Fragmen

23 Juli 22 Tahun Lalu Tanggal Pelengseran Gus Dur

Ahad, 23 Juli 2023 | 15:00 WIB

23 Juli 22 Tahun Lalu Tanggal Pelengseran Gus Dur

KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) usai dilengserkan dari kursi Presiden (Foto: dok istimewa)

Tanggal 23 Juli menjadi tanggal bersejarah bagi Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dan Nahdliyin. Pasalnya, 25 tahun silam, tepatnya pada 23 Juli 1998, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) selaku Ketua Umum PBNU mendapat mandat dari warga NU untuk mendirikan sebuah partai yang menjadi sayap politik Nahdliyin.


Banyaknya ide dan usulan yang diterima PBNU intinya menyarankan untuk membentuk partai politik. Lalu, jajaran Syuriyah dan Tanfidziyah PBNU menggelar Rapat Harian pada 3 Juni 1998. Forum ini menghasilkan keputusan untuk membentuk Tim Lima yang bertugas memenuhi aspirasi warga NU.


Tim Lima beranggotakan KH M Dawam Anwar (Katib Aam PBNU), KH Said Aqil Siroj (Wakil Katib Aam PBNU), HM Rozy Munir (Ketua PBNU), dan Ahmad Bagdja (Sekjen PBNU). Tim Lima ini diketuai KH Ma’ruf Amin (Rais Syuriyah/Koordinator Harian PBNU).


Selain itu, juga dibentuk Tim Asistensi yang diketuai Arifin Djunaedi (Wasekjen PBNU) dengan anggota H Muhyiddin Arubusman, HM Fachri Thaha Ma`ruf, H Abdul Aziz, H Andi Muarli Sunrawa, HM Nasihin Hasan, Lukman Hakim Saifuddin, Amin Said Husni, dan Muhaimin Iskandar.


Tim Asistensi yang terdiri dari para tokoh muda itu bertugas membantu Tim Lima dalam menginventarisasi dan merangkum usulan yang ingin membentuk parpol baru, dan membantu warga NU dalam melahirkan parpol baru yang dapat mewadahi aspirasi politik Nahdliyin.


19 hari kemudian setelah Rapat Harian, pada 22 Juni 1998 Tim Lima dan Tim Asistensi mengadakan rapat untuk mendefinisikan dan mengelaborasikan tugas-tugasnya.


Pada 26-28 Juni 1998 Tim Lima dan Tim Asistensi mengadakan konsinyasi di Villa La Citra Cipanas untuk menyusun rancangan awal pembentukan parpol. Wal hasil, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) terbentuk dengan basis Ahlussunah Wal Jamaah (Aswaja) melalui deklarasi yang berlangsung pada 23 Juli 1998 di Jakarta.


Pemilu 1999
Singkat cerita, PKB yang masih berumur jagung harus bekerja keras untuk bisa mengikuti pemilihan umum (pemilu) pertama di era reformasi. Pada Pemilu 1999, PKB bersaing dengan puluhan partai untuk meraih simpati publik.


Berkat kegigihan para kader dan kharisma Gus Dur, PKB dalam debut pertamanya itu mendapat juara tiga. Pada Pemilu legislatif itu PKB mampu mengumpulkan 13.336.982 (12,62%) suara sah nasional. Dengan raihan tersebut, PKB berhasil menempatkan wakilnya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebanyak 51 (11,04%) calegnya.


Oleh para pengamat, Pemilu 1999 disebut-sebut mengulang sejarah Pemilu 1955. Pemilu pertama di era Orde Lama itu menempatkan NU pada posisi ketiga setelah Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).


Meski memperoleh juara ketiga Pemilu 1999, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) selaku deklarator PKB mendapat amanat menjadi Presiden Indonesia pada 20 Oktober 1999. Ya, Gus Dur terpilih sebagai Presiden ke-4 RI setelah mengungguli Megawati.

 

Dalam Sidang Umum (SU) MPR yang cukup menegangkan itu, Gus Dur mendulang 373 suara anggota parlemen. Sementara Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum partai pemenang pemilu 1999, PDIP, hanya puas memeroleh 313 suara.


Untuk meredam pendukung militan Megawati yang kecewa, Gus Dur ingin putri Bung Karno itu menjadi wakil presiden mendampingi dirinya. Wal hasil, Megawati akhirnya terpilih setelah memenangi voting pemilihan wapres atas cawapres Hamzah Haz.


Belakangan, Hamzah Haz yang juga Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu diangkat menjadi Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat oleh Presiden Abdurrahman Wahid pada Kabinet Persatuan Nasional.


Pelengseran Gus Dur
Tanggal 23 Juli juga menjadi tanggal bersejarah. Tanggal ini menjadi sejarah pahit bagi keluarga besar Nahdlatul Ulama lantaran tokoh idolanya, Gus Dur, dilengserkan secara politik oleh rival politiknya di DPR.


Setelah menjabat sebagai presiden selama lebih lebih kurang 22 bulan, Gus Dur dilengserkan karena dianggap sering kontra dengan parlemen. Bibit konflik antara presiden dan DPR itu menurut Mahfud MD sebenarnya telah tumbuh tak lama setelah Gus Dur duduk di kursi kepresidenan.


Dalam bukunya berjudul Setahun Bersama Gus Dur: Kenangan Menjadi Menteri di Saat Sulit, Mahfud MD mengatakan bahwa mula-mula bibit konflik itu timbul melalui masalah sepele. Persisnya Ketika Gus Dur menyebut bahwa tingkah laku anggota DPR seperti tingkah laku murid taman kanak-kanak.


"Barangkali, dengan pernyataannya itu, Gus Dur hanya bermaksud bercanda seperti kebiasannya," tulis Mahfud yang kini menjadi Menko Polhukam pada Kabinet Indonesia Maju pimpinan Presiden Jokowi ini.


Meski demikian, beberapa anggota DPR menyatakan keberatan dengan pernyataan Presiden Gus Dur itu. Mereka menganggapnya sebagai pelecehan terhadap lembaga negara yang secara struktur ketatanegaraan setara dengan presiden.


Bahkan, masih menurut Mahfud, ada di antara anggota DPR yang meminta Gus Dur untuk mencabut pernyataannya tersebut. Gus Dur yang memang selalu bersikap enteng dan tanpa beban, menyambut reaksi itu dengan tenang.


"Ya sudah. Kalau ada yang tersinggung, saya minta maaf. Gitu aja kok repot," kata Gus Dur ditirukan Mahfud.


Sejak saat itu, anggota DPR tidak lagi menjadi rikuh untuk melancarkan kritik terbuka kepada presiden. Kenyataan berbalik 180 derajat dengan tradisi sebelumnya di mana presiden tampak angker di hadapan anggota DPR. Mereka tak berani 'melawan' Sang Presiden.


Wal hasil, tradisi kritik anggota DPR kepada presiden menjadi berita keseharian di media-media arus utama. Sikap saling serang antara presiden dengan DPR terus menjadi bola salju hingga berujung kepada pelengseran Gus Dur dari kursi kepresidenan.


23 Juli 2001 menjadi tanggal dramatis menyusul lahirnya Dekrit Presiden Gus Dur yang dibacakan oleh Juru Bicara Kepresidenan, H Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya-kini Ketum PBNu), pada Senin Kliwon sekira pukul 01.30 dini hari.