Fragmen

Berebut Tak Mau Menjadi Ketua NU

NU Online  ·  Ahad, 2 November 2014 | 01:02 WIB

Desember 1957, Pucuk Pimpinan Ikatan Pelajar Puteri Nahdlatul Ulama (IPPNU) menggelar muktamar (kini disebut kongres) ke-2 di Kota Pelajar, Yogyakarta. Muktamar ini digelar terpisah dengan Muktamar IPNU kedua yang digelar di Pekalongan, pada waktu awal tahun yang sama. <>

Pada saat proses pemilihan ketua, memunculkan dua nama. Umroh Machfudzoh (ketua incumbent) dan Basyiroh Shoimuri, disiapkan untuk menjadi nahkoda organisasi pelajar putri NU tersebut. Keduanya adalah sahabat karib, selain pernah nyantri di tempat Nyai Masyhud (Solo), Umroh dan Basyiroh juga memiliki peranan besar dalam pembentukan IPPNU.

Di luar dugaan, entah karena sungkan berebut menjadi ketua dengan sahabat atau memang takut berat menjalankan amanah tersebut, keduanya emoh (menolak) untuk dijadikan ketua.

“Ketika itu Umroh dan saya dicalonkan menjadi ketua, demi Allah saya nggak mau,” ungkap Basyiroh, saat NU Online berkunjung ke kediamannya di Jenu Tuban, beberapa waktu lalu.

Basyiroh mengisahkan, ketika itu baik dirinya maupun Umroh justru menangis dan kemudian masuk ke kamar yang terpisah. Nyai Mahmudah Mawardi, ketua PP Muslimat kala itu, masuk ke kamar Basyiroh. Terjadilah dialog layaknya ibu dengan sang anak.

Nduk, siapa yang mau ikhlas? Kenapa tidak mau menjadi ketua?” tanya Nyai Mahmudah.

“Berat, bu. Saya juga sudah bersumpah untuk tidak mau menjadi ketua,” jawab Basyiroh.

“Sumpah untuk tidak melakukan yang tidak baik itu bisa dibatalkan, meski tetap dengan kifarat,” terang Nyai Mahmudah.

Basyiroh kemudian mengiyakan saran dari Nyai Mahmudah, dan akhirnya dia bersedia untuk menjadi ketua PP IPPNU, menggantikan Umroh Machfudzoh. Di kemudian hari, dia bertanya kepada ayahnya Kiai Shoimuri (Boyolali) perihal kifarat menebus pembatalan sumpah tersebut. “Oleh beliau, saya disarankan untuk berpuasa tiga hari berturut-turut,” ujarnya.

Cuplikan fragmen ini, bagi penulis, selain menjadi pelajaran untuk tidak berebut sebuah jabatan juga memperlihatkan betapa peranan para tokoh sesepuh (kiai dan Ibu Nyai) juga turut mempengaruhi pada proses pemilihan seorang pemimpin di kalangan kaum Nahdliyyin.

Meskipun mereka tidak secara langsung hadir dalam arena muktamar atau kongres, namun pengaruh serta wejangan dari mereka tetap menjadi sumber rujukan penting serta melegitimasi sebuah pilihan. (Ajie Najmuddin)