naqib bin Ali Uraidhi bin Ja’far ash-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib, suami Fatimah az-Zahra binti Nabi Muhammad SAW.

Ibu beliau bernama Dewi Candrawulan (Chandravati). Dewi Candrawulan merupakan putri Sultan Kuthara (Kerajaan Champa) yang bernama Bong Tak Keng dari pernikahannya dengan Putri Indravarman VI (Putri Raja Champa). Bong Tak Keng berasal dari Suku Hui beragama Islam yang  mendapat amanah menjadi pimpinan Komunitas Cina di Champa sekaligus Duta Cina untuk Champa oleh Laksamana Cheng Ho (Sam Po Bo/Haji Mahmud Shams) dari Dinasti Ming.

Nama Sunan Gisik bermakna guru agama atau tokoh yang dihormati yang berada di pesisir. Sunan adalah sebutan bagi orang yang diagungkan dan dihormati, biasanya karena kedudukan dan jasanya di masyarakat. Sedangkan dalam catatan Cina, kata sunan yang menjadi panggilan para anggota wali, dipercaya berasal dari dialek Hokkian ‘Su’ dan ‘Nan’. ‘Su’ merupakan kependekan dari kata ‘Suhu atau Saihu’ yg berarti guru. Sementara ‘Nan’ berarti berarti selatan. Gisik dalam bahasa jawa berarti pantai, yakni merujuk pada lokasi dakwah Sunan Gisik berada di pesisir Gresik yang memiliki geografis perbukitan (giri) sekaligus pesisir (gisik).

Dalam menyebarkan agama Islam, Sunan Gisik melakukan perjalanan dakwah ke tanah Jawa bersama ayah dan adiknya. Sebagaimana disebutkan diatas, ayah Sunan Gisik adalah Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi dan adiknya bernama Sayyid Ali Rahmatullah (Sunan Ampel). Diduga mereka tidak langsung ke Majapahit, melainkan mendarat di Tuban dan menyebarkan agama Islam kepada masyarakat sekitar. Akan tetapi, tepatnya di desa Gesikharjo, Syekh Maulana Ibrahim Asmarakandi jatuh sakit dan meninggal dunia, beliau dimakamkan di desa tersebut yang masih termasuk kecamatan Palang Kabupaten Tuban.

Selanjutnya Sunan Gisik meneruskan perjalanannya, beliau berdakwah keliling ke daerah Madura disini beliau mendapat sebutan "Sunan Lembayung". Beliau juga berdakwah di Nusa Tenggara hingga ke Bima, disana beliau mendapat sebutan “Raja Pandhita Bima”. Banyak diantara keturunan beliau menjadi penyebar agama Islam dan juga raja baik di Madura maupun di Nusa Tenggara. Dalam rantai silsilah Raja Bima yang tercantum dalam Bo’ sangaji Kai, beserta penjelasan-penjelasannya, kita akan dibuat sedikit terkejut dengan munculnya nama-nama dan istilah islam yang disebutkan. Hal ini dapat dijumpai pada kepemimpinan Rumata Mawa’a Bilmana.

Jadi sebelum Abdul Kahir I, kerajaan Bima pernah dipimpin oleh seorang Raja Muslim, yakni Sunan Gisik sendiri. Nama beliau kurang terekam secara maknawiyah dalam dialek Bima saat itu, karena catatan mengenai beliau justru ada dalam riwayat resmi keturunan para walisongo. Dalam catatan sejarah menjelaskan bahwa beliau merupakan penyebar agama Islam pertama di Nusa Tenggara Barat yang kelak menjadi pondasi cikal bakal kerajaan Bima yang bernafaskan Islam “Ahlussunah wal Jamaah”.

Setelah berhasil mengIslamkan daerah Madura dan Nusa Tenggara yang masyarakatnya semula kental suasana Budha dan Hindhu, Sunan Gisik diminta kembali ke Gresik. Pada 9 April 1419 Syekh Maulana Malik Ibrahim Wafat, beliau menggatikan peran Syekh Maulana Malik Ibrahim sebagai imam penyebaran Islam di Gresik. Beliau berdakwah di Gresik mendapat beberapa sebutan yakni “Raja Pandhita Wunut” serta sebutan yang sangat melekat dan banyak dikenal masyarakat adalah “Raden Santri”.

Sunan Gisik menikah dengan Rara Siti Taltun atau RA. Madu Retno binti Aryo Baribin dan mempunyai 4 anak bernama Usman Haji (Sunan Ngudung), Haji Usman, Nyai Gede Tundo, dan Ali Musytar. selanjutnya Usman Haji setelah dewasa meminang putri Tumenggung Wilwatikta dan mempunyai anak bernama Amir Haji atau Dja’far Sodiq atau (Sunan Kudus), dan Dewi Sujinah. Haji Usman menikah dengan Siti Syari’at mempunyai anak bernama Amir Hasan (Sunan Manyuran). Sedangkan Nyai Gede Tundo menikah dengan Kholifah Husain (Sunan Kertoyoso) mempunyai anak Kholifah Suhuroh. Selain Rara Siti Taltun, Raden Santri juga menikah dengan Dyah Retno Maningjum Binti Arya Tejo.

Sunan Gisik wafat pada tahun 1317 Saka/1449 M atau bertepatan dengan 15 Muharam abad ke-8 Hijriyah. Haul beliau diperingati setiap tanggal 15 Muharram. Beliau dimakamkan di Desa Bedilan, Kecamatan Gresik, Kabupaten Gresik. Makam beliau hanya berjarak 100 M utara Alon-alon Gresik, atau hanya berjarak 200 M utara makam Syekh Maulana Malik Ibrahim.

Beberapa nama lain/gelar beliau di antaranya:
    
1. Raja Pandhita Bima (ketika berdakwah di NTB)    
2. Sunan Lembayung (ketika berdakwah di Madura)    
3. Raja Pandhita Wunut        
4. Dian Santri Ali    
5. Raden Samat    
6. Raden Atmaja    
7. Ngali Murtolo    
8. Ali Hutomo    
9. Ali Musada    
10. Sunan Lembayung Fadl    
11. Fadl As-Samarqandiy

Penulis adalah pegiat literasi santri