Fragmen

Bahasa Sehari-hari KH Hasyim Asy’ari

Sen, 2 April 2018 | 00:35 WIB

Bahasa Sehari-hari KH Hasyim Asy’ari

KH Hasyim Asy'ari. (Istimewa)

Bahasa merupakan salah satu media berjuang di zaman penjajahan. Tidak heran, para kiai yang kala itu turut menjadi motor perjuangan rakyat Indonesia mempunyai strategis khusus dalam menggunakan bahasa sehari-hari.

Selain menggunakan bahasa Jawa krama inggil dan tentu saja bahasa Indonesia, mereka kerap menggunakan bahasa Arab. Baik dalam bentuk tulisan maupun lisan, bahasa yang hanya dimengerti oleh kalangan pesantren ini membuat penjajah saat itu membutuhkan mata-mata khusus untuk mempelajari Islam, sebut saja Snouck Hurgrounje oleh Hindia Belanda serta Nobuharo Ono, Saleh Suzuki, dan Abdul Mun'im Inada oleh Nippon atau Jepang.

Para tenaga khusus yang memang mengerti Islam tersebut dimanfaatkan penjajah untuk melakukan upaya spionase atau memata-matai para pejuang Islam beserta tokoh-tokohnya yang berpangaruh. Namun, tidak banyak yang mereka mengerti perihal bahasa Arab yang teramat kompleks.

Bahasa Arab ini bukan hanya mereka terapkan di lingkungan pesantren ketika mengajar para santri, tetapi juga digunakan sebagai strategi kebudayaan melawan penjajah. Saking seringnya mempraktikkan bahasa Arab di lingkungan pesantren dan dalam dunia pergerakan nasional, pendiri NU yang merupakan tokoh pejuang, KH Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947) sendiri sehari-harinya banyak menggunakan bahasa Arab untuk berkomunikasi, baik lisan maupun tulisan.

Pada tahun 1943, Pemimpin Gerakan Pemuda Ansor Wilayah Jawa Tengah Saifuddin Zuhri berkesempatan bersilaturahim ke Pondok Pesantren Tebuireng Jombang pimpinan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Ia disambut hangat oleh Gus Wahid Hasyim yang menginginkan dia mampir ke Tebuireng.

Saifuddin Zuhri saat itu hendak menghadiri jambore Gerakan Pemuda Ansor yang berlangsung di Surabaya sebagai utusan wilayah Jawa Tengah. Gus Wahid Hasyim langsung mengajak Saifuddin Zuhri untuk menghadap Hadratussyekh di kediamannya di komplek pesantren.

Saat Saifuddin Zuhri menghadap, Kiai Hasyim Asy’ari sedang duduk bersilah sambil membaca sebuah surat. Saifuddin Zuhri merasa heran seorang yang sepuh berumur lebih dari 70 tahun tetapi masih bisa membaca tanpa kacamata. Kiai Hasyim saat itu mengenakan baju ‘Jawa’ seperti piama tak berleher, berwarna putih terbuat dari kain katun, bersarung plekat dan mengenakan serban. (Guruku Orang-orang dari Pesantren, 2001)

Zuhri diperkenalkan oleh Gus Wahid kepada Kiai Hasyim Asy’ari. Ayah dan anak ini terdengar berkomunikasi menggunaan bahasa Arab. Tetapi sesekali Gus Wahid menjawab pertanyaan-pertanyaan ayahandanya dalam bahasa Jawa alus.

Namun setelah Gus Wahid memperkenalkan Saifuddin Zuhri dari kalangan Pemuda Ansor, Hadratussyekh kontan langsung menggunakan bahasa Indonesia yang terucap halus, rapi, sistematis, dan urut meskipun telah diberitahukan bahwa Zuhri berasal dari Jawa Tengah.

Bahasa Arab yang banyak digunakan Kiai Hasyim Asy’ari setiap harinya, belakangan diketahui Saifuddin Zuhri karena tidak terlepas dari aktivitas mengajarnya setiap hari di pesantren yang juga menggunakan bahasa Arab. Begitu juga kitab-kitab rujukannya yang hampir seluruhnya berbahasa Arab.

Bahkan, Kiai Hasyim Asy’ari dan para kiai lain lebih mudah menuangkan buah pemikirannya menggunakan bahasa Arab dengan tidak meninggalkan bahasa ibunya, yakni bahasa lokal Jawa dan bahasa Indonesia. Bahasa Arab ini cukup krusial bagi upaya-upaya kemerdekaan bangsa Indonesia.

Seketika itu kabar kemerdekaan Indonesia telah tersebar ke seluruh penjuru tanah air dengan janji kaisar Jepang yang saat itu kalah perang dengan sekutu. Janji kekaisaran Jepang untuk memerdekakan bangsa Indonesia memang menarik perhatian bukan hanya di tanah air, tetapi masyarakat dunia Islam, khususnya Syekh Muhammad Al-Amin Al-Husaini yang saat itu berada di Jerman.

Sampai pada 3 Oktober 1944, Syekh Al-Amin Al-Husaini yang merupakan pensiunan mufti besar Baitul Muqadas Yerusalem yang juga ketika itu menjabat Ketua Kongres Muslimin se-Dunia mengirim surat teguran kepada Duta Besar Nippon di Jerman, Oshima. Kala itu Syekh Al-Husaini sedang berada di Jerman.

 Kawat teguran tersebut berisi imbauan kepada Perdana Manteri Jepang Kuniki Koiso agar secepatnya mengambil keputusan terhadap nasib 60 juta penduduk Indonesia yang 50 juta di antaranya beragama Islam. Kongres Islam se-Dunia menekan Jepang untuk segera mengusahakan kemerdekaan bangsa Indonesia. (Choirul Anam, 1985)

Atas teguran tersebut, Kuniki Koiso berjanji akan mengusahakan kemerdekaan untuk bangsa Indonesia. Jawaban Koiso itu disebarluaskan melalui Majalah Domei. Kawat teguran dari Syekh Al-Amin Al-Husaini tersebut sampai kepada Hadratussyekh Hasyim Asy’ari. Ia selaku Ketua Masyumi menerima tindasan kawat teguran tersebut.

Menyikapi kawat teguran itu, Kiai Hasyim Asy’ari yang juga pemimpin tertinggi di Nahdlatul Ulama (NU) merasa perlu mengumpulkan para pengurus Masyumi yang terdiri dari berbagai golongan umat Islam dari sejumlah organisasi pada 12 Oktober 1944.

Saat itulah Kiai Hasyim Asy’ari perlu mengirim surat korespondensi kepada Syekh Al-Husaini untuk menyampaikan apresiasi atas bantuan dan dukungan yang diberikan untuk upaya kemerdekaan Indonesia. Seketika Kiai Hasyim langsung menulis surat dengan menggunakan bahasa Arab yang ditujukan kepada Syekh Al-Husaini.

Tetapi, bahasa apapun yang digunakan Kiai Hasyim Asy’ari, diriwayatkan oleh KH Saifuddin Zuhri, beliau selalu mengucapkannya dengan perlahan-perlahan, mencari rangkaian kata-kata yang mudah dimengerti orang banyak. 

Di sinilah karakter khas ulama pesantren sehingga di mana pun berada, dakwah mereka lebih bisa diterima banyak kalangan. Bahkan, kemahiran berbahasa ini menjadi ujung tombak keberhasilan diplomasi para kiai menghadapi penjajah. (Fathoni Ahmad)