Opini

Warisan Luhur Negeri Matahari

Sel, 6 Oktober 2020 | 15:30 WIB

Warisan Luhur Negeri Matahari

(Ilustrasi: Kemendikbud RI)

Pernahkah kisanak sekalian bertanya, kenapa ajaran Islam bisa tumbuh subur sedemikian rupa di zamrud Khatulistiwa ini? Cukup masuk akalkah proses penyebarannya yang dilakukan melalui perdagangan, kawin-mawin, patron-klien sufi dan sultan, atau dengan penaklukkan belaka? Menurut hemat kami, ada satu hal lagi yang perlu kita gali lebih dalam.


Islam yang muncul di jazirah Arabia, malah tetap homogen di kampung halamannya hingga hari ini. Tapi tengoklah apa yang terjadi di sini. Sedari ujung barat pantai Sumatera, hingga timur Papua, dan dari Miangas hingga ke Pulau Rote, wajah Islam jadi begitu serbaneka. Beragam tradisi bersilangan menciptakan kebudayaan masyarakat Muslim yang tiada duanya di seantero dunia. Ini fakta tak terbantah negeri kita yang entah kenapa, selalu menemui jalan buntu bila ingin mendedahnya lebih saksama. Seolah ada sisik melik terlarang yang tabu untuk dibahas.


Beberapa penelitian terbaru telah mematahkan teori lama bikinan kolonial Belanda—yang payah. Satu di antaranya, Islam telah mendarat di Banggai bahkan sejak Abad ke-7 M—manakala Rasulullah Muhammad Saw masih sugeng. Bukti tersebut disahkan dengan adanya situs makam seorang bangsawan Kerajaan Banggai bernama Fuadin/Lipuadino (w. 68 H/678 M) dengan nisan bertulisan Arab Melayu. Berdekatan dengan makam Fuadin, ada pusara seorang guru besar, Imam Sya'ban, yang pada batu nisannya juga terdapat tulisan Arab Melayu (w. 168 H/778 M).


Masih ada lagi kabar dari sebuah naskah Sunda kelompok babad yang terdapat di Bagian Naskah Museum Nasional, Jakarta, dengan nomor katalog Plt.23, berjudul Ieu Sajarah Galuh bareng Galunggung. Naskah itu berasal dari koleksi C. M. Pleyte, kropak nomor 121. Tebal 17 halaman, ditulis dengan huruf Latin, dalam bentuk prosa. Pleyte (1913) pernah mengumumkan teks naskah ini, tetapi hanya sebagian, yaitu bagian pertama mengenai Galuh. Nah, bagian selanjutnya adalah riwayat tentang Nabi Muhammad saat dilahirkan. Sewaktu berusia tujuh hari, bayi Muhammad tiada henti menangis. Satu-satunya orang yang bisa membujuk sang bayi agung ialah Seh Batara Guru Hajji (Seh Batara Galunggung).


Kata Galunggung itu adalah singkatan dari Galuh Hyang Agung. Salah sebuah kemandalaan tertua di Nusantara. Dalam Sansekerta, mandala bisa dipahami sebagai pusat lingkaran spiritual yang dipimpin seorang Batara Guru (Rama/Romo/Roma). Di lingkaran kedua ada Rasi. Lingkaran ketiga dikendalikan oleh Ratu—bukan queen dalam terminologi Barat. Wilayahnya disebut karatuan/keraton. Sistem yang digunakan disebut Naga-Ra, dengan panji kebesaran bernama Bende-Ra. Sebagaimana telah mafhum diketahui, Ra adalah pengejawantahan dari Cahaya Matahari.


Naskah tua ini juga menceritakan tentang kedatangan Nabi Muhammad ke Pulau Jawa, melalui jalur Champa, kemudian (Tanjung) Karang [?], Ujung Kulon (Banten), Demak, Galuh, muara Citanduy dan Ciseel, Ciloseh, Cijulang, Cilauteureum, Ciawitali, Galunggung, Ciserang, Kadungora, Leuwigunung, Malaganti, Gunung Goong, Cirebon Girang. Bersamaan dengan kisah perjalanan Nabi itu, diceritakan pula nama beberapa pembesar serta daerah kekuasaannya, termasuk hubungannya dengan para waliyullah.


Pertanyaan bisa kita kerucutkan lagi. Apa pentingnya bagi si pengarang naskah untuk menyebut nama-nama tempat tersebut, jika memang hanya sekadar isapan jempol?


Kita beralih sejenak ke leluhur Nabi Muhammad yang lazim dikenal sebagai Bapak para Nabi, Ibrahim as. Secara akar kata, nama itu diserap bahasa Arab. Asal muasalnya abram lalu menjadi abraham. Merujuk Kitab Paramayoga karya R.Ng. Ranggawarsita (w. 1873), abram itu bentuk kata kerja a-bram, berarti melaksanakan ajaran Brahma, yang berpusat di sekitar Gunung Bromo (Brama). Masih dalam Paramayoga, ketika Kanjeng Nabi Isa Ruhullah berumur 18 tahun, di sini sama dengan 5101 tahun Surya Sengkala. Dengan kata lain, 1 M = 5083 SS. Ingat, Piramida Gedung Padang di Cianjur itu, berusia di atas 25 ribu tahun silam.


Jikalau kita mau menggunakan kalender Paramayoga ini, berarti sekarang tahun 5083 + 2020 = 7103 SS. Dari sini bisa dipastikan usia bangsa kita menjadi yang tertua di dunia. Dampak ikutan dari itu jelas. Di negeri ini telah lahir dan bermunculan para manusia pencerah zaman—yang di belantara Timur Tengah sana disebut nabi. Cobalah baca naskah Layang Jojobojo atau Layang Nata berdasarkan manuskrip yang dikumpulkan oleh RM J.R. Basuki dan Michael Zwart, MBA, yang disusun dan dialihbahasakan oleh Pangeran Bendoro Susetyo dan Setyo Hajar Dewantoro. Naskah ini merupakan bagian dari manuskrip kuno Gunung Klothok. Berisi wahyu Tuhan yang diterima oleh Josono pertama kali, pada 4336 SM.


Sebagai induk peradaban, sudah pasti Nusantara menjadi objek rujukan dan kunjungan manusia negeri manca, termasuk oleh pemuda Muhammad sebelum ditahbis menjadi nabi terakhir. Dunsanak yang pernah mengkaji 20 huruf Sastrajendra (ho-no-co-ro-ko…), pasti lebih mudah memahami 20 Sifat Allah dalam Islam. Belajarlah barang sebentar di Pulau Bali (Pulang). Nanti kisanak akan berkenalan dengan ilmu reinkarnasi atau mhoksa. Ternyata, perkara itu pun ada dalam Al-Qur’an—yang entah apa sebabnya hampir tak pernah dibahas secara terbuka.


Sapaan Ra-Hayu (Cahaya Hidup), Sampurasun, dan Assalamu’alaikum… secara harfiah sama belaka. Muhammad putra Abdullah itu mendeklarasikan diri sebagai rahmat bagi semesta alam kan? Sekali lagi, itu tak jauh berbeda dengan rahayu sagung dumadi. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un adalah sangkan paraning dumadi. Oh iya, jadi kata al-hayyu dalam Arab itu sebenarnya diserap dari bahasa yang digunakan bangsa mana ya?


Pada abad 4 Masehi, para peziarah sasthri (santri) Tiongkok menengarai apa yang mereka lihat di situs Muara Takus, Jambi, sebagai berikut. Pada 399-414 M, Fa-Hien dalam perjalanan di Svarnadvipa (Sumatera) mencatat “... mengikuti sungai Po-Nai (Sungai Pana'i, Kampar) tempat para santri pernah tinggal di situ dan melakukan gerakan berjalan berputar mengelilingi tope/stupa, juga empat guru yang duduk di empat sudut. Di tempat ini didirikan sebuah menara.”


Pada 602-664 M, Hieun-Tsang, juga menggurat apa yang ia lihat di Svarnadvipa. “Di sampingnya ada stupa yang dibangun raja, sekitar 200 kaki tingginya. Di dekatnya tanda di mana tathāgata berjalan ke sana kemari.” Setengah abad berselang, giliran I-Tshing (671-695 M) yang bertandang dan belajar tentang ajaran Dharma. Para pengampunya adalah leluhur Ḍapunta Hyang Śrī Jayanāśa, Kadatuan Çhrį Vijàya, di Svarnadvipa: Dharmadasa 700-620 SM <~ Dharmapala 670-580 SM <~ Suvarnadvipa Dharmakirti 610-520 SM <~ Kumarila Bhatta I 618-540 SM <~ Adi Sankara 569-537 SM.


Moksartham jagahita ya ca iti dharma: ajaran Dharma (Dhamma) bertujuan untuk mencapai kebahagiaan jiwa dan kesejahteraan hidup jasmani. Inilah falsafah dasar utama leluhur Indonesia terdahulu. Ritual suci Dharma di antaranya purwadaksina (pradaksina). Berputar ke kanan searah jarum jam. Dipahami menuju Swahloka Utama dan Prasawya. Berputar ke kiri berlawanan arah jarum jam menuju Bhurloka-Nista.


Sampai di sini, kita perlu melacak jejak yang seperti sengaja dihapus di belakang sana, supaya kita bisa mafhum kenapa anak negeri Bangsa Matahari ini jadi begitu kerdil pada zaman kiwari. Kita juga harus mencari sejauh mungkin dalam tinggalan masa lalu, agar kita mengerti bagaimana kepulangan si anak hilang ke pangkuan ibu pertiwinya ini, sekarang berubah menjadi Malin Kundang yang tak tahu adab dan tata krama, tata salira, tata nagara, tata buwana, dan tata surya.


Sekian dulu. Patik mau sembahyang di pa-ra-Hyangan…



Ren Muhammad, pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas; Ketua Bidang Program Yayasan Aku dan Sukarno, serta Direktur Eksekutif di Candra Malik Institute.