Fragmen

19 April, Mengenang KH Abdul Wahid Hasyim

Rab, 20 April 2022 | 16:00 WIB

19 April, Mengenang KH Abdul Wahid Hasyim

Kiai Wahid Hasyim yang mengalami luka parah baru mendapat pertolongan pada pukul 16.00 WIB. Ia meninggal keesokan harinya, 19 April 1953, pukul 10.30 WIB.

Pada 19 April 1953, Tokoh Nahdlatul Ulama KH Abdul Wahid Hasyim wafat. Ia mengembuskan nafas terakhir setelah mengalami kecelakaan mobil di Cimahi, Jawa Barat, saat hendak menghadiri pertemuan Partai NU se-Karesidenan Priangan.


Ensiklopedia NU menyebutkan, pada 18 April 1953, Kiai Wahid Hasyim pergi bersama putra sulungnya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan seorang sopir Argo Sucipto. Hujan lebat yang mengiringi perjalanannya membuat mobil yang ditumpangi tokoh pendiri bangsa itu terpeleset hingga tertabrak truk dari belakang.


Kecelakaan itu terjadi pada pukul 10.00 WIB. Namun karena lokasi yang sangat jauh dari keramaian, Kiai Wahid Hasyim yang mengalami luka parah baru mendapat pertolongan pada pukul 16.00 WIB. Ia meninggal keesokan harinya, 19 April 1953, pukul 10.30 WIB.


A Khairul Anam (Masyarakat Berdiri Sepanjang Jalan Surabaya-Jombang Sambut Jenazah KH Wahid Hasyim) menuliskan bahwa kabar wafatnya Kiai Wahid tersiar melalui siaran radio yang mewartakan bahwa mantan Menteri Agama itu meninggal dalam peristiwa kecelakaan pada 19 April 1953. Jenazah Kiai Wahid lalu diterbangkan dengan pesawat ke Surabaya didampingi keluarga.


Sementara itu, orang-orang berjajar sepanjang jalan dari Surabaya ke Jombang dan membuat perjalanan menjadi lambat. Orang-orang itu meminta rombongan berhenti karena ingin menshalatkan jenazah di masjid-masjid setempat, tetapi keinginan itu tidak bisa dituruti. Jenazah Kiai Wahid sudah lama menunggu dan harus segera dimakamkan. Akhirnya masyarakat hanya bisa berdiri sambil menatap sedih, berdoa dan melambaikan tangan. 


“Masyarakat seperti itu ke Bapak bukan karena beliau pernah jadi menteri. Masyarakat (ketika itu) tidak tahu apa itu menteri. Juga bukan karena Bapak adalah putra Hadratussyekh. Masyarakat memberikan sambutan seperti itu karena Bapak sangat memahami urusan masyarakat, tahu kebutuhan masyarakat, dan mau memperjuangkan kepentingan masyarakat,” kata Gus Dur kepada adiknya, Umar Wahid, pada kemudian hari.


Kiai Wahid dinyatakan meninggal dunia dalam usia 39 tahun. Nyai Hj Sholihah yang baru berusia 31 tahun, ketika itu merawat lima orang anak dan satu anak masih dalam kandungan. Anak tertua, Gus Dur, baru berusia 13 tahun.


KH Abdul Wahid Hasyim lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 1 Juni 1914. Saat masih di dalam kandungan, sang ibu, Nyai Hj Nafiqah bernazar akan membawa bayinya menemui Syekh Cholil Bangkalan. Nazar itu dilaksanakan saat Abdul Wahid Hasyim berusia tiga bulan. 


Perjalanan dari Jombang ke Bangkalan, Madura, penuh dengan rintangan tetapi mereka bisa melaluinya. Setiba di kediaman Syekh Cholil, mereka justru diperintahkan untuk tidak masuk ke rumah tetapi juga tidak boleh pergi. Meski hujan lebat, Nyai Nafiqah tetap tidak bergeser. Ketika hujan kian lebat, ia menaruh sang bayi di beranda sambil membaca ‘Lā ilāha illa anta ya hayyu ya qayyūm’.


Sang pemiliki rumah tidak mengizinkan bayi itu diletakkan di beranda rumah dan harus dibawa kembali ke halaman rumah, di tengah guyuran hujan. Nyai Nafiqah pun tak membantahnya. Kejadian ini dipercaya oleh masyarakat NU sebagai pertanda bahwa Kiai Wahid akan menjadi tokoh besar.


Mulai usia 13 tahun, Abdul Wahid Hasyim berkelana di berbagai pondok pesantren. Di antaranya Pesantren Siwalan Panji dan Lirboyo. Sepulang dari Lirboyo, ia meneruskan belajar agama di rumahnya.


Lalu pada usia 17 tahun, ia sudah mengajar di pesantren milik ayahnya. Setahun kemudian, pada 1932, ia berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji sembari memperdalam berbagai cabang ilmu agama. Ia berada di sana selama kurang lebih dua tahun.


Sepulang dari Makkah, Kiai Wahid Hasyim melakukan sejumlah pembaruan dan perubahan di Pesantren Tebuireng. Ia memperkenalkan pengajaran ilmu-ilmu di luar ilmu agama. Ia juga mendirikan Madrasah Nizhamiyah yang mengajarkan 79 persen ilmu agama dan 30 persen ilmu umum.


Di ranah organisasi, Kiai Wahid Hasyim pernah menjadi Ketua Ma’arif pada 1938. Ia juga menjadi ketua Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI). MIAI kemudian berubah menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dengan KH Masykur sebagai ketua dan KH Wahid Hasyim sebagai wakil ketua. Terakhir, ia menjabat sebagai ketua umum PBNU (1951-1953). 

 
Di kancah politik, peran Kiai Wahid sangat menonjol. Ia berperan dalam menentukan fondasi dan bentuk negara bagi republik ini. Ia menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Sembilan yang merumuskan rancangan dasar negara.


Kiai Wahid Hasyim bahkan sangat berperan dalam menjembatani pertentangan kalangan Islam dan nasionalis hingga tercapai kesepakatan bersama yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 sebagaimana disahkan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).


Rumusan ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ dalam Pancasila sebagai pengganti dari ‘Kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya’ tidak terlepas dari peran Kiai Wahid Hasyim yang bersedia menerima penghapusan tujuh kata tersebut.


Setelah Indonesia merdeka, ia menjabat Menteri Agama RI selama tiga periode yakni dalam Kabinet Hatta (1949-1950), Kabinet Natsir (1950-1951), dan Kabinet Sukiman (1951-1952). Saat tidak lagi menjabat sebagai menteri, ia mendirikan Liga Muslimin Indonesia bersama Abikusno Tjokrosujoso (PSII) dan KH Siradjuddin Abbas (Perti).


Dalam kehidupan keluarga, ia dikaruniai enam orang anak hasil dari pernikahannya dengan Nyai Hj Solichah binti KH Bisri Syansuri. Putra-putri Kiai Wahid Hasyim adalah KH Abdurrahman Wahid, Aisyah Hamid Baidlowi, KH Salahuddin Wahid, dr Umar Wahid, Lily Chodijah Wahid, dan Hasyim Wahid.


Kini, jasadnya dimakamkan di kompleks pemakaman keluarga di Pesantren Tebuireng bersebelahan dengan makam sang ayah, KH Hasyim Asy’ari. Di pemakaman itu sekarang juga bersemayam putra sulungnya, KH Abdurrahman Wahid.


Atas jasa-jasa yang telah ditorehkan, pemerintah menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada KH Wahid Hasyim melalui Keputusan Presiden Nomor 206/1964 pada 24 Agustus 1964.


Aru Lego Triono, redaktur NU Online Jakarta