Fragmen

Sumbu Konflik melalui Politik Etis vs Pesantren 

NU Online  ·  Kamis, 19 Juni 2025 | 14:11 WIB

Sumbu Konflik melalui Politik Etis vs Pesantren 

Suasana sekolah untuk pribumi buah dari Politik Etis (Foto: https://pasla.jambiprov.go.id/)

Ada cara pandang yang mengatakan bahwa mendiagnosa dan menerapi persoalan yang terjadi di Indonesia tanpa melihat keterkaitan dengan konstelasi global, niscaya akan menemui kegagalan. Rumus ini dirasa sangat relevan untuk merefleksikan sekian kemacetan berbagai analisis dan gerakan yang dilakukan para aktivis dan intelektual yang seringkali menemui "jalan buntu" dalam menuntut dan menyikapi perubahan di Indonesia. Kebanyakan mereka melihat Indonesia sebagai entitas tersendiri yang lepas dari konstelasi Internasional.


Akibatnya mereka hanya melihat persoalan secara parsial dan terkadang sektoral, sehingga tidak menemukan "akar-persoalan" yang sebenarnya. Cara pandang serta analisis komprehensif masih dibutuhkan untuk memotret keterkaitan sejarah bangsa dengan intervensi dan campur tangan rekayasa Internasional pada setiap tikungan dan telikungan peristiwa-peristiwa penting baik itu pra ataupun pasca-kemerdekaan. 


Banyak narasi yang terlanjur dianggap logis dan lumrah seharusnya layak untuk dibongkar ulang sesuai kebutuhan zaman yang cenderung bergerak kritis, dinamis, transparan tanpa harus ada yang ditabukan dan disembunyikan secara sepihak . Sebut saja dogma-dogma yang terkadang menjadi mantra pada zamannya dan tetap menjadi wacana utama hingga sekarang, misalnya; nation state, politik etis, nasionalisme, kapitalisme, sosialisme-komunisme, Pan-Islamisme, demokrasi, developmentalisme (pembangunan), dan sebagainya. 


Masalahnya adalah semua beragam wacana dan ideologi di atas bukan lahir dari rahim pergulatan intelektual bangsa ini secara mandiri, tetapi diusung oleh arus kekuatan besar dari luar dengan motif dan kepentingan serta ideologi yang berseberangan. Lantas dicangkokkan begitu saja tanpa adanya konsensus berimbang dari sisi kepentingan bangsa ini secara independen. Alih-alih kuasa untuk menolak, yang terjadi adalah menerima dan mengamini begitu saja karena didasari oleh situasi dan posisi bangsa yang masih dianggap subordinat disebabkan statusnya masih sebagai bangsa koloni.


Pada tulisan ini tidak akan mengurai semua term modern di atas, tetapi lebih masuk pada narasi yang sangat krusial dan fenomenal yaitu tentang Politik Etis. Term ini diangkat karena dampaknya laten, samar dan masih kait berkelindan dan terasa hingga sekarang. Ada skala takaran prioritas untuk mendudah kembali menjadi lacakan krusial. Terlebih karena narasi ini tetap relevan dijadikan tombol awal untuk menyingkap skenario arah perjalanan peradaban sebuah bangsa pasca-kemelut Perang Jawa yang berdampak ketegangan dan ledakan pemberontakan hingga masuk akhir abad 19. Baru kemudian ada pergeseran pola dan strategi perlawanan pasca pagelaran Politik Etis yang secara mendadak diterapkan sebagai dampak geopolitik global.


Membaca Ulang Politik Etis
Mengapa narasi politik etis menjadi entry-point sekaligus kunci mengurai rentetan peristiwa dan pergolakan pada paruh terakhir abad ke 19 dan memasuki abad 20 sebagai awal zaman pergerakan sebelum kemerdekaan? Bukankah kemunculannya telah menjadi pintu pembuka yang membawa berkah bagi kontribusi kelahiran gagasan tentang kebangsaan dan kesadaran akan kemerdekaan? 


Justru di sinilah masalah absurd yang seringkali tidak terungkap dan ada sisi lain tidak terkuak yang menjadikannya tetap buram dan sengaja digelapkan oleh narasi resmi sejarah.


Sepintas, konsep yang dilontarkan oleh C.Th. Van Deventer yang terinspirasi oleh Pemikir Prancis Ernest Renan tentang konsep Bangsa, menjadi pintu masuk mengoreksi praktik imperialisme. Pada sebuah kesimpulan pemerintah kolonial harus merombak praktek penindasan yang menyengsarakan dengan program yang lebih manusiawi. Menuntut kewajiban bagi pemerintah Belanda untuk mengembalikan sebagian dari hasil jajahannya tersebut melalui program-program yang mensejahterakan masyarakat pribumi. 


Kritik Van Deventer ini berpijak dari realitas kehidupan masyarakat jajahan akibat pemberlakuan kebijakan  Tanam Paksa yang cukup banyak merugikan dan menyengsarakan warga pribumi. 


Gagasan dan konsep tersebut mendadak merubah pencitraan dimata masyarakat tentang moralitas politik kolonial yang seolah tanpa cela. Apalagi dibubuhkan dengan artian sebagai politik "balas Budi". Bahkan ada yang mengartikan politik "utang budi". Galibnya, dari kebijakan Politik Etis telah digunakan kolonial untuk mengoreksi dan merekayasa ulang tentang misi imperialisnya pada wilayah jajahannya. 


Anehnya tidak ada satu pun tulisan sejarah yang mencoba mempersoalkan dan menentang dengan tinjauan kritis kaitan kebijakan kolonial yang fenomenal ini. Padahal kalau dikaji ulang dari diksinya saja cukup naif dan problematik. Pertanyaannya sejak kapan penjajah punya "etika'? Adakah latar empiris kolonial berakhlak dan berbudi? Serta apa landasan moral penjajah membayar hutang Budi? 


Istilah ini sangat "mencederai", lebih tepatnya menghina kaum pribumi karena melegalkan kebudayaan kolonialisme Eropa untuk direalisasikan dalam program-program pendidikan resmi Belanda. Artinya, ada pemaksaan secara sistematik dan terstruktur dari pihak penjajah menggelontorkan misi ekonomi, politik, sosial dan budaya Eropa masuk secara halus terencana dan rapi lewat pendidikan.


Malah sebaliknya dari catatan sejarah telah menunjukkan bagaimana kebijakan Politik Etis dan program pendidikan telah disambut dengan suka cita dan gegap gempita oleh kalangan priyayi di semua level ningrat hingga kalangan pribumi biasa. Sikap pro-aktif inilah yang kemudian 'dikapitalisasi' oleh kolonial untuk menyulap dan mendesain sedemikian rupa bahwa program Politik Etis sama halnya agenda "pemutihan' dan pembersihan dosa-dosa politik imperialisme yang bengis dan menindas. Sembari membangun pencitraan baru kolonial di hadapan masyarakat jajahan waktu itu. 


Terbukti kemudian banyak kalangan priyayi pribumi pada awal abad 20 yang memanfaatkan momentum ini sebagai alat untuk "mendidik diri" guna mendongkrak status sosialnya sebagai masyarakat yang berkelas. Harapannya mampu mengimbangi derajat sosial barat yang kemudian dicap sebagai kasta feodal layaknya amtenar. Faktanya tidak sedikit orang-orang pribumi yang keblinger dengan pola dan gaya hidup kebarat-baratan setelah kerasukan dan silau dengan tradisi dan kebiasaan bangsa Barat.


Umum diketahui, tujuan utama dari program Politik Etis adalah upaya untuk menyiapkan tenaga terdidik dan terampil profesional yang nantinya akan mengisi beberapa perusahaan dan birokrasi kolonial. Hal ini sangat beralasan karena pemerintah kolonial lagi menggencarkan upaya pemulihan perekonomian sebagai dampak menanggulangi banyak peperangan yang menguras biaya yang cukup besar. 


Motif di Balik Nalar Politik Etis
Dilihat dari geopolitik internasional posisi pemerintahan kolonial Belanda lagi ada gesekan cukup sengit sesama penguasa imperial Eropa untuk bersikeras mengukuhkan kembali wilayah jajahannya masing-masing. Fakta ini dalam catatan sejarah dibuktikan dengan konsesi-konsesi terselubung dengan imperialis Inggris lewat Sir Stamfoort Raffles sempat menancapkan kekuasaannya wilayah Hindia Belanda dengan mengiris wilayah Jawa pada kurun tertentu paruh abad 19 dan masuk awal abad 20.


Motif yang kedua masih berhubungan dengan kondisi fundamental perekonomian kolonial Belanda beserta konspirasinya dengan VOC yang lagi tertimpa kondisi krisis berkepanjangan pasca menangani dan meredam perang dengan pemberontakan Diponegoro. Dan setelahnya pada rentang waktu di akhir abad 19 masih didera dengan berbagai pemberontakan di Sumatera, lebih khusus menangani pemberontakan Aceh yang berjilid-jilid.


Motif ketiga yaitu masih berkaitan dengan poin di atas dimana pemerintah kolonial lagi dituntut untuk merestrukturisasi basis basis perekonomian beberapa perusahaan dan perkebunan. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk memulihkan kondisi keuangannya karena digunakan menopang biaya konsolidasi militer dalam menumpas serangkaian pemberontakan di belahan Nusantara yang masih terus berlangsung.


Motif keempat adalah berbarengan dengan pemulihan ekonomi internal Hindia Belanda, pemerintah kolonial juga lagi disibukkan oleh gencarnya gerakan Pan-Islamisme yang marak di semua kawasan bangsa-bangsa terjajah. Hal ini diperkuat dengan fakta gejala resistensi perlawanan pemimpin didaerah yang dimotori oleh para kiai dan tokoh-tokoh Islam lokal melakukan jejaring internasional yang tersentrum di Makkah. Sekaligus geliat Pan-Islamisme yang membahayakan bagi keberlangsungan praktik kolonialisme. Karena kredo mereka adalah anti penjajah imperialis di semua negeri jajahan.


Motif kelima -yang dirasa cukup rasional- gejala menguatnya akumulasi perlawanan para tokoh Islam khususnya di jaringan pesantren yang ditengarai sebagai Islam tradisional ini telah mampu memposisikan secara taktis dan strategis. Mereka mencermati situasi ini sebagai momentum untuk melakukan konsolidasi internal sesama kiai kampung untuk terus menyuarakan sikap anti penjajah melalui pendidikan Islam santri yang tidak kooperatif dengan kebijakan politik etis tersebut.

 

Bukti ini bisa kita lacak dari fenomena maraknya kemunculan pesantren di akhir abad 19 dan awal hingga paruh kedua abad 20. Fakta lain ada gelombang tokoh tokoh Islam di kampung yang tidak sedikit telah bertekad untuk pergi menunaikan ibadah haji. Dengan tujuan rangkap melakukan konsolidasi sekaligus berguru beberapa tahun tinggal di Makkah digembleng oleh ulama tersohor yg memiliki otoritas keilmuan keislaman mumpuni. Juga punya komitmen memerdekakan dunia Islam dari cengkeraman penjajah.


Berangkat dari lima hal penting di atas, menjadi alasan bagi pemerintah kolonial mendesain ulang dengan skenario baru: yang tertuang dalam Politik Etis. Esensi dari program-programnya adalah bagaimana kolonial kemudian sadar bahwa dalam rangka menghadapi gelombang perlawanan orang-orang pribumi dibutuhkan strategi baru berupa pengetahuan dan paham modern ala Eropa. Tujuannya sebagai tandingan dan alternatif dari kuatnya gerakan pendidikan di level pesantren yang cenderung mempertahankan tradisi yang mengakar pada kesejarahan. Sembari memetakan sejauh mana konstelasi, emosi, pemikiran visi dan karakter blok politik kepentingan dan kantong-kantong basis pergerakan kalangan pribumi lagi euforia dan menggeliat 


Politik Etis Merombak Struktur Sosial
Sekelumit pertanyaan yang saya sematkan di atas tentang nihilnya pertentangan bahkan perlawanan yang dilakukan kaum elite priyayi yang diwakili oleh kalangan keraton dan elite abangan. Kebanyakan dari mereka ikut mengafirmasi. Hanya sebagian yang bersikap moderat kolaboratif mengambil program Politik Etis sebagai instrumen taktis dan opsi alternatif seiring dengan cita-cita tentang kebangsaan dan kemerdekaan.

 

Kenyataannya di era akhir abad 19 ini terkesan bahwa kaum priyayi terdidik masih jauh dari sikap melakukan resistensi dengan pemerintah kolonial dengan sekian riak gelombang protes apalagi melawan. Dan sejauh ini belum ada catatan atau tulisan khusus yg menjelaskan tentang apa, siapa dan bagaimana aktivitas pergerakan perlawanan pribumi kaum priyayi terdidik hingga kurun waktu akhir abad 19 sebelum munculnya pagelaran Politik Etis dijalankan.


Ada hal menarik dicermati ternyata desain besar dari politik etis rupanya telah mendekonstruksi struktur dan tatanan sosial secara masif dan besar-besaran. Karena realitas sosial masyarakat feodal sebelumnya hanyalah didominasi oleh kelas priyayi keraton beserta jajaran elit ningrat di level bawah vs masyarakat jelata pada umumnya. Namun pasca direalisasikan program Politik Etis, tatanan status quo itu drastis berubah disebabkan kalangan priyayi abangan non-keraton merangsek menjadi kelas feodal baru yang kemudian disebut sebagai kaum profesional birokrat sesuai karir yang dijalaninya.


Gesekan tersebut terlihat jelas lewat kemunculan Boedi Oetomo pada tahun 1908. Di sini benturan cukup keras antara golongan priyayi yang gamang dengan kenyamanan feodalisme dengan priyayi baru yang berorientasi barat, lebih modern liberal dan terbuka. Walaupun pada akhirnya kelompok kedualah yang sigap memainkan peran dan posisi di setiap konstelasi peralihan politik.


Politik Santri di Tengah Kemelut
Seiring kecamuk perhelatan pemerintah kolonial menata ulang dengan instrumen hegemonik lewat kebijakan Politik Etis, ternyata kaum santri dengan sekian jaringan tokoh dan pesantren sudah lama bergerak "senyap" melakukan konsolidasi merayap dengan pola yang sulit terdeteksi oleh penjajah. Mereka menggunakan siasat pendidikan ala pesantren yang akarnya telah lama menjalar di pelosok-pelosok pinggiran desa. Bukan tanpa maksud, hampir seluruh pesantren yang eksis begitu berjarak secara geografis. Rerata muncul di lereng-lereng gunung, di pinggiran sungai dan pelosok daerah yang sulit dijangkau transportasi kala itu. 


Melihat pola di atas ada yang berpendapat bahwa gaya konsolidasi pesantren masih menggunakan model perang gerilya yang telah lama menjadi ciri khas dari sisa-sisa para laskar Diponegaran. Pendapat ini cenderung dibenarkan mengingat pasca pergolakan perang Jawa -sebutan perang Diponegoro- sisa-sisa kekuatan laskar sengaja mengubah taktik dan strategi perlawanan lewat pendidikan kultural keagamaan. Ada yang eksis dengan mengajar ngaji ala kepesantrenan yang di situ membangun pondokan pengajaran. Dan tidak sedikit yang membuka surau dan langgar di tengah masyarakat yang dirasa masih minim tradisi ajaran keagamaannya.


Namun, setelah itu sebagian murid murid yang kemudian disebut santri, mulai merangsek ke pinggiran kota yang relatif bersentuhan dengan pergumulan masyarakatnya yang sudah terendus industrialisasi awal perkotaan. Bisa jadi ini menjadi terobosan baru untuk bergerak manifest berhadap-hadapan langsung dengan arus industrialisasi dengan segala risikonya. Gejala ini bisa kita cermati ketika melihat awal abad 20, banyak pesantren yang muncul dan bertebaran sangat dekat dengan pusat-pusat industri ekonomi. Karena Belanda lagi gencar-gencarnya membangun perusahaan pabrik gula dimana mana. Sebut saja diantaranya adalah pesantren Tebuireng, Lirboyo, Siwalan Mojokerto, Krapyak, Laweyan Solo dan lain-lain. Ada indikasi kuat upaya ini bagian dari strategi untuk menjajaki kekuatan internal pesantren sekaligus menakar langsung sepak terjang pemerintahan kolonial beserta sayap bisnisnya yang semakin menggurita. 


Kalau kita kembali lagi pada setting sejarah kelahiran Politik Etis di atas menyembul pertanyaan lanjutan tentang spirit dan militansi perjuangan pesantren yang cenderung tidak hanyut apalagi 'terkooptasi' dengan tren wacana Barat. Tentunya jawaban yang relevan masih seputaran ajaran dan kredo lama bahwa kehadiran orang orang Barat berikut aparatus dan praktik sistem kolonialis adalah wujud kezaliman yang harus diperangi. Dan itu wajib hukumnya. Pemahaman dan doktrin diperkuat dengan basis paradigma keislaman yang jelas dan konkret. Dan peran ulama serta kiai masih begitu efektif menjadi simpul penggerak utamanya. Secara empirik diwujudkan dan dibumikan lewat serentetan peristiwa perlawanan. Puncaknya termanifestasi dalam peperangan terbuka dengan pecahnya perang Diponegoro. Hanya Masalah waktu dan strategi saja yang perlu dirumuskan apakah dengan konfrontasi fisik atau dengan strategi kebudayaan.


Jadi, tidak ada alasan untuk kooperatif melakukan kompromi dalam bentuk apa pun. Sikap dan keyakinan ini jelas menjadi penegas kemana arah dan tujuan perjuangannya yang diemban oleh visi politik kaum santri yang telah dipupuk sejak lama akarnya semenjak perjuangan perang di era Diponegoro bahkan jauh sebelumnya.


Akar-akar paradigma dan garis perjuangan ini tentunya semakin mengeras dan mengkristal tatkala bertemu dengan kebutuhan kebangkitan di dunia Islam pada akhir abad 19, karena momentumnya bersamaan dengan persatuan persatuan Pan-Islamisme yang digelorakan oleh pemikiran Jamaludin Al-Afghani dan Muhammad Abduh.


Walaupun gelora kebangkitan tersebut mampu mewarnai spirit yang hampir sama untuk anti penjajah, namun ada beberapa hal dilematis tatkala mulai masuk ke medan pemikiran keislaman di basis basis masyarakat pada umumnya, yaitu muncul kecenderungan untuk membelah garis perjuangan keislaman menjadi dua gelombang besar yaitu kelompok puritan (pemurnian ajaran) yang mendaku dirinya sebagai bentuk gerakan reformasi Islam dengan membuang segala praktik tradisi kultural keagamaan. Yang kedua adalah kelompok yang tetap berpijak pada tradisi yang menjadi ciri dan akar kekuatan gerakan keislaman hingga ke level jaringan sampai ke bawah. Secara historis Kelompok yang disebut kedua ini menjadikan ajaran keislaman telah menyatu dengan praktik kebudayaan sehingga sangat sulit dipisahkan antara unsur spiritualitas dengan realitas sosial keseharian masyarakat. 


Upaya sepihak melucuti tradisi sama halnya memenggal kepala dari tubuh manusia itu sendiri. Nampaknya subtansi pemahaman demikian tidak akan pernah hadir bagi mereka yang melakukan koreksi dan kritik senyata menggunakan kerangka pendekatan politik dan ideologi yang masih bias, dangkal dan serampangan. 


Memperjelas Pemikiran dan Menegaskan Tindakan 
Di tengah berkecamuknya konstelasi pergerakan di atas menjadikan kelompok jaringan politik pesantren cenderung devensif di sebuah persimpangan antara ikut ambil bagian dalam pusaran dan percaturan medan pergerakan politik atau mereposisi dirinya untuk merancang kancah pergerakan yang lebih besar dan strategis. Akhirnya opsi yang kedua ini menjadi pilihan sikap politik yang harus diambil. Melalui jaringannya yang menyebar hampir semua daerah dan pelosok Nusantara, jaringan pesantren mulai melakukan konsolidasi untuk merapatkan barisan.


Hal ini mendesak dilakukan Karena melihat dan mencermati pola dan gaya komunikasi politik dari sekian elemen pergerakan: Budi Oetomo, SI Merah-Putih, Muhammadiyah, nasionalis dan lain-lain tampak dikasih ruang dan digiring pada situasi konflik vertikal oleh penguasa kolonial. Tensi radikalisme statemen (perkumpulan dan dan orasi politik semakin giras di level memainkan perlombaan untuk berebut eksistensi dan berebut simpati massa. Cenderung lembek di sektor gerakan dan aksi massa untuk menjadikan sistem kolonial Belanda sebagai 'musuh bersama' yang harus dienyahkan dari bumi Nusantara).
 

Mungkin hanya elemen pergerakan kaum buruh sebagai pengecualian. Karena pola gerak pengorganisasian massa cukup gigih dan militan. Boleh dibilang metode yang diterapkan sangat maju, progresif dan radikal pada zamannya. Terbukti berhasil melakukan aksi-aksi pemogokan di banyak tempat. Walaupun pada siklus puncak pemberontakan 1926 (revolusi Prambanan), ending-nya berujung tragis dan memilukan karena begitu mudah dilumpuhkan, dibubarkan dan dinyatakan sebagai organisasi terlarang.


Berpijak kuat dari serangkaian pergolakan politik di atas, blok politik pesantren kemudian mengkritisi embusan nalar geopolitik global yang ikut mendesain kemunculan gerakan reformasi Islam ala Wahabiyah (Abdul Wahab, 1700) dan kemunculan modernitas Islamnya Kemal Attaturk. Keduanya sama-sama memimpikan kemajuan dunia Islam pada peradaban Barat dan mengubur dalam-dalam praktik tradisi sebagai biang kerok kemunduran. Sebaliknya mengangkat dunia Barat sebagai kiblatan.


Kesadaran di lingkar kalangan pesantren yang kala itu dimotori oleh Hdratussyekh KH Hasyim Asy'ari beserta ulama winasis lainnya mencermati pola metode yang diinginkan pembaharuan dan spirit reformasi Islam serta pagelaran Politik Etis tersirat nalar dasar yang saling bersinggungan. Kecenderungan kedua-duanya ingin menggapai kemajuan yang bersumbu dan berhaluan pada nalar modernisme yang sama, yaitu Barat. 


Relevansinya berikutnya adalah paradigma modernitas memiliki taring ideologi yang seragam yaitu menjaga misi besar kapitalisme beserta aparatus sistem politik tetap setia menjaga keberlangsungan arus modal dan kapital tetap aman jaya sentosa, tidak peduli apa pun dan siapa pun dari negara manapun, harus direkayasa sedemikian rupa sehingga diperlukan 'teori konflik' dalam skala yang luas dan berkelanjutan.

 

Kusnun Daroini, penulis lepas, pemerhati sosial dan penggiat pertanian ramah lingkungan